Freitag, 15. Februar 2013

HASRAT JIWA YANG TERCELA


اَلْـحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى النَّبِـيِّ الْـمُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّ بَعْدُ:

Terkadang seoran muslim teperdaya oleh ajakan jiwanya yang tercela, sehingga dengan sadar atau tidak sadar dia telah keluar dari rel syar'i. Bagaimanakah hakikat hasrat yang tercela tersebut? Sudahkah kita menyadari dan mawas diri terhadapnya? Temuilah jawabannya dalam pembahasan berikut ini.



URGENSI BERSIH JIWA1
Sesungguhnya mendidik jiwa dan membersihkannya adalah perkara penting yang banyak dilalaikan oleh manusia. Hingga orang-orang baik yang telah menempuh jalan hidayah, jalan dakwah, dan kebaikan pun banyak melalaikannya karena emosi dan hasrat jiwa terkadang mengalahkan ilmu yang telah dimiliki. Kalau sudah begitu maka perasaan, hasrat, dan keinginan yang jelek terkadang dituruti tanpa terasa. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi bagi yang telah menimba ilmu dan juga bagi orang awam semuanya. Agar perasaan riya', ingin tenar, dan seabrek hasrat tercela lainnya tidak menjadi bumerang dan petaka bagi pelakunya.
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan, "Amalan-amalan hati adalah pokok dari semua perkara, sedangkan amalan anggota badan adalah sebagai pengikut, pelengkap, dan penyempurnanya. Niat dalam hati ibarat roh dalam jasad, sedangkan amal perbuatan ibarat jasadnya. Apabila roh berpisah dari jasad maka akan membawa kepada kematian. Demikian pula amal perbuatan jika tidak diiringi dengan niat maka amalannya sia-sia belaka. Oleh karena itu, mengetahui hukum-hukum hati lebih utama daripada mengetahui hukum-hukum anggota badan, karena hati adalah asasnya, sedangkan anggota badan adalah cabang darinya."

1. Penulis banyak mengambil manfaat dari risalah Huzhuzhun Nafs oleh Abdul Malik al-Qashim dengan tambahan referensi penting lainnya dari penulis.

BENTENG DIRI DARI HASRAT YANG TERCELA
Untuk menepis hasrat jiwa yang jelek dan tercela harus dengan upaya dan usaha yang ekstra kuat. Yaitu dengan cara menanamkan niat ikhlas yang kokoh dalam diri. Ikhlas perkaranya tidak samar bagi kita, namun praktiknya begitu sulit bahkan tanpa sadar kita sendiri malah terjatuh dalam perkara yang merusak keikhlasan seperti riya'. Padahal ikhlas merupakan hakikat agama Islam, inti peribadatan seorang hamba, syarat diterimanya amal, dan dakwahnya para rasul. Allah عزّوجلّ menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Allah سبحانه و تعالى juga berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk [67]: 2)
Imam Fudhail bin Iyadh رحمه الله tatkala menafsirkan ayat Siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya beliau mengatakan, "Maksudnya ialah yang paling ikhlas dan paling benar." Kemudian ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling benar, beliau menjawab, "Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima, demikian pula apabila benar tetapi tidak ikhlas maka tidak diterima pula, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Orang yang ikhlas adalah yang beramal semata-mata karena Allah سبحانه و تعالى, sedangkan yang benar adalah orang yang mencontoh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam beramal. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya."1
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa sebab orang mengerjakan riya' itu intinya kembali pada tiga perkara:
Pertama: Senang kepada pujian dan sanjungan dari manusia.
Kedua: Lari dari celaan dan cemoohan.
Ketiga: Tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia berupa harta, kedudukan, dan lain-lain.2
Penyakit ini sangat berbahaya bagi seorang manusia, bahkan bisa menjadi sebab su'ul khatimah jika keadaannya terus demikian, karena lahirnya berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya; kita berlindung kepada Allah سبحانه و تعالى darinya.
Ibnu Taimiyah رحمه الله mengatakan, "Sesungguhnya perkara ikhlas merupakan amalan hati yang paling penting dan termasuk dalam keimanan. Ikhlas sangat tinggi kedudukannya, bahkan amalan hati secara umum lebih penting dan lebih besar perkaranya daripada amalan anggota badan. Hendaknya seorang muslim tidak tertipu bahwasanya amalan ketaatan tanpa diiringi rasa ikhlas dan niat yang jujur kepada Allah tidak ada nilai dan pahalanya. Bahkan pelakunya berhak mendapat ancaman yang keras, sekalipun amalan ketaatan yang ia kerjakan amalan yang tinggi seperti sedekah dan jihad di jalan Allah dan selainnya."3

1. Madarijus Salikin 2/93
2. Huzhuzhun Nafs hlm. 8
3. Huzhuzhun Nafs hlm. 2-3

BENTUK-BENTUK HASRAT JIWA YANG TERCELA

1. Gila pujian dan sanjungan
Maka engkau akan melihat orang yang seperti ini merasa senang jika ada orang yang memujinya. Jiwanya akan melayang dan merasa tinggi dengan pujian. Relung hatinya selalu terpenuhi dengan keinginan untuk mendapat pujian manusia. Dirinya selalu berusaha mencari muka di hadapan manusia walaupun harus berkorban dengan harta.
Husain bin Ziyad رحمه الله berkata, "Setan tidak akan membiarkan manusia hingga dia mampu menipunya dari segala penjuru. Setan akan membujuknya agar mau membeberkan amalan yang ia kerjakan."1
Orang semacam ini, jika tersanjung dengan pujian dan merasa nyaman, ibaratnya berada di sebuah tepi lautan yang akan membinasakannya. Maka tidak kita ragukan lagi bahwa perbuatan tersebut termasuk bentuk riya' yang dilarang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Apabila seorang hamba ikhlas semata-mata karena Allah عزّوجلّ, Allah سبحانه و تعالى akan memilih, menghidupkan hati, dan menyelamatkannya, hingga dia berpaling dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan, berupa kejelekan dan perbuatan yang keji. Berbeda dengan hati yang tidak ikhlas karena Allah عزّوجلّ, sesungguhnya ia senantiasa berkeinginan, berkehendak dan kecintaan yang mutlak. Senang dengan sesuatu yang menyenangkan hati, menekuni apa yang dicintai, bagaikan ranting yang tertiup angin maka ia akan condong ke arahnya. Kadang kala menariknya gambar-gambar yang diharamkan dan yang tidak diharamkan, ia bagaikan seorang budak dan tawanan, andai ada orang yang mengambilnya untuk dijadikan budak dan pembantu maka sungguh ia budak yang cacat, hina dan kurang. Kadang pula menariknya kepemimpinan, dan kedudukan, sebuah kalimat membuatnya ridha dan benci. Orang yang memuji memperbudaknya sekalipun dengan kebatilan, ia memusuhi orang yang mencelanya sekalipun ia berada dalam kebenaran, kadang kala dinar dan dirham memperbudaknya pula atau perkara-perkara lain yang menjadikan hati bagaikan seorang budak, hati senang kepada-nya, maka ia pun menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah, mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah عزّوجلّ."2

1. Idem hlm. 3
2. Majmu’ Fatawa 10/216

2. Banyak menceritakan kebaikan amalannya
Orang semacam ini selalu berhasrat untuk menceritakan amalan yang telah ia kerjakan dari kepayahan, berat dan susahnya. Sekilas, orang seperti ini cinta agama dan amalan kebajikan, padahal yang mengurat dalam hati adalah keinginan menonjolkan amalannya di depan orang lain, berhasrat untuk mendapatkan hati manusia, kedudukan yang mulia, dan pujian yang banyak.
Imam al-Qurthubi رحمه الله mengatakan, "Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan asal niatnya adalah mencari kedudukan di dalam hati manusia."1

1. Tafsir al-Qurthubi 20/212

3. Menyandarkan pekerjaan kelompok pada dirinya
Engkau akan melihat bahwa orang yang seperti ini hasrat dan keinginannya adalah menonjolkan diri di hadapan ketua, mudir, atau lainnya bahwa dirinya adalah orang yang telah melakukan pekerjaan semuanya, ingin dilihat bahwa dia adalah orang yang punya ide cemerlang hingga terwujud pekerjaan. Hasrat seperti ini kadang-kadang membawanya sampai pada perbuatan mengaku-aku telah mengerjakan sesuatu padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sangat tepat gambaran al-Qur'an akan orang semacam ini dalam firman-Nya:
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (QS. Ali 'Imran [3]: 188)

4. Menampakkan sikap tawadhu'
Semisal dengan menampakkan badan yang kurus dan pucat, agar orang menyangkanya se-bagai ahli ijtihad dan ibadah, orang yang selalu sedih memikirkan agama dan takut akhirat. Seperti ini pula orang yang pura-pura berbicara dengan suara yang serak, mata sayup, badan seolah-olah lemas agar menunjukkan kepada manusia bahwa dia orang yang banyak puasa dan ibadah!!
Imam Ibnul Jauzi رحمه الله mengatakan, "Alangkah sedikitnya orang yang beramal ikhlas karena Allah عزّوجلّ. Karena kebanyakan manusia cinta untuk menampakkan ibadahnya. Ketahuilah, meninggalkan pandangan manusia dan menghilangkan hasrat mendapat hati dari manusia dengan amalan, dan membersihkan niat serta menutup keadaan dialah orang yang terangkat kedudukannya."1

1. Shaidul Khathir 1/249

5. 'Ujub (bangga diri)
'Ujub termasuk kotoran yang dapat merusak amalan seorang hamba, menafikan keikhlasan dan membatalkannya, mendatangkan kerendahan di sisi Allah menjauhkan seseorang dari introspeksi (mawas diri), membutakan mata hati hingga lupa terhadap aib dan kekurangan sendiri.
Berkata Abdullah Ibnul Mubarak رحمه الله, "'Ujub adalah engkau merasa pada irimu ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain."1
Berkata Imam Qarrafi رحمه الله, "'Ujub adalah engkau memperlihatkan ibadah dan membanggakannya di hadapan orang lain.”2
Rasulullah bersabda tentang bahayanya 'ujub:
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهُـوَى مُـتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْـمَرْءِ بِنَهْسِهِ
"Ada tiga perkara yang membinasakan: kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan bangganya seorang hamba terhadap dirinya sendiri."3
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله "Riya' termasuk syirik terhadap makhluk, sedangkan 'ujub termasuk syirik terhadap diri sendiri dan inilah keadaan orang yang sombong. Maka orang yang riya' tidak merealisasikan ayat Allah عزّوجلّ Hanya kepada-Mu aku beribadah, sedangkan orang yang 'ujub tidak merealisasikan ayat Allah سبحانه و تعالى Hanya kepada-Mu kami meminta tolong. Maka barangsiapa yang merealisasikan ayat Hanya kepada-Mu kami beribadah akan keluar dan selamat dari riya', dan orang yang merealisasikan ayat Hanya kepada-Mu kami meminta tolong akan keluar dan selamat dari 'ujub."4

1. Siyar A'lam Nubala' 8/407
2. Ma'alim fis Suluk hlm. 94
3. HR. Thabrani dalam al-Ausath 5584, Baihaqi dalam Syu'abul Iman 2/382, dihasankan al-AIbani dalam ash-Shahihah: 1802.
4. Majmu’ Fatawa 10/277

6. Menjelekkan orang lain agar dirinya terpuji
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله "Di antara sebagian manusia ada yang memoles ghibah (gunjingan) dalam bentuk yang indah dan beragam. Kadangkala karena alasan agama dan kebaikan ia berkata: 'Saya tidak menyebutkan orang kecuali kebaikan, saya tidak suka ghibah dan dusta, hanya saja saya mengabarkan kepada kalian keadaan yang sebenarnya, demi Allah عزّوجلّ dia orang yang baik tetapi sayang dia begini dan begitu.' Tujuan dari hal ini tiada lain adalah memojokkannya, beralasan demi kebaikan dan agama. Sebagian yang lain berbuat ghibah karena hasad. Maka orang yang semacam ini telah mengumpulkan dua perkara yang sangat keji. Sebagian yang lain lagi berbuat ghibah dalam bentuk kekaguman. Semisal dia berkata: 'Saya kagum dengan dia, tetapi bagaimana mungkin dia tidak melakukan ini dan itu.' Atau ia berkata: 'Saya heran dengan dia, bagaimana bisa ia terjatuh dalam perkara semacam ini!' Melakukan ghibah dengan bentuk keheranan dan kagum, inilah penyakit hati yang paling besar dan penipuan terhadap Allah سبحانه و تعالى serta para makhluk-Nya."1

1. Majmu’ Fatawa 28/237-238 — secara ringkas

7. Merendahkan diri di hadapan manusia agar mendapat pujian
Adakalanya seseorang merendahkan diri dan mencela dirinya sendiri di hadapan orang banyak. Dengan begitu dia berharap agar manusia menilainya sebagai orang yang rendah diri sehingga terangkatlah pamornya, yang kemudian mereka memujinya. Perkara semacam ini termasuk pintu-pintu riya' yang sangat halus.
Mutharrif bin Abdullah رحمه الله mengatakan, "Cukuplah seseorang dikatakan memuji dirinya dengan mencela dirinya sendiri pada khalayak ramai. Seolah-olah dia menghendaki kebaikan padahal di sisi Allah merupakan kejahilan."1

1. Ma'alim fis Suluk hal.83

8. Menampakkan diri seolah-olah orang yang sibuk
Untuk menonjolkan diri, Anda akan dapati sebagian orang mengaku sebagai orang yang sibuk. Pengakuannya ini dia jadikan tameng untuk menolak tugas atau amanat—sekalipun itu hanya sebuah amalan ringan—sehingga pamornya terangkat di mata manusia, bahkan kabarnya sebagai orang sibuk tersebar di khalayak manusia. Orang yang semacam ini bisa jadi niatnya hanya ingin riya' atau hanya dusta belaka. Termasuk cerita yang menggelikan berkaitan dengan hal ini, diceritakan ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita. Ketika lamaran, lald-laki tersebut berkata kepada calon istrinya: "Saya adalah orang yang sibuk dalam medan dakwah dan kegiatan lainnya, bisa jadi saya tidak punya waktu untuk memberikan sebagian hak anti sebagai istri nanti." Maka wanita itu pun menolak lamarannya seraya berkata, "Bisa jadi orang ini hanya dusta belaka atau orang yang riya'. Dusta karena pengakuannya atau riya' karena ingin martabatnya naik di mataku, karena bagaimana dia bisa demikian, mana dirinya (dibandingkan) dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, mana dirinya (dibandingkan) dengan para ulama yang tetap bekerja?!!"1

1. Huzhuzhun Nafs hlm. 7

JANGAN TERTIPU DENGAN AMALAN ANDA!
Saudaraku, seluruh amalanmu yang telah engkau kerjakan adalah sedikit di sisi Allah سبحانه و تعالى meski menurut pandanganmu sebesar gunung. Tanamkan dalam dirimu perasaan takut dan harap. Ingatlah ucapan Ibnu Auf رحمه الله, "Janganlah engkau merasa percaya diri dengan banyaknya amalan karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah amalanmu diterima ataukah tidak. Amalanmu tidak engkau ketahui hakikatnya."1
Wahai saudaraku, jagalah amalanmu dengan keikhlasan, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekanmu. Berbahagialah dengan kebaikan yang besar jika engkau telah berbuat ikhlas karena Allah Ta’ala semata.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Satu jenis amalan terkadang seorang hamba mengerjakannya dengan sempurna, ikhlas karena Allah سبحانه و تعالى, maka Allah عزّوجلّ mengampuni dosanya sampai dosa besar sekalipun, sebagaimana hadits bithagah (kartu). Ini adalah keadaan orang yang mengucapkan kalimat tauhid dengan ikhlas. Karena para penduduk neraka yang mengerjakan dosa besar mereka juga mengucapkan kalimat tauhid, tetapi ucapan mereka tidak bisa mengalahkan dosa dan kejelekan mereka, berbeda dengan pemilik bithaqah yang ucapannya bisa mengalahkan amalan-amalan jelek. Demikian pula hadits yang bercerita seorang wanita pelacur yang memberi minum seekor anjing, Allah سبحانه و تعالى mengampuni dosanya disebabkan perbuatannya. Wanita yang memberi minum anjing ini melakukannya dengan keimanan yang ikhlas dari lubuk hatinya, sehingga Allah عزّوجلّ mengampuninya, karena tidak setiap wanita pelacur yang memberi minum anjing mereka juga akan diampuni. Maka amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan iman dan pengagungan yang ada di dalam hati."2

1. Jami’ul Ulum wal Hikam 1/174
2. Minhajus Sunnah 6/218

MUTIARA HIKMAH SALAFUSH SHALIH
1. Ahmad bin Qudamah رحمه الله berkata, "Ketahuilah, bahwasanya Allah عزّوجلّ telah memberikan nikmat, berbuat baik dan membaguskan amalanmu, maka tidaklah layak bagi seseorang untuk bangga terhadap amalannya, tidak pula orang yang alim terhadap ilmunya, karena semua itu keutamaan dari Allah سبحانه و تعالى semata."1
2. Berkata Sahabat yang mulia Zubair bin Awwam رضي الله عنه, "Barangsiapa di antara kalian yang mampu merahasiakan amalannya yang shalih maka hendaklah ia mengerjakannya."2
3. Semoga Allah سبحانه و تعالى merahmati Sahabat yang mulia Umar bin Khaththab رضي الله عنه tatkala berkata, "Barangsiapa yang niatnya ikhlas di dalam kebenaran maka Allah akan cukupkan di antara manusia, dan barangsiapa yang berhias dengan apa yang tidak ia miliki, maka Allah عزّوجلّ akan jelekkan."3
4. Hasan al-Bashri رحمه الله mengatakan, "Semoga Allah سبحانه و تعالى merahmati orang yang tidak cemburu dengan banyaknya orang yang melihat terhadap seseorang. Wahai anak Adam, engkau akan mati seorang diri, engkau akan masuk liang kubur seorang diri, engkau akan dibangkitkan seorang diri, engkau akan dihisab seorang diri."4 []


1. Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 257
2. Ma'alim fis Suluk Hal.88
3. Al-Ikhlash wa Syirk Ashghar hlm. 16
4. Hilyah al-Auliya' 1/276

Ustadz Abu Unaisah Syahrul Fatwa bin Lukman خفظه الله

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen