STATUS ANAK ZINA
NASAB
ANAK ZINA
Anak
zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan
kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi
bapaknya.1 Nabi صلى الله عليه وسلم menyatakan tentang anak
zina:
لِأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
“Untuk
keluarga ibunya yang masih ada…"2
Juga
menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya, sebagaimana dijelaskan Ibnu
Umar رضي الله عنهما dalam
penuturannya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاعَنَ بَيْنَ
رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ
الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ
“Nabi
صلى الله عليه وسلم mengadakan mula’anah antara seorang dengan
istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi
صلى الله عليه وسلم memisahkan keduanya dan menasabkan anak
tersebut kepada ibunya.”3
Inilah
salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim رحمه الله ketika menjelaskan konsekuensi mula’anah
menyatakan: “Hukum yang ke enam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang
bapak, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم menetapkan untuk tidak dipanggil anak
tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat mayoritas
ulama.” 4
Syaikh
Musthafa Al’Adawi خفظه الله menyatakan: “Inilah pendapat mayoritas
ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya karena Rasululloh
صلى الله عليه وسلم menetapkan tidak dinasabkan kepada
bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” 5
Sedangkan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله menyatakan: “Anak zina diciptakan dari
sperma tanpa pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada
lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia bersuami,
karena ia tidak memiliki bapak yang syar’i.” 6
Nasab
anak hasil selingkuh atau perzinahan, apabila dilihat kepada status ibunya, maka
dapat dikategorikan menjadi dua :
1. Lihat
Al Mughni 9/123
2. HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina
no. 2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu
Dawud no. 1983
3. HR. al-Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi
al-Mar`ah lihat Fathu al Baari 9/460
4. Zaad al-Ma’ad 5/357
5. Jaami’ Ahkaam an-Nisaa` 4/232
6. Syarhu al-Mumti’, Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255
1.
Berstatus
Istri Seorang Suami
Seorang
wanita bersuami yang terbukti selingkuh (baca: berbuat zina)
kemudian melahirkan anak dari hubungan haram tersebut,
maka tidak lepas dari dua keadaan:
a.
Sang
suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai
anaknya.
Apabila
terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak
mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang
yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda
Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits A’isyah رضي الله عنها:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak
yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum”
1
Yang
dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau
budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits
Abu Hurairah رضي الله عنه yang menyatakan bahwa Rasulullah
صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
“Anak
yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)”
2
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di رحمه الله menyatakan: “Kapan saja seorang wanita
telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah
darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy”. 3 Beliaupun menambahkan: “Dengan Firasy ini maka
tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang
lainnya”. 4
b.
Sang
suami mengingkarinya
Apabila
sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam
satu dari dua keadaan:
Mengakui
kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai
syari’at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan
demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan kepada
ibunya.
Wanita
itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu
saling melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan
pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan
anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
1. HR. al-Bukhari kitab Al-Faraa’id, Bab Man idda’a Akhanat au
Ibna Akhi, lihat Fathul Bari 12/52
2. HR. al-Bukhori dalam kitab al-Faraaid, Bab al-Walad Lil Firaasy
Hurratan kaanat au Amatan, lihat Fathul Baari, 12/32
3. al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 552
4. al-Fatawa as-Sa’diyah hal. 553.
2. Tidak
Menjadi Istri Seseorang
Apabila
wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah lalu
melahirkan anak, maka anak tersebut memiliki dua keadaan:
a.
Bila
tidak ada seorangpun yang menzinainya yang meminta anak tersebut dinasabkan
kepadanya, maka hukumnya tidak dinasabkan kepada lelaki dan dinasabkan kepada
ibunya.
b.
Bila
ada yang mengaku menzinai wanita tersebut dan mengakui anak tersebut adalah
anaknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua
pendapat:
Pendapat
Pertama:
Menyatakan
Anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya.
Inilah
pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad rahimahumullah)1 dan pendapat Ibnu Hazm رحمه الله dari madzhab Zhahiriyah.2 Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dalam
al-Mughni.
Dasar
pendapat ini adalah:
1.
Sabda
Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak
yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya
dihukum.”
3
Dalam
hadits yang mulia ini Nabi صلى الله عليه وسلم tidak menjadikan anak tersebut dinasabkan
kepada selain suami ibunya. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina
menyelisihi tuntutan hadits ini.
2.
Hadits
Abdullah bin ‘Amru
رضي الله عنه yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلَانًا ابْنِي
عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا دَعْوَةَ فِي الْإِسْلَامِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Seorang
berdiri seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak
saya, saya dulu di zaman Jahiliyah menzinahi ibunya’. Maka Rasululloh
صلى الله عليه وسلم menjawab: ‘Tidak ada pengakuan anak dalam
islam, telah hilang urusan jahiliyah. Anak adalah milik suami wanita
(al-Firaasy) dan pezina dihukum’.”
4
3.
Sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم :
لَا مُسَاعَاةَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ سَاعَى فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنْ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلَا
يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
“Tidak
ada perzinaan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan
kepada kerabat ahli warisnya (Ashobah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa
bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.”
5
4.
Hadits
Abdullah bin ‘Amru رضي الله عنه yang berbunyi :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ كُلَّ
مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِي يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ
وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ
أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنْ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ
قَبْلَهُ مِنْ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ
فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلَا يَلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِي يُدْعَى لَهُ
أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ
بِهَا فَإِنَّهُ لَا يَلْحَقُ بِهِ وَلَا يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ
هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ
“Sungguh
Nabi صلى الله عليه وسلم ingin memutuskan bahwa setiap anak yang
dinasabkan setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui
oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari
budak yang dimilikinya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri),
maka dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak
memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan
warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan
(kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya.
Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang
dizinainya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi
walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina
baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.” 6
Ibnu al-Qayyim رحمه الله menyatakan: “Hadits ini membantah pendapat
Ishaaq رحمه الله dan yang sepakat dengannya.” 7
5.
Sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ
زِنَا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ
“Siapa
saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak
zina, tidak mewarisi dan mewariskan.” 8
6.
Ibnu
Qudamah رحمه الله menyampaikan alasannya bahwa anak zina
tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya, sehingga
menunjukkan anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat
dinasabkan kepadanya sama sekali. 9
1. Lihat Ikhtiyaraat Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Muufi
2/828
2. Lihat al-Muhalla 10/323
3. HR. Bukhari
4. HR. Abu Dawud, Kitab Ath-Thalaq, Bab Al-Walad Lil Firasy no.
2274 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih
al-Jaami’ no. 2493
5. HR. Abu Dawud no. 2264 dan di-dhoif-kan Al-Albani dalam
Dho’if al-Jaami’ dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad
al-Ma’ad 5/382
6. HR. Abu daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zaad
al-Ma’ad 5/383
7. Zaad al-Ma’ad 5/384
8. HR. At-Tirmidzi, kitab al-Fara`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albani
dalam Shahih Sunan At-tirmidzi dan Shohih al-Jaami’ no.
2723
Pendapat
Kedua:
Menyatakan
anak tersebut dinasabkan kepada pezina
apabila ia meminta penasabannya.
apabila ia meminta penasabannya.
Inilah
pendapat Ishaaq bin Rahawaih
رحمه الله, ‘Urwah bin az-Zubeir
رحمه الله, Sulaiman bin Yasaar
رحمه الله dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah
رحمه الله.
Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan: “Ada dua pendapat ulama dalam
masalah pezina meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang
dizinahi tersebut tidaklah bersuami. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak
yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya
dihukum.”
Nabi
صلى الله عليه وسلم menjadikan anak tersebut miliki suami
(al-Firaasy) tidak kepada pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firaasy)
maka tidak masuk dalam hadits ini.”
1
Ibnu Taimiyah رحمه الله berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar
bin Al-Khathab رضي الله عنه sebagaimana diriwayatkan imam Malik dalam
al-Muwaththa’ dengan lafadz:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيطُ أَوْلَادَ الْجَاهِلِيَّةِ
بِمَنْ ادَّعَاهُمْ فِي الْإِسْلَامِ
“Umar
bin al-Khaththab رضي الله عنه dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah
kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.” 2
Demikian
juga berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu
pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya
serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina
dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut
dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang
mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak
mengakuinya? Ini adalah qiyas murni.3
Yang
rajih, Wallahu A’lam, adalah pendapat jumhur dengan shahihnya dalil kedua
dan keempat yang merupakan dalil yang jelas menguatkan pendapat
jumhur.
Ibnu al-Qayyim رحمه الله setelah membahas perbedaan pendapat dalam
masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari dalil pendapat pertama,
menyatakan: “Apabila hadits ini shohih maka wajib berpendapat dengan isi
kandungannya dan mengambilnya. Apabila tidak (shahih) maka pendapat (yang rojih)
adalah pendapat Ishaaq رحمه الله dan yang bersamanya.”
4
1. Majmu’ Fatawa 32/112-113
2. Al-Muwaththa’ 2/740
3. Zaad al-Ma’ad 5/381
4. Zaad al-Ma’ad 5/381
ANAK
ZINA DAN WARISAN
Hukum
dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak
mula’anah karena terputusnya nasab mereka dari sang bapak.1 Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah
bagian dari konsekwensi nasabnya.
1.
Anak
zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan
waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada dengan adanya sebab pewarisan
(Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara
syar’i
kepada lelaki tersebut maka tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan
demikian maka anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan
kerabatnya dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina
tersebut.
2.
Anak
zina dengan ibunya
Sedangkan
dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan anak zina tersebut sama seperti
anak-anak ibunya yang lainnya, karena ia adalah anaknya sehingga masuk dalam
keumuman firman Allah Ta’ala :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ
فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS.
An-Nisaa`[4]:
11)
Sebab
anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan nasab adalah sebab pewarisan.
Demikian juga anak zina tersebut statusnya dalam hal ini sama dengan anak
mula’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang
menceritakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم memutuskan perkara mula’anah, Sahl
bin Sa’ad رضي الله عنه berkata:
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ وَكَانَتْ
حَامِلًا فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ثُمَّ جَرَتْ
السُّنَّةُ فِي الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ
لَهَا
“Maka
menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mula’anah. Wanitanya tersebut
dalam keadaan hamil, lalu suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya
dinasabkan kepada wanita tersebut, kemudian berlakulah sunnah dalam warisan
bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris
harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah”
2
Ibnu
Qudamah رحمه الله berkata: “Seorang lelaki apabila melakukan
mula’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya dan hakim telah memisahkan
antara keduanya, maka nak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris
mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mula’anah tersebut, sehingga ia tidak
mewarisinya dan tidak juga seorangpun ahli waris (‘Ashobah)-nya. Ibunya
dan dzawu al-Furudh darinya yang mewarisinya saja. Juga waris mewaris
antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat dalam hal ini.”
3
1. Lihat al-Mughni 9/122
2. HR. al-Bukhari, Kitab At-Tafsir no. 4746 lihat Fathu al Baari
8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’an, lihat Syarh An-Nawawi 10/123
3. Al-Mughni 9/114
MAHROMKAH
ANAK ZINA TERHADAP KELUARGA
LELAKI YANG MENZINAI IBUNYA?
LELAKI YANG MENZINAI IBUNYA?
Telah
lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan
hak warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka
anak zina tersebut bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status
mahrom didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan
ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram
bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari
pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan
kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara
mereka.
Melihat
hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:
Bolehkah
lelaki tersebut menikahi anak hasil perbuatan zinanya?
Permasalahan
ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dan beliau jawab dengan penjelasan sebagai
berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin
hingga imam Ahmad رحمه الله mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam
hal ini dikalangan salaf. Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka
dihukum bunuh’. Disampaikan kepada beliau dari Imam Maalik رحمه الله bahwa beliau membolehkannya, maka imam
Ahmad رحمه الله mendustakan penukilan dari imam Maalik
tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah رحمه الله dan pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya,
Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat banyak dari pengikut madzhab
Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’i رحمه الله berpendapat yang berbeda dengan ini. Para
ulama berkata: ‘Syafi’i
hanya menyatakan tentang anak perempuan dari susuan bukan anak zina
hasil perzinahannya’.” 1
Ibnu Taimiyah رحمه الله juga
ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut
meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita
tersebut?
Beliau
menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua
pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan
ini juga madzhab Syafi’i.”
Dengan
demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahrom.
Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita
semua.
Wabillahit
Taufiq.[]
1. Majmu’ Fatawa 32/143
Ustadz Kholid Syamhudi خفظه الله
Labels:
Fiqh
Keine Kommentare: