Keutamaan dan Kemuliaan Ilmu Bag.5
Delapan puluh dua. Allah SWT sangat membedakan kedua jenis manusia ini. Perbedaannya sangat jauh, sampai-sampai tidak diketahui kalau kedua makhluk itu berasal dari satu jenis. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan antara orang yang paling baik (khairul-bariyyah) dan orang paling buruk (syarrul-bariyyah). Allah SWT menciptakan malaikat sebagai makhluk berakal tanpa syahwat dan menciptakan hewan memiliki syahwat tapi tidak berakal. Kemudian, la menciptakan manusia sebagai makhluk berakal dan bersyahwat. Maka, barangsiapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya, dia akan lebih baik daripada malaikat. Barangsiapa yang syahwatnya lebih tinggi daripada akalnya, dia lebih buruk daripada hewan. Allah juga membedakan para manusia dalam hal ilmu. Dia menjadikan manusia yang berilmu sebagai guru malaikat sebagaimana firman Allah,
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu.” (al-Baqarah: 33)Ini adalah derajat paling tinggi dan mulia. Tidak ada lagi derajat yang lebih tinggi daripada itu. Sebaliknya, Dia menjadikan yang bodoh di antara mereka tidak disenangi dan tidak layak bagi setan; sebagaimana perkataan setan kepada mereka yang mengikuti ajakannya dalam kekafiran,
"Sesungguhnya saya berlepas diri dari kamu."Dan dia juga berkata kepada orang-orang bodoh yang berbuat maksiat kepada Rasul- Nya ini,
"Sesungguhnya saya juga berlepas diri dari kalian."Demi Allah, alangkah jauhnya perbedaan antara kedua karakter (profil) itu. Yang satu, malaikat sujud kepadanya dan mengajari mereka apa yang telah diajarkan Allah kepadanya; dan yang lain, setan pun tidak meridhainya sebagai teman. Perbedaan besar ini terjadi karena ilmu dan faidahnya. Kalau ilmu itu bisa mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam, mencapai dunia malaikat, dan bersama dengan makhluk- makhluk langit, maka cukuplah itu sebagai keutamaan dan kemuliaan. Bagaimana tidak, sementara keagungan dunia dan akhirat tergantung dan berkaitan erat dengan adanya ilmu.
Delapan puluh tiga. Sesungguhnya anggota tubuh yang paling mulia dalam diri manusia adalah tempat ilmu itu, yaitu hati, pendengaran, dan penglihatan. Manakala hati adalah tempat ilmu dan pendengaran/telinga hanyalah utusan yang membawa ilmu itu, sementara penglihatan sebagai mata-matanya, maka hati adalah raja atas segala anggota tubuh. Hatilah yang memegang kendali semua anggota tubuh. Anggota tubuh taat kepada perintah dan kendalinya. Karena itu, seluruh anggota tubuh tunduk kepada ilmu yang dikhususkan untuknya. Itu sebabnya, hati menjadi raja yang ditaati. Demikian pula halnya orang yang berilmu di antara manusia, mereka seperti hati dalam anggota tubuh. Manakala baik dan buruknya anggota tubuh itu tergantung dengan baik dan buruknya raja, maka demikian pula halnya manusia dengan ulama dan pemimpinnya. Ulama salaf mengatakan ada dua golongan, apabila ia baik, maka seluruh manusia baik; dan apabila ia rusak, maka seluruh manusia rusak, yaitu pemerintah dan ulama.59 'Abdullah bin Mubarak berkata,
"Dan tidak ada yang merusak agama kecuali para pemimpin dan para pastor jahat dan biarawannya."Manakala pendengaran dan penglihatan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh anggota badan lain, maka bagian tubuh manusia yang ditempati oleh keduanya adalah yang paling mulia. Itulah muka manusia. Keduanya merupakan yang terbaik dari segi manfaat dalam diri manusia dibanding bagian-bagian dan anggota-anggota tubuh lainnya. Adapun yang terbaik di antara keduanya diperselisihkan para ulama. Satu golongan, di antaranya Abu al-Ma'ali dan selainnya berpendapat bahwa pendengaran adalah yang terbaik. Mereka beralasan karena, dengan pendengaran, kebahagiaan dunia dan akhirat diperoleh. Kebahagiaan ini hanya dapat diperoleh dengan mengikuti para rasul dan menerima ajarannya. Dan itu diketahui dengan pendengaran. Barangsiapa yang tidak memiliki pendengaran, maka dia tidak mengetahui apa yang mereka bawa. Juga dengan pendengaran, yang paling tinggi dan paling utama dapat diketahui, yaitu firman Allah yang keutamaannya atas ucapan lain seperti keutamaan Allah, atas makhluk-Nya. Juga karena objek pengetahuannya lebih umum daripada pengetahuan penglihatan. Pendengaran mengetahui hal-hal umum, parsial, yang nyata, yang gaib, yang ada, dan yang tidak ada. Sedangkan, penglihatan hanya mengetahui sebagian dari yang nyata. Pendengaran mengenali semua ilmu. Kalau begitu, dimana letak kesamaan keduanya? Jika kita analogikan dengan dua orang, salah seorang di antara keduanya mendengarkan ucapan Rasul tapi tidak melihatnya, sedangkan yang lain melihatnya tapi tidak mendengar karena tuli. Apakah keduanya sama? Orang yang kehilangan penglihatan, dia hanya kehilangan beberapa hal nyata yang sifatnya parsial dan dia dapat mengetahuinya dengan sifatnya, meskipun dalam bentuk perkiraan. Sedangkan orang yang kehilangan pendengaran, maka hal yang dia lewatkan tidak dapat dia ketahui dengan indera penglihatan, meskipun dalam bentuk perkiraaan. Allah SWT dalam Al-Qur'an lebih banyak mencela orang-orang kafir karena tidak mendengar, daripada mencela mereka karena tidak melihat. Bahkan, ketika Dia mencela orang yang tidak melihat hanya sebagai konsekuensi dari tidak mendengar dan tidak berakal.
59 Atsar ini disandarkan Imam al-Gazali dalam al-Ihya' (1/6) kepada Nabi saw. Karena itu al-Albani berkata, "Hadits ini adalah hadits maudhu' (dibuat-buat) dan lemah." Dan yang benar adalah apa yang dikatakan Ibnu Qayyim bahwa ini adalah ucapan ulama salaf.
Sesungguhnya ilmu yang didatangkan pendengaran dalam hati tidak disertai dengan kelelahan, kebosanan, dan kecapekan; meskipun banyak dan besar. Sedangkan, yang didatangkan oleh penglihatan disertai dengan kelelahan, kelemahan, dan kekurangan. Mungkin orang yang memiliki pengetahuan yang berasal dari penglihatannya takut kehilangan ilmunya meskipun jumlah ilmu yang dia miliki sedikit dan enteng dibandingkan dengan yang ada pada pendengaran. Adapun golongan lain, di antaranya Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa penglihatan lebih utama dan lebih besar kenikmatannya; yaitu melihat Allah SWT di akhirat. Ini hanya bisa diperoleh dengan penglihatan. Dari sini saja sudah sukup menunjukkan keutamaannya. Mereka mengatakan penglihatan adalah pintu, jendela, dan pelopor bagi hati. Karena itu, kedudukannya di hati lebih dekat daripada pendengaran. Karena itu pula, Allah banyak menyandingkan keduanya dalam Al-Qur'an seperti,
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan." (al-Hasyr: 2)Mengambil pelajaran dengan hati dan melihat dengan mata. Allah berfirman,
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya." (al-An'aam: 110)Allah tidak mengatakan "pendengaran mereka." Allah berfirman,
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." (al-Hajj: 46)
"Hati manusia pada saat itu sangat takut, pandangannya tunduk." (an-Naazi'aat: 8- 9)
"Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan hati'(Ghaafir (40):19)
"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya." (an-Najm: 11)
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya." (an-Najm: 17)Ini menunjukkan hubungan dan keterkaitan yang erat antara hati dan penglihatan. Karena itu, manusia dapat membaca apa yang ada dalam hati manusia melalui sorot matanya. Ini banyak terdapat dalam ucapan manusia, baik dalam syair maupun dalam prosa sampai kita tidak dapat menyebutkannya satu persatu. Manakala hati adalah anggota badan yang paling mulia, maka mata/penglihatan adalah anggota badan yang paling erat hubungannya dengannya dan paling mulia daripada yang lain. Karena itu, hati mempercayakan kepada mata hal yang tidak dia percayakan kepada pendengaran. Bahkan, jika pendengaran itu ragu dari satu segi, ia menyodorkan apa yang didapatnya kepada penglihatan untuk diambil atau ditolaknya. Jadi mata/
Mereka mengatakan, Ibrahim meminta kepada Tuhannya supaya diperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan yang telah mati. Padahal, dia sudah mengetahui itu dengan pemberitahuan Allah kepadanya. Akan tetapi, Ibrahim meminta derajat yang tertinggi, yaitu kemantapan hati. Mereka mengatakan bahwa keyakinan ada tiga tingkatan.
Pertama, pendengaran.
Kedua, mata,60 yaitu yang disebut sebagai ainul yaqin. la lebih utama dan sempurna daripada yang pertama. Mereka juga mengatakan bahwa penglihatan mengarah kepada hati dan berasal darinya. Mata adalah cermin hati di mana ia dapat memperlihatkan kecintaan, kemarahan, loyalitas, kebencian, kebahagiaan, kesedihan, dan lain sebagainya. Sedangkan telinga, ia tidak mengantarkan kepada hati sama sekali. Posisinya hanya sekedar menjembatani saja. Sebab itu, mata jauh lebih besar ketergantungannya pada hati. Yang benar adalah, masing-masing penglihatan dan pendengaran memiliki karakter dan keistimewaan sendiri-sendiri, yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Memahami sesuatu dengan pendengaran lebih umum dan komprehensif, sedangkan mengetahui sesuatu dengan penglihatan lebih sempurna. Jadi, pendengaran memiliki keistimewaan umum dan komprehensif, sedang penglihatan memiliki keistimewaan jelas dan sempurna.
Nikmat penghuni surga ada dua.
62 Hadits tentang salam Tuhan kepada penghuni surga yang diriwayatkan Ibnu Majah (1/66) dan al- Albani melemahkannya dalam Takhriij ath-Thahawi (him. 171) dan al-Misykaat (HI/1577)
63 Pembicaraan Allah kepada penghuni surga ada dalam beberapa hadits -hadits shahih.
dari kubur dengan mata melihat. Tapi ketika digiring ke neraka, mata mereka buta. Ini yang dikatakan al-Farra' dan yang lain.
Nikmat penghuni surga ada dua.
Pertama, melihat Allah.
Kedua, mendengarkan titah dan ucapan-Nya; sebagaimana yang diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam al-Musnad dan selainnya,
"Seakan-akan manusia di hari kiamat tidak pernah mendengarkan Al-Qur'an apabila mereka mendengarnya dari Ar-Rahman 'azza wa jalla."61
60 Pengarang tidak menyebutkan tingkatan ketiga.
61 Hadits tentang bacaan Allah, atas Al-Qur'an kepada penghuni neraka. Al-Qurthubi menyebutkannya dalam at-Tadzkirah (11/223) dengan sanad yang sangat lemah. LihatKanzul-Ummal (XIV/480).
Diketahui bahwa salam62 dan ucapan63 Allah kepada mereka serta pidato-Nya sebagaimana dalam kitab at-Tirmidzi dan selainnya tidak ada seseuatu pun yang menyerupainya dan tidak ada yang lebih baik bagi mereka. Karena itu, Allah menyebutkan dalam ancaman kepada para musuh-Nya bahwa Dia tidak akan berbicara kepada mereka sebagaimana Dia menyebutkan tentang bersembunyi-Nya(dibalik hijab) sehingga Allah tidak terlihat oleh mereka. Dengan demikian, (mendengar) ucapan Allah adalah nikmat tertinggi bagi penduduk surga. Wa Allah a'lam.
61 Hadits tentang bacaan Allah, atas Al-Qur'an kepada penghuni neraka. Al-Qurthubi menyebutkannya dalam at-Tadzkirah (11/223) dengan sanad yang sangat lemah. LihatKanzul-Ummal (XIV/480).
Diketahui bahwa salam62 dan ucapan63 Allah kepada mereka serta pidato-Nya sebagaimana dalam kitab at-Tirmidzi dan selainnya tidak ada seseuatu pun yang menyerupainya dan tidak ada yang lebih baik bagi mereka. Karena itu, Allah menyebutkan dalam ancaman kepada para musuh-Nya bahwa Dia tidak akan berbicara kepada mereka sebagaimana Dia menyebutkan tentang bersembunyi-Nya(dibalik hijab) sehingga Allah tidak terlihat oleh mereka. Dengan demikian, (mendengar) ucapan Allah adalah nikmat tertinggi bagi penduduk surga. Wa Allah a'lam.
62 Hadits tentang salam Tuhan kepada penghuni surga yang diriwayatkan Ibnu Majah (1/66) dan al- Albani melemahkannya dalam Takhriij ath-Thahawi (him. 171) dan al-Misykaat (HI/1577)
63 Pembicaraan Allah kepada penghuni surga ada dalam beberapa hadits -hadits shahih.
Delapan puluh empat. Sesungguhnya Allah menyebutkan dalam Al-Qur'an sejumlah nikmat kepada hamba-Nya. Dia memberikan kepada mereka fasilitas dan sarana pengetahuan. Dia menyebutkan akal (fu'ad), pendengaran, dan penglihatan. Terkadang juga Dia menyebut lidah sebagai yang menerjemahkan isi hati. Allah berfirman dalam surah an-Ni'am, yaitu surah an-Nahl di mana dia menyebutkan asas-asas agama, cabangnya, pelengkapnya, dan penyempurnanya. Allah menyebutkan nikmatnya dalam surah ini kepada hamba-hamba-Nya. Allah memperkenalkan dirinya kepada mereka melalui nikmat itu. Mereka dituntut mensyukuri nikmat itu. Allah mengabarkan bahwa Dia akan menyempurnakannya kepada mereka supaya mereka mengenali, mengingat, dan mensyukuri nikmat itu. Nikmat, yang pertama adalah asas-asas nikmat dan yang terakhir adalah yang menyempurnakannya. Allah berfirman,
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur." (an-Nahl: 78)Allah menyebutkan nikmat-Nya kepada mereka. Allah mengeluarkan mereka tanpa ilmu. Kemudian Allah memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati. Dengan semua itu, mereka memperoleh ilmu sesuai dengan apa yang mereka peroleh dan Allah mengerjakan itu semua supaya mereka mensyukurinya. Allah berfirman,
"Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati. Tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka." (al-Ahqaaf: 26)
"Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (al-Balad: 8-10)Allah menyebutkan di sini dua mata untuk melihat sehingga mereka mengetahui hal-hal yang dapat dilihat. Dia menyebutkan dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan keburukan. Dalam hal ini ada hadits marfu' yang mursal. Dan, ini adalah pendapat sebagian besar mufassir dan diisyaratkan oleh firman Allah,
"Sesungguhnya Kami telah menunjukkannya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (al-lnsaan: 3)
Hidayah itu dengan hati dan pendengaran. Tentu saja pendengaran pasti masuk di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan lidah dan kedua buah bibir. Keduanya merupakan alat pengajar. Dengan demikian, Allah menyebutkan alat ilmu dan pengajaran dan menjadikannya di antara ayat-ayat yang menunjukkan kepada Zat, kekuasaan, keesaan, dan nikmat-Nya yang memperkenalkan diri-Nya kepada para hamba. Karena ketiga anggota badan ini merupakan anggota badan yang paling mulia, raja, pengatur, dan penguasa, maka Allah menyebutkannya secara khusus dalam pernyataan berikut ini. Allah berfirman,
''Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu niscaya dimintai pertanggungjawaban." (al-lsraa: 36)Kebahagiaan dan penderitaan manusia tergantung pada sehat dan rusaknya tiga anggota ini. Ibnu Abbas berkata,
"Allah menanyai dan meminta pertanggungjawaban hamba-hamba-Nya dalam mempergunakan ketiga alat itu, yakni pendengaran, penglihatan, dan hati. Allah SWT memberikan pendengaran untuk mendengarkan perintah-perintah, larangan, dan ikatan janji-Nya. Allah memberi hati untuk memikirkan dan memahami semua hal tersebut. Penglihatan untuk melihat ayat-ayat-Nya. Lalu Dia menjadikannya sebagai tanda keesaan dan ketuhanan-Nya. Jadi maksud dari pemberian alat-alat ini adalah supaya mendapatkan ilmu, faedah, dan konsekuensinya.
Delapan puluh lima. Sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga.
Delapan puluh lima. Sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga.
Pertama, kebahagiaan yang berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan ini dipinjamkan kepada manusia dari luar dirinya dan hilang apabila si pemberi pinjaman mengambilnya kembali. Inilah kebahagiaan harta dan kehidupan. Kebahagiaan dan kegembiraan semacam ini seperti kegembiraan orang botak yang bangga dengan kepala anak pamannya yang berambut banyak. Kebahagiaan ini juga seperti kebahagiaan seseorang sebab pakaian dan hiasannya. Dikisahkan dari sebagian ulama bahwa dia menumpangi sebuah perahu bersama dengan beberapa pedagang, lalu perahu itu pecah. Oleh sebab itu, mereka menjadi hina dalam kefakiran setelah jaya dengan kekayaan. Lalu orang yang berilmu itu sampai kepada negeri itu dan dihormati. Dia dikenal dengan berbagai kelebihan dan karamah. Tatkala mereka, para pedagang, ingin kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada orang yang berilmu itu,
"Apakah engkau memiliki surat atau keperluan untuk kaummu?" Dia menjawab, "Ya, kalian katakan kepada mereka, 'Jika engkau ingin memiliki harta yang tidak tenggelam di kala perahu pecah, maka ambillah ilmu itu sebagai barang dagangan.'" Dikisahkan pula, seorang lelaki berwibawa, yang memiliki bentuk perawakan baik dan pakaian indah berkumpul dengan seorang lelaki berilmu. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berilmu itu, "Bagaimana engkau melihatnya?" Dia menjawab, "Saya melihat sebuah rumah bagus, dihias indah, tapi tidak ada orang yang mendiaminya."
Kedua, kebahagiaan jasmani/fisik; seperti fisiknya sehat, seimbang, serasi antara anggota tubuhnya, kebersihan warna dan kekuatan anggota-anggota tubuh. Kebahagiaan ini lebih erat melekat pada diri manusia daripada yang pertama. Tetapi, sebenarnya ia berada di luar zat dan hakekatnya. Sebab manusia benar-benar menjadi manusia karena ruh dan hatinya, bukan karena jasmani dan badannya sebagaimana dikatakan,
berkata,"Ilmu tidak dapat diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula, "Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus meninggalkan hidup santai (di dunia)."
"Renungkanlah, bagaimana seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama sekali." Seandainya bukan karena ketidaktahuan sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, kebahagiaan ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan—supaya Allah dapat mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Allah Maha Memiliki keutamaan dan keagungan.
Delapan puluh enam. Sesungguhnya Allah menciptakan segala yang ada dan memberikan kesempurnaannya masing-masing. Kesempurnaan inilah puncak dari kemuliaan sesuatu tersebut. Jadi, ketidaksempurnaannya akan mengakibatkan sesuatu itu berpindah dan turun derajat ke tingkat yang lebih rendah. Jika pada derajat ini pun tidak ada, maka ia pindah ke derajat yang lebih rendah lagi. Begitu seterusnya sampai apabila semua kelebihan telah hilang, maka ia menjadi seperti duri dan kayu bakar yang hanya layak untuk dipakai sebagai kayu bakar. Kuda jika masih kuat ditunggangi, ia akan dipersiapkan untuk menjadi tunggangan raja dan dihormati seperti penghormatan kepada raja. Tapi apabila keutamaan itu berkurang, maka ia akan dipersiapkan untuk orang yang lebih rendah daripada raja. Dan jika kekurangannya semakin buruk, maka ia akan dipakai prajurit biasa. Dan, apabila kelebihan ditunggangi sudah hilang sama sekali, maka ia akan dipakai seperti himar untuk menarik roda air atau mengangkut sampah dan semisalnya. Jika kemampuan itu pun sudah hilang, maka ia akan disembelih seperti kambing. Sebagaimana yang dikatakan dalam perumpamaan, ada dua ekor kuda tunggang, yang pertama di bawah tunggangan raja dan yang lain di bawah tunggangan pembawa bendera. Kuda raja berkata, "Ketahuilah bahwa engkau adalah sahabat saya. Saya dan engkau pernah berada di tempat yang sama. Apakah yang membawa kamu ke
tingkatan ini?" Dia menjawab, "Tidak lain sebab engkau berjalan baik dan aku tidak berjalan baik."
Demikian pula halnya pedang. Jika tidak cocok dengan tujuan dan tidak layak untuk menjadi pedang, maka ia ditempa menjadi kapak, gergaji, dan semisalnya. Demikian pula rumah besar dan indah, apabila ia rusak dan hancur, maka ia dijadikan sebagai kandang kambing atau onta. Demikian pula halnya manusia, apabila ia layak menerima kenabian dan kerasulan, maka dia akan dipilih Allah sebagai Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah,
"Wahai pelayan jasmani, supaya tidak menderita dalam melayaninya, maka engkau adalah manusia dengan ruh, bukan dengan jasmani."Penisbatan jasmani kepada ruh dan hatinya seperti penisbatan baju dan pakaian kepada badannya. Sesungguhnya badan itu dipinjamkan kepada ruh dan alat baginya. Badan adalah kendaraan ruh. Karena itu, kebahagiaan manusia atas kesehatan, keindahan, dan kebaikannya adalah bentuk kebahagiaan eksternal/luar diri. Kebahagiaan ketiga, kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa, ruhani dan hati. Itulah kebahagiaan ilmu yang buahnya berguna. Hanya ilmu seperti itu yang akan kekal dalam segala perubahan dan keadaan. Hanya itu yang akan senantiasa menyertai hamba dalam segala perjalanan dan tiga fasenya, yaitu fase dunia, alam barzakh, dan tempat kekekalan (akhirat). Dengan kebahagiaan inilah, manusia menapaki tangga-tangga keutamaan dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan. Jenis kebahagiaan pertama hanya akan menyertainya di wilayah mana ada harta dan jabatan. Sedangkan yang kedua, pasti hilang dan berganti sejalan dengan berkurang dan melemahnya kondisi penciptaan. Jadi sebenarnya tidak ada kebahagiaan kecuali dalam jenis kebahagiaan yang ketiga dimana ia semakin lama semakin tinggi dan kuat. Apabila harta dan jabatan hilang, maka kebahagiaan ketiga ini adalah harta dan kebanggaan hamba yang akan nampak kekuatan dan pengaruhnya sesudah ruh berpisah dengan badan. Dengan demikian, terputus pulalah dua jenis kebahagiaan pertama. Kebahagiaan hakiki seperti ini tidak ada yang mengetahui nilai dan yang mendorong untuk mencarinya kecuali ilmu tentang itu. Jadi, lagi-lagi semua kebahagiaan kembali kepada ilmu dan apa yang dituntutnya. Allah akan memberi kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menghalangi pemberian- Nya dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang dihalangi-Nya. Tetapi, sebagian besar makhluk tidak mau mengusahakan dan memperoleh jenis kebahagiaan ini karena jalannya susah, pahit, dan melelahkan. Kebahagiaan ini hanya bisa diperoleh dengan kerja keras. Kondisinya jauh berbeda dengan dua jenis yang pertama. Karena kedua jenis kenikmatan itu merupakan nasib dan keberuntungan yang bisa didapat tanpa harus mencarinya. Seperti harta warisan, pemberian atau yang lain. Sedangkan kebahagiaan ilmu, tidak ada yang akan memberikan kepadamu kecuali dengan kerja keras, kesungguhan dalam mencari, dan kebenaran niat. Seseorang telah berkata dengan sangat baik dalam hal ini,
"Katakanlah kepada orang yang mengharapkan ketinggian dari segala sesuatu, tanpa bekerja keras, maka engkau mengharapkan kemustahilan."Dan yang lain berkata,
"Seandainya bukan karena kesusahan, maka semua manusia menjadi jaya/ kaya kedermawanan menjadi langka dan keberanian berarti perang."Barangsiapa yang memiliki obsesi tentang hal-hal tinggi ini, maka dia wajib mencintai jalan-jalan agama. Inilah kebahagiaan yang hakiki; meskipun tak pernah lepas dari kesulitan, kebencian, dan siksaan. Apabila jiwa dipaksakan dan digiring dalam keadaan patuh serta sabar terhadap berbagai cobaan yang ada, maka kekerasan ini niscaya akan membawa menusia menuju taman yang indah, tempat kebenaran dan tempat mulia. Kenikmatan apa pun kalau belum sampai pada kenikmatan seperti ini hanyalah ibarat kenikmatan anak-anak yang bermain dengan mainannya. Bandingkan kenikmatan anak ini dengan kenikmatan 'hakiki' seorang raja! Maka, saat itu keadaan pemilik kebahagiaan ini menjadi sebagaimana dikatakan,
"Dan aku pernah mengira, aku telah sampai ke puncak cinta sehingga aku tidak mendapat tempat pergi lagi sesudah itu, Namun ketika kami bertemu dan melihat kebaikannya dengan mata kepala, saya yakin bahwa saya sebenarnya hanya bermain."Jadi, kemuliaan itu penuh dengan perjuangan dan hal-hal yang dibenci. Kebahagiaan hanya bisa didapat setelah melalui jembatan kesulitan. Anda tidak akan menyelesaikan jarak perjalanan ke sana kecuali dengan perahu kesungguhan dan kerja keras. Muslim berkata dalam kitab Shahihnya bahwa Yahya bin Abu Katsir
berkata,"Ilmu tidak dapat diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula, "Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus meninggalkan hidup santai (di dunia)."
"Renungkanlah, bagaimana seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama sekali." Seandainya bukan karena ketidaktahuan sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, kebahagiaan ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan—supaya Allah dapat mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Allah Maha Memiliki keutamaan dan keagungan.
Delapan puluh enam. Sesungguhnya Allah menciptakan segala yang ada dan memberikan kesempurnaannya masing-masing. Kesempurnaan inilah puncak dari kemuliaan sesuatu tersebut. Jadi, ketidaksempurnaannya akan mengakibatkan sesuatu itu berpindah dan turun derajat ke tingkat yang lebih rendah. Jika pada derajat ini pun tidak ada, maka ia pindah ke derajat yang lebih rendah lagi. Begitu seterusnya sampai apabila semua kelebihan telah hilang, maka ia menjadi seperti duri dan kayu bakar yang hanya layak untuk dipakai sebagai kayu bakar. Kuda jika masih kuat ditunggangi, ia akan dipersiapkan untuk menjadi tunggangan raja dan dihormati seperti penghormatan kepada raja. Tapi apabila keutamaan itu berkurang, maka ia akan dipersiapkan untuk orang yang lebih rendah daripada raja. Dan jika kekurangannya semakin buruk, maka ia akan dipakai prajurit biasa. Dan, apabila kelebihan ditunggangi sudah hilang sama sekali, maka ia akan dipakai seperti himar untuk menarik roda air atau mengangkut sampah dan semisalnya. Jika kemampuan itu pun sudah hilang, maka ia akan disembelih seperti kambing. Sebagaimana yang dikatakan dalam perumpamaan, ada dua ekor kuda tunggang, yang pertama di bawah tunggangan raja dan yang lain di bawah tunggangan pembawa bendera. Kuda raja berkata, "Ketahuilah bahwa engkau adalah sahabat saya. Saya dan engkau pernah berada di tempat yang sama. Apakah yang membawa kamu ke
tingkatan ini?" Dia menjawab, "Tidak lain sebab engkau berjalan baik dan aku tidak berjalan baik."
Demikian pula halnya pedang. Jika tidak cocok dengan tujuan dan tidak layak untuk menjadi pedang, maka ia ditempa menjadi kapak, gergaji, dan semisalnya. Demikian pula rumah besar dan indah, apabila ia rusak dan hancur, maka ia dijadikan sebagai kandang kambing atau onta. Demikian pula halnya manusia, apabila ia layak menerima kenabian dan kerasulan, maka dia akan dipilih Allah sebagai Nabi dan Rasul sebagaimana firman Allah,
"Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan." (al- An'aam: 124)Jika seseorang kurang dari derajat ini dan cocok untuk menggantikan kenabian dan mewarisinya, maka Allah mencalonkan dan menempatkannya ke derajat itu. Apabila kurang dari itu dan layak menerima derajat kewalian, maka Allah mencalonkannya untuk itu. Dan jika ia layak untuk bekerja serta beribadah tanpa pengetahuan dan ilmu, maka Allah menjadikan dia layak untuk itu. Begitu seterusnya hingga sampai pada derajat orang awam. Apabila derajatnya masih kurang dari itu dan jiwanya tidak dapat menerima kebaikan sama sekali, maka dia dipakai untuk menjadi kayu bakar neraka. Dalam riwayat Israel64 diceritakan bahwa Musa bertanya kepada Tuhannya tentang keadaan orang-orang yang diazab. Allah berfirman kepada Musa, "Wahai Musa tanamlah tanaman!" Lalu Musa menanamnya. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya untuk memetik hasilnya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya untuk
"Atau terdapat dalam kitab-kitab Bani Israil.
menghamburkan dan menaburkan benihnya. Musa lalu mengerjakannya. Lalu menyisihkan biji sendiri, pohon dan daun sendiri. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, "Sesungguhnya Aku memasukkan hamba-hamba yang tidak ada kebaikannya ke dalam neraka; seperti pohon dan duri yang tidak layak kecuali menjadi makanan api. Demikian juga manusia. Mereka mencapai derajat kesempurnaan dari satu fase ke fase lain hingga ia mencapai tingkatan yang diperoleh orang semisalnya. Betapa jauh perbedaan antara keadaan awalnya ketika masih dalam bentuk setetes air mani dengan keadaannya di mana Tuhannya memberikan salam kepada mereka dan manusia pun bisa melihat wajah- Nya pagi dan malam." Perhatikan pula perbedaan Nabi saw. pada masa awal tatkala malaikat mendatanginya, dan berkata kepadanya, "Bacalah!" Nabi menjawab65, "Saya tidak dapat membaca." Bandingkan keadaan ini dengan keadaannya pada masa terakhir dalam firman Allah,
menghamburkan dan menaburkan benihnya. Musa lalu mengerjakannya. Lalu menyisihkan biji sendiri, pohon dan daun sendiri. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, "Sesungguhnya Aku memasukkan hamba-hamba yang tidak ada kebaikannya ke dalam neraka; seperti pohon dan duri yang tidak layak kecuali menjadi makanan api. Demikian juga manusia. Mereka mencapai derajat kesempurnaan dari satu fase ke fase lain hingga ia mencapai tingkatan yang diperoleh orang semisalnya. Betapa jauh perbedaan antara keadaan awalnya ketika masih dalam bentuk setetes air mani dengan keadaannya di mana Tuhannya memberikan salam kepada mereka dan manusia pun bisa melihat wajah- Nya pagi dan malam." Perhatikan pula perbedaan Nabi saw. pada masa awal tatkala malaikat mendatanginya, dan berkata kepadanya, "Bacalah!" Nabi menjawab65, "Saya tidak dapat membaca." Bandingkan keadaan ini dengan keadaannya pada masa terakhir dalam firman Allah,
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku." (al-Maa idah: 3)Dan firman Allah secara khusus,
"Dan Dia telah menurunkan kepadamu Kitab, hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu sangat besar. "(an-Nisaa: 113)65Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim (252).
Dikisahkan ada sekelompok orang Nasrani saling bercerita. Salah seorang dari mereka berkata, "Alangkah rendahnya akal orang-orang muslim yang mengklaim bahwa Nabi mereka adalah seorang penggembala kambing. Bagaimana seorang penggembala kambing layak menjadi Nabi?" Yang lain berkata, "Ketahuilah, demi Allah, mereka lebih berakal daripada kita. Sesungguhnya Allah dengan hikmah-Nya meminta Nabi menggembala hewan ternak. Apabila dia dapat menggembalanya dan menjalankan tugas itu dengan baik, maka dengan hikmahnya, Allah akan memilihnya untuk menggembala hewan berbicara. Itu dimaksudkan sebagai proses latihan bagi Nabi. Sedangkan kita, orang-orang Nasrani, mendatangi seorang bayi yang keluar dari seorang perempuan yang makan, minum, kencing, dan menangis, lalu berkata, 'Ini Tuhan kami yang menciptakan langit dan bumi.' Lalu kaum Nasrani itu menahan orang ini karena perkataannya tersebut." Mengapa orang yang telah dibersihkan Allah dari segala cacat dan telah diperkenalkan kebahagiaan dan kesusahan rela menjadi hewan? Padahal ia telah diberi potensi untuk menjadi seorang raja dalam singgasana kejujuran di hadapan Tuhan, yang mana, malaikat selalu tunduk setia melayaninya dan mengucapkan keselamatan dari setiap pintu masuk, "Keselamatan buat kalian, karena telah bersabar. Sungguh, sebagus-bagus rumah adalah rumah surga." Kesempurnaan ini hanya dapat diperoleh dengan ilmu, pemeliharaan ilmu, dan melakukan segala konsekwensinya. Wa Allah Ta'al al-Muwaffiq. Sementara kekurangan dan kerugian yang paling parah adalah kegagalan orang yang sebenarnya mampu mencapai kesempurnaan dan penyesalan mereka karena melewatkan kemampuan itu. Sebagian ulama salaf mengatakan,
"Jika jalan kebaikan banyak, maka orang yang berada di luar jalan-jalan itu adalah orang yang paling merugi." Dan benar ucapan orang yang mengatakan,
"Saya tidak melihat di antara kekurangan manusia yang menyamai kekurangan orang yang memiliki kemampuan untuk sempurna (lalu dia tidak menyempurnakan din)."
Jadi terbuti bahwa tidak ada yang lebih buruk pada manusia melebihi sikap lalai dari hal-hal mulia dalam agama, lalai dari ilmu bermanfaat dan amal saleh. Barangsiapa yang demikian, maka dia adalah dari jenis orang-orang hina dan penggembala yang mengeruhkan air dan melebihkan harga. Apabila dia hidup, maka dia hidup tidak terpuji. Dan apabila dia mati, dia mati tanpa ada yang merasa kehilangan. Kehilangan orang seperti ini justru merupakan ketenangan bagi negeri dan manusia. Langit tidak akan menangisinya dan tanah tidak akan merasa kasihan.
"Saya tidak melihat di antara kekurangan manusia yang menyamai kekurangan orang yang memiliki kemampuan untuk sempurna (lalu dia tidak menyempurnakan din)."
Jadi terbuti bahwa tidak ada yang lebih buruk pada manusia melebihi sikap lalai dari hal-hal mulia dalam agama, lalai dari ilmu bermanfaat dan amal saleh. Barangsiapa yang demikian, maka dia adalah dari jenis orang-orang hina dan penggembala yang mengeruhkan air dan melebihkan harga. Apabila dia hidup, maka dia hidup tidak terpuji. Dan apabila dia mati, dia mati tanpa ada yang merasa kehilangan. Kehilangan orang seperti ini justru merupakan ketenangan bagi negeri dan manusia. Langit tidak akan menangisinya dan tanah tidak akan merasa kasihan.
Delapan puluh tujuh. Sesungguhnya hati itu didatangi dua penyakit silih berganti. Apabila keduanya menguasai hati, maka itu adalah kebinasaan dan kematiannya, yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Kedua hal ini merupakan pangkal penyakit manusia kecuali mereka yang diselamatkan oleh Allah. Allah SWT telah menyebutkan kedua penyakit ini dalam Kitab-Nya. Penyakit syahwat merupakan penyakit yang paling sulit dan paling mematikan hati. Allah berfirman tentang orang-orang munafik,
Karena itulah, bagi hati manusia, ulama laksana seorang dokter bagi badan. Dan apa yang dikatakan orang bahwa ulama adalah dokter hati, itu karena mereka mampu memadukan antara keduanya. Kalau tidak, justru mereka sebenarnya lebih hebat dari itu. Kadang banyak bangsa yang membutuhkan para dokter, tapi hanya ada sedikit dokter pada negeri tersebut. Dan terkadang ada orang yang menikmati umurnya sementara ia tidak terlalu membutuhkan seorang dokter. Sedangkan ulama, demi Allah dan perintah-Nya, mereka adalah kehidupan dan ruh para makhluk. Tidak pernah sekejap mata pun kita tidak butuh kepada mereka.
Kebutuhan hati terhadap ilmu tidak seperti kebutuhan kepada pernafasan udara, tapi lebih besar dari itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu terhadap hati seperti air bagi ikan. Jika ia kehilangan air, maka ia akan mati.
Maka, perbandingan ilmu kepada hati seperti perbandingan mata kepada cahaya, pendengaran kepada telinga, dan ucapan kepada lidah. Jika itu semua hilang, maka mata buta, telinga tuli, dan mulut bisu. Karena itulah, Allah menyebut orang bodoh dengan orang buta, tuli dan bisu. Itu adalah sifat hatinya karena kehilangan ilmu yang bermanfaat sehingga menetap dalam kebutaan, kebisuan, dan ketulian. Allah berfirman,
"Dalam hati mereka ada penyakit. Lalu ditambah Allah penyakitnya." (Al-Baqarah: 10)Allah berfirman,
"Dan supaya orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir berkata, 'Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?'" (al-Mudatstsir: 31)
"Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya." (al-Hajj: 53)Dalam ketiga tempat ini yang dimaksud dengan penyakit hati, ialah penyakit kebodohan dan syubhat. Adapun penyakit syahwat, terdapat dalam firman Allah,
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu tunduk berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hati." (al-Ahzaab: 32)Artinya, janganlah kamu lemah lembut dalam berbicara sehingga orang yang ada kejahatan dan nafsu zina dalam hatinya berkeinginan untuk melakukan hal itu kepadamu. Mereka mengatakan bahwa perempuan apabila berbicara dengan orang asing hendaklah mengeraskan nada suara dan menguatkannya, tidak melembutkannya. Karena hal itu bisa menjauhkan kepenasaran dan keinginan. Hati juga memiliki penyakit lain seperti riya, takabur, hasad, bangga diri, congkak, cinta kepemimpinan dan kedudukan di muka bumi. Penyakit ini bagian dari penyakit syubhat dan syahwat. Hal ini timbul pasti karena adanya khayalan batil dan keinginan busuk seperti ujub, bangga, congkak, dan ketakaburan yang terbentuk dari khayalan kebesaran dan keutamaan, keinginan diagungkan makhluk dan dipuji. Semua penyakit hati, keluar dari dorongan syahwat atau syubhat atau dari keduanya. Penyakit-penyakit ini semuanya lahir dari kebodohan. Obatnya adalah ilmu sebagaimana yang disabdakan Nabi saw. dalam hadits pemilik luka di kepala yang diberikan fatwa untuk mandi, lalu dia mati. Rasul bersabda, "Mereka membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa tidak bertanya jika tidak tahu? Sesungguhnya obat penyembuh ketidakcakapan adalah bertanya."66 Nabi menjadikan kelemahan hati untuk mengetahui dan kelemahan lidah untuk mengatakan, sebagai penyakit. Obatnya adalah bertanya kepada ulama. Jadi penyakit hati lebih sulit disembuhkan daripada penyakit badan karena puncak dari penyakit badan adalah kematian. Sedangkan, penyakit hati akan mengantar pemilikinya kepada penderitaan abadi dan tidak ada obat bagi penyakit ini kecuali ilmu. Karena itu, Allah menamakan kitab-Nya dengan obat bagi penyakit dada. Allah berfirman,
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmah bagi orang-orang yang beriman." (Yunus: 57)66.Diriwayatkan Abu Daud (332), Ibnu Majah (1/189), ad-Daruquthni (1/190) dan al-Albani menghasankan hadits ini dalam kitab Tamam al-Minnah (1/131).
Karena itulah, bagi hati manusia, ulama laksana seorang dokter bagi badan. Dan apa yang dikatakan orang bahwa ulama adalah dokter hati, itu karena mereka mampu memadukan antara keduanya. Kalau tidak, justru mereka sebenarnya lebih hebat dari itu. Kadang banyak bangsa yang membutuhkan para dokter, tapi hanya ada sedikit dokter pada negeri tersebut. Dan terkadang ada orang yang menikmati umurnya sementara ia tidak terlalu membutuhkan seorang dokter. Sedangkan ulama, demi Allah dan perintah-Nya, mereka adalah kehidupan dan ruh para makhluk. Tidak pernah sekejap mata pun kita tidak butuh kepada mereka.
Kebutuhan hati terhadap ilmu tidak seperti kebutuhan kepada pernafasan udara, tapi lebih besar dari itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu terhadap hati seperti air bagi ikan. Jika ia kehilangan air, maka ia akan mati.
Maka, perbandingan ilmu kepada hati seperti perbandingan mata kepada cahaya, pendengaran kepada telinga, dan ucapan kepada lidah. Jika itu semua hilang, maka mata buta, telinga tuli, dan mulut bisu. Karena itulah, Allah menyebut orang bodoh dengan orang buta, tuli dan bisu. Itu adalah sifat hatinya karena kehilangan ilmu yang bermanfaat sehingga menetap dalam kebutaan, kebisuan, dan ketulian. Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang buta hatinya di dunia ini, niscaya di akhirat nanti dia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar." (al-lsraa: 72)Yang dimaksud adalah buta hati di dunia. Allah berfirman,
"Dan Kami mengumpulkan mereka pada hati kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam.'(al-lsraa': 97)Karena ketika di dunia keadaan mereka seperti itu, maka ia akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka di kala hidup. Ada perselisihan tentang kebutaan di akhirat. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah buta hati dengan dalil bahwa Allah mengabarkan tentang penglihatan orang-orang kafir, malaikat, dan neraka. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah buta mata. Pendapat terakhir ini lebih rajih karena pemakaian kata dalam ayat itu tertuju ke sana dan berdasarkan firman Allah,
"Dia berkata, 'Ya Tuhan, mengapa Engkau membangkitkan saya dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat.'" (Thaahaa: 125)Ayat di atas menunjukkan kebutaan pada mata. Orang kafir tidak dapat dikatakan melihat/memiliki mata hati dengan berbagai alasan/hujjah yang mereka kemukakan. Adapun mengenai penglihatan orang kafir pada hari kiamat, orang-orang yang menganut pendapat kedua ini mengatakan bahwa orang kafir ketika dikeluarkan
dari kubur dengan mata melihat. Tapi ketika digiring ke neraka, mata mereka buta. Ini yang dikatakan al-Farra' dan yang lain.
Delapan puluh delapan. Sesungguhnya Allah SWT dengan hikmah-Nya telah menguasakan atas hamba, seorang musuh yang mengetahui cara-cara dan sebab kehancuran serta keburukan untuk menjerumuskannya. Musuh itu sangat licik, lihai, sangat bernafsu melakukan itu semua, dan tak pernah berhenti siang dan malam.Pasti salah satu dari enam perangkap mereka akan menjeratnya.Bisa jadi musuh yang telah dikuasakan Allah itu menjatuhkannya ke dalamkekafiran. Jika dia berhasil memenangkan itu, dia akan meninggalkannya dan beristirahat. Jika dia tidak berhasil dan hamba itu mendapat petunjuk kepada Islam, maka dia akan sangat berhasrat menjerumuskannya ke dalam bid'ah, temannya kekafiran. Musuh ini lebih suka menjerumuskan orang pada hal yang bid'ah daripada kemaksiatan. Itu karena, ketika seseorang melakukan maksiat, maka ia akan bertaobat. Tapi apabila melakukan bid'ah, seseorang tidak akan bertaobat; karena ia merasa benar dan berada dalam hidayah. Dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa Iblis berkata, "Saya membinasakan anak Adam dengan dosa dan mereka menghancurkan saya dengan istigfar dan dengan kalimat tiada Tuhan selain Allah. Jika saya menyaksikan itu, maka saya meniupkan kepada mereka hawa nafsu. Sehingga, mereka berdosa dan tidak bertaobat, sebab mereka mengira bahwa mereka berbuat baik. Jika Iblis berhasil, dia akan menjadikannya sebagai pemimpin dan penguasa. Jika dia tidak mampu melakukan itu, dia akan menyibukkannya dengan pekerjaan yang tidak terlalu penting di atas
pekerjaan yang lebih utama, untuk mengacaukannya. Ini adalah langkah yang kelima. Jika dia tidak mampu melakukannya, dia akan menuju kepada langkah keenam. Yaitu, memerintahkan kelompoknya untuk menyakiti, mencela, mendustakan, dan menuduh hamba itu dengan perbuatan dosa besar supaya dia sedih dan hatinya menjadi sibuk. Sehingga, menjadi jauh dari ilmu, kehendak, dan seluruh amal perbuatan. Jika demikian, bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang segala persoalan ini dapat terhindar dari iblis? Bagaimana mungkin, orang yang tidak mengenal musuhnya dan tidak tahu tentang hal yang dapat membentenginya bisa terhindar dari iblis?
Hamba yang selamat hanyalah mereka yang mengenalnya dan mengenal cara-cara yang dipakai serta jalur-jalur yang ditempuh pasukan itu. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu tempat masuk dan keluar, cara memeranginya, cara mengobati dan dari apa dia mengambil kekuatan untuk memerangi dan menghalanginya bisa terbebas dari semua itu? Ini semua tidak dapat terwujud kecuali dengan ilmu.
Orang-orang bodoh biasanya lalai dan buta dari masalah besar dan luar biasa ini. Karena itulah musuh ini, keadaan, tentara, dan tipu dayanya banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur'an. Karena, jiwa sangat butuh untuk tahu kepada musuhnya, cara memerangi dan menghadapinya. Kalau bukan ilmu, maka tidak ada yang dapat selamat dari cengkeraman musuh ini. Jadi hanya dengan ilmu, keselamatan dapat dicapai.
pekerjaan yang lebih utama, untuk mengacaukannya. Ini adalah langkah yang kelima. Jika dia tidak mampu melakukannya, dia akan menuju kepada langkah keenam. Yaitu, memerintahkan kelompoknya untuk menyakiti, mencela, mendustakan, dan menuduh hamba itu dengan perbuatan dosa besar supaya dia sedih dan hatinya menjadi sibuk. Sehingga, menjadi jauh dari ilmu, kehendak, dan seluruh amal perbuatan. Jika demikian, bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang segala persoalan ini dapat terhindar dari iblis? Bagaimana mungkin, orang yang tidak mengenal musuhnya dan tidak tahu tentang hal yang dapat membentenginya bisa terhindar dari iblis?
Hamba yang selamat hanyalah mereka yang mengenalnya dan mengenal cara-cara yang dipakai serta jalur-jalur yang ditempuh pasukan itu. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu tempat masuk dan keluar, cara memeranginya, cara mengobati dan dari apa dia mengambil kekuatan untuk memerangi dan menghalanginya bisa terbebas dari semua itu? Ini semua tidak dapat terwujud kecuali dengan ilmu.
Orang-orang bodoh biasanya lalai dan buta dari masalah besar dan luar biasa ini. Karena itulah musuh ini, keadaan, tentara, dan tipu dayanya banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur'an. Karena, jiwa sangat butuh untuk tahu kepada musuhnya, cara memerangi dan menghadapinya. Kalau bukan ilmu, maka tidak ada yang dapat selamat dari cengkeraman musuh ini. Jadi hanya dengan ilmu, keselamatan dapat dicapai.
Keutamaan dan Kemuliaan llmu Bag.6
Labels:
Keutamaan-dan-Kemuliaan-llmu
Keine Kommentare: