AKHLAK

[Akhlak][grids]

Aqidah

[Aqidah][twocolumns]

FIQIH

[Fiqh][bleft]

Macam-macam orang yang mempunyai ilmu namun mereka tidak layak untuk memilikinya


Kemudian Ali رضي الله عنه menyebutkan macam-macam orang yang mempunyai ilmu namun mereka tidak layak untuk memilikinya. Mereka ada empat golongan.

Golongan pertama: yang tidak dapat dipercaya memegang amanah ilmu. Yaitu, orang yang diberi karunia kecerdasan dan hafalan, tapi ia tidak dikaruniai kebersihan hati. Akhirnya ia menjadikan ilmu -yang merupakan alat agama— sebagai alat dunia. Ia mencari dunia dengan ilmu itu. Ia memfungsikan komoditi perdagangan akhirat menjadi alat dagang dunia. Orang seperti ini tidak amanah terhadap ilmu yang ; dimilikinya. Allah سبحانه و تعالى sekali-kali tidak menjadikannya imam bagi ilmu itu. Sebab, orang yang amanah adalah orang yang tidak punya tujuan dan keinginan pribadi selain mengikuti serta mendapatkan kebenaran, sehingga ia tidak memburu kekuasaan dan dunia dengannya. Orang yang telah menjadikan komoditi akhirat sebagai alat dagang dunia telah mengkhianati Allah سبحانه و تعالى  mengkhianati hamba-hamba-Nya, dan mengkhianati agama-Nya. Oleh sebab itu, Ali رضي الله عنه mengungkapkan orang pertama ini dengan "orang yang tidak amanah atas ilmu."
Perkataan Ali selanjutnya, 'ia mengedepankan ilmu -yang merupakan karunia Allah سبحانه و تعالى- atas kitab-Nya, dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya'. Ini adalah karakter pengkhianat tersebut. Apabila dikaruniai nikmat, ia sombong di depan manusia. Apabila menguasai ilmu, ia mengedepankan ilmu itu atas Kitabullah dan menjadikannya pegangan. Ini adalah sikap banyak orang yang telah menguasai suatu ilmu. Mereka merasa cukup dengan ilmu itu, mengutamakannya dan menjadikan Kitabullah sebagai pengikut ilmunya. Ini bukanlah sikap para ulama. Karena orang yang benar-benar alim akan mengedepankan Kitabullah atas segala hal yang lain, dan menjadikannya patokan keputusan hukum dan timbangan atas segala hal, sebagaimana Allah سبحانه و تعالى telah menjadikan Al-Quran sebagai imam. Jadi, orang yang mengedepankan Al-Quran itu adalah orang yang mendapat petunjuk dan berbahagia, sedang yang mengutamakan sesuatu yang lain atasnya adalah orang yang sesat dan celaka. Ini adalah ihwal dan sikap orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain Kitabullah, merasa cukup dengannya, dan mengedepankannya serta mengakhirkan Al-Qur'an. 

Golongan kedua: orang yang tunduk, tapi hatinya belum mantap. Pengetahuannya terhadap ilmu itu lemah, tapi dia patuh kepada para ulama. Ini adalah keadaan para pengikut kebenaran, yaitu orang-orang yang taklid. Orang-orang ini, meski berada di jalan keselamatan, bukanlah para penyeru (dai) kepada agama. Mereka hanyalah pada posisi serdadu biasa, bukan panglima dan jenderal.
Perkataan Ali رضي الله عنه, keraguan tertanam di hatinya begitu menjumpai isu meragukan, karena ilmunya lemah dan pengetahuannya minim. Apabila hatinya dilanda keraguan sekecil apa pun, maka ia goyah. Berbeda dengan orang yang kokoh dalam ilmunya. Apabila ia diterpa badai keraguan sekuat hempasan gelombang laut, keyakinannya tidak berubah dan tidak muncul kebimbangan dalam hatinya. Sebab, ia telah kokoh dalam ilmu sehingga keraguan tidak mempermainkannya. Bahkan, apabila keraguan datang, penjagaan 'bala tentara' ilmu mampu menolaknya.
Keraguan itu datang melanda hati dan menghalangi tersingkapnya kebenaran. Selama hati telah tersentuh dengan hakikat ilmu, maka keraguan tidak akan berpengaruh padanya. Bahkan, dengan mengusirnya dan mengetahui kebatilannya, hati bertambah kuat dan keyakinan makin teguh. Sebaliknya jika hakikat ilmu tentang kebenaran belum menyentuh hati, maka sekali muncul keraguan maka ia akan goyah. Syukur bila cepat disadari. Bila tidak, maka yang berikutnya akan beruntun susul-menyusul menimpa hati sehingga orang tersebut akhirnya menjadi orang yang peragu dan bimbang.
Hati dilanda oleh dua macam tentara kebatilan yaitu syahwat dan syubhat (keraguan). Setiap hati yang menerima dan menyambutnya akan merekamnya hingga penuh. Pengaruhnya menjalar sampai ke lisan dan organ-organ tubuhnya. Apabila yang merasuki hati adalah syubhat-syubhat batil, maka meledaklah keraguan melalui lisannya. Sehingga, orang yang bodoh menyangka bahwa hal itu karena ilmunya luas. Padahal, itu terjadi akibat dari dia tidak berilmu dan tidak punya keyakinan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku -ketika aku terlalu banyak mengemukakan syubhat dan bantahan-bantahan orang, "Janganlah engkau memenuhi hatimu dengan bantahan dan syubhat seperti bunga karang yang selalu menerima dan penuh dengan benda asing, sehingga akhirnya engkau hanya menyebarkan syubhat-syubhat itu. Tapi, jadikanlah hatimu itu seperti kaca bening. Syubhat boleh lewat di luarnya, tapi tidak berdiam di sana. Ia dapat melihat syubhat itu dengan kejernihannya, dan menolaknya dengan kepadatannya. Jika tidak begitu, dan engkau menghirup semua syubhat yang menimpa hatimu, maka hatimu itu akan menjadi tempat bersemayamnya syubhat-syubhat." Wasiat ini amat bermanfaat bagiku dalam menolak syubhat.
Syubhat dinamai demikian karena mengandung ketidakjelasan kebenaran dengan kebatilan. Syubhat membungkus jasad kebatilan dengan baju kebenaran. Sementara itu, kebanyakan manusia melihat kepada kulit penampilan luar yang baik. Maka, orang yang melihat syubhat itu akan melihat baju yang dikenakannya sehingga beranggapan bahwa ia itu benar. Tapi, ulama -orang yang berilmu dan mempunyai keyakinan teguh—tidak terpedaya dengan hal itu. Pandangannya menembus ke batin syubhat dan apa yang di balik bajunya sehingga hakikatnya terungkap di matanya. Permisalan untuk ini adalah dirham (uang perak) palsu. Orang yang tidak mengerti tentang logam mulia akan tertipu karena melihat lapisan peraknya. Tapi orang yang paham dan jeli, pandangannya melampaui kulit luar sehingga ia dapat mengetahui kepalsuannya. Nah, ucapan yang indah dan fasih bagi syubhat adalah seperti lapisan perak bagi dirham palsu. Dan, makna ucapan itu sendiri seperti perunggu yang dibungkus dengan perak itu tadi.
Kalau orang yang berakal dan cerdas memperhatikan dan merenungkan hal ini, ia melihat kebanyakan manusia menerima mazhab dan pendapat dengan suatu lafal dan menolaknya bila diungkapkan dengan lafal lain. Dalam berbagai buku, aku temukan hal seperti ini yang sangat banyak. Betapa banyak kebenaran ditolak orang karena dijelek-jelekkan dengan bungkusan baju kata-kata yang keji.
Dalam hal semacam ini, para imam Ahli Sunnah, di antaranya Imam Ahmad, menyatakan, "Kami tidak menghilangkan salah satu dari sifat Allah سبحانه و تعالى dikarenakan sebuah kekejian yang dibuat suatu pihak." Contohnya, orang-orang Jahmiyyah menamakan pemberian sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah سبحانه و تعالى yang berupa hayat, 'Urn, kalam, soma', bashar dan Iain-lain yang Allah سبحانه و تعالى sebutkan sendiri sebagai tasybih dan tajsim79, dan menyebut orang yang memberikan sifat itu dengan nama mujassim80. Akibat penyebutan yang keji ini, orang-orang yang berpikiran pendek dan pemahamannya dangkal akan menjauhi dan tidak menerima pemberian sifat kesempurnaan kepada Allah سبحانه و تعالى.
Semua penganut suatu kepercayaan atau aliran membungkus aliran dan pendapat mereka dengan lafal-lafal terbaik semampu mereka; dan membungkus pendapat orang yang berseberangan dengan lafal-lafal yang paling buruk. Orang yang dikaruniai oleh Allah سبحانه و تعالى pemahaman yang dalam mampu mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik lafal-lafal itu. Ia tidak terpedaya dengan lafal.
Maka, apabila Anda ingin mengetahui hakikat sebenarnya dari suatu makna, apakah ia hak atau batil, lepaskan ia dari baju lafalnya dan bersihkan hatimu dari kecenderungan dan kebencian, lalu pikirkanlah dengan dalam dan adil. Jangan seperti orang yang menimbang pendapat para sahabatnya dengan sepenuh hatinya. Tapi, giliran ia menimbang pendapat lawan ia seperti memandang kepada percikan api. Karena, orang yang menimbang dengan hati permusuhan akan melihat kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan orang yang menimbang dengan hati cinta sebaliknya. Hanyalah orang yang Allah سبحانه و تعالى kehendaki dan ridhai untuk menerima kebenaran yang akan selamat dari aib ini. Ada yang berkata,
"Pandangan ridha mampu menutupi setiap cacat sebagaimana pandangan benci selalu menampakkan keburukan."

Yang lain berkata,
"Mereka memandang dengan pandangan permusuhan seandainya dengan pandangan ridha pasti mereka menganggap baik sesuatu yang buruk."
79 Tasybiih adalah menyamakan Allah dengan makhluk, Tajsiim menganggap Allah SWT mempunyai tubuh seperti manusia
80 Mujassim adalah orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tubuh seperti manusia  



Kalau ini berkaitan dengan penglihatan mata kasat yang menjangkau hal-hal kongkrit yang tidak dilebih-lebihkan, apalagi pandangan mata hati yang menjangkau makna-makna abstrak yang biasanya mudah terkena penyakit pengingkaran. Hanya kepada Allah سبحانه و تعالى kita meminta bimbingan untuk mengetahui dan menerima kebenaran dan menolak kebatilan serta tidak terpedaya dengannya.

Perkataan Abu Hurairah رضي الله عنه , begitu menjumpai syubhat, merupakan bukti kelemahan akal dan makrifat orang tersebut, karena dia dapat terpengaruh dan terombang-ambing oleh hal-hal sepele dan kecil. Berbeda dengan orang yang berakal jernih dan teguh, hal-hal kecil tidak dapat mengguncang dan mempermainkannya. Pada awalnya, kebatilan mengejutkan, namun bila hatinya tegar, ia mengusirnya mundur ke belakang.

Allah سبحانه و تعالى mencintai orang yang mempunyai ilmu dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak bertindak hingga ia mengetahui dan meyakini apa yang sedang melandanya. Ia tidak terburu-buru mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan sebelum benar-benar mengetahuinya dengan dalam. Ingat, tergesa-gesa adalah dari setan. Maka, orang yang tegar berhadapan dengan guncangan karena hal-hal kecil, ia menghadapi urusannya dengan ilmunya dan ketegasan. Sedangkan, orang yang tidak tegar akan menghadapinya dengan tergesa-gesa dan kacau, akibatnya adalah penyesalan. Orang yang pertama berujung pada keberuntungannya.

Hanya saja orang pertama menghadapi sebuah kekurangan juga. Tapi, selama kekurangan itu diiringi dengan keteguhan dan ketegasan, ia akan selamat darinya. Yaitu, lolosnya godaan tersebut masuk ke dalam hatinya. Tidak ada yang dikhawatirkan dari sikap teguh selain bahaya ini. Akan tetapi, bila dibarengi dengan keteguhan dan ketegasan, maka tidak ada masalah yang timbul. Oleh karena itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم berdoa seperti diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa'i,
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, kemantapan dalam urusanku dan keteguhan dalam kebenaran."
Dua kata ini (tsabat dan 'azimah) adalah inti keberuntungan. Seseorang tidak mendapat celaka dan masalah kecuali karena mengabaikan keduanya atau salah satunya. Seseorang tidak menemui masalah melainkan sebab tergesa-gesa, kacau, dan mudah dipermainkan oleh hal-hal permukaan kecil; atau karena menyepelekan dan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Apabila telah ada kemantapan (tsabat), lalu ada juga keteguhan ('azimah), seseorang tersebut benar-benar beruntung. Wallahu waliyyut taufiq.

Golongan ketiga: orang yang keinginannya mencari kesenangan. la tunduk kepada dorongan nafsu di manapun berada. la tidak dapat memperoleh derajat pewaris para nabi, karena ilmu tidak diraih melainkan dengan meninggalkan kesenangan dan menceraikan kemalasan. Imam Muslim berkata dalam shahihnya bahwa Yahya bin Abi Katsir berkata, "Ilmu tidak didapatkan dengan bersantai-santai."
Ibrahim al-Harby berkata, "Para cendekiawan seluruh umat sepakat bahwa kesenangan tidak dapat diraih dengan kesenangan. Orang yang memilih santai, maka sesuatu yang nikmat akan terlepas darinya."
Jadi, tidak mungkin orang yang mementingkan kenikmatan dan kesenangannya akan mendapat derajat sebagai pewaris para nabi.
"Tinggalkanlah menulis karena engkau bukan ahlinya walaupun engkau hitamkan wajahmu dengan tinta."
Ini karena ilmu adalah aktivitas dan pekerjaan hati. Selama hati tidak mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitasnya, ia tidak dapat meraihnya. Dan hati hanya punya satu arah kiblat. Kalau ia mengarahkan hatinya ke kesenangan dan nafsu syahwat, ia berpaling dari ilmu. Orang yang tidak memenangkan kenikmatan dan keinginan untuk meraih ilmu, tidak akan pernah memperoleh ilmu itu. Apabila keinginan terhadap kenikmatan ilmu telah menguasai seluruh indera dan raganya, ada harapan ia akan termasuk golongan para ulama.
Kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruhani, seperti kenikmatan yang dirasakan para malaikat. Sedang nikmatnya karena makan, minum, nikah adalah kenikmatan hewani. Manusia sama dengan hewan dalam masalah itu. Adapun nikmatnya kejahatan, kezaliman, dan kerusakan adalah kenikmatan setan. Para pelakunya sama dengan iblis dan tentara-tentaranya. Seluruh kenikmatan lenyap dengan berpisahnya ruh dari badan, kecuali nikmatnya ilmu dan iman. Kenikmatan ini justru tambah sempurna setelah perpisahan ruh dan badan itu, karena badan dan hal-hal yang dulu menyibukkannya mengurangi, menyedikitkan, dan menghalangi kenikmatannya. Apabila ruh telah terpisah dari badan, ia mencapai kenikmatan utuh dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang ia kerjakan. Maka, orang yang mencari kenikmatan yang paling besar dan mengutamakan kenikmatan yang abadi berada di jalan ilmu dan iman yang menjadi inti sempurnanya kebahagiaan manusia.
Juga, kenikmatan-kenikmatan hewani itu cepat hilang. Apabila telah habis, akan diganti dengan perasaan murung dan sedih. Bukankah orang yang ditimpa musibah seperti itu perlu mengobatinya dengan hal yang sebanding untuk mengusir rasa sakitnya? Mungkin pengobatan itu menyakitkannya dan ia benci, namun ia harus menanggungnya untuk mengobati kesedihannya. Jauh sekali ini dengan kenikmatan ilmu, iman, cinta kepada Allah, dan merasa nikmat dengan zikir. Inilah kenikmatan dan kelezatan hakiki itu.

Golongan keempat: orang yang seluruh keinginannya tercurah pada mengumpulkan, mengembangkan, dan menyimpan harta. Kesenangan dan kenikmatannya ada pada hal-hal tersebut. Ia menghabiskan usia untuk semua itu. Ia tidak melihat adanya sesuatu yang lebih nikmat daripada yang ia senangi itu. Alangkah jauhnya ia dari derajat orang-orang berilmu.
Keempat golongan ini bukanlah termasuk dai-dai agama, atau para pemuka ulama, bukan pula para pencari ilmu. Sebagian dari mereka yang kelihatannya mempunyai ilmu, hanyalah orang-orang yang berpura-pura menjadi ulama, mengklaim diri mereka berilmu tapi sebenarnya tidak punya apa-apa. Bahaya dari orang-orang ini adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah. Manusia akan meniru-niru mereka karena menyangka mereka benar-benar berilmu dengan berkata, "Kami tidaklah lebih baik dari mereka dan kami tidak mengutamakan diri kami atas mereka." Jadilah mereka rujukan orang-orang lengah tersebut. Oleh karena itulah, seorang sahabat menyindir mereka dengan ucapannya, "Berhati-hatilah terhadap bahaya orang alim yang berakhlak bejat dan ahli ibadah yang bodoh, karena bahaya mereka berdua adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah."
Perkataan Ali رضي الله عنه, hewan ternak lebih mirip dengan mereka, penyamaan ini diambil dari firman-Nya, "Mereka seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih buruk lagi." Dalam ayat ini, Allah سبحانه و تعالى bukan hanya menyerupakan mereka dengan hewan ternak, melainkan menyatakan mereka lebih sesat.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyerupakan mereka dengan hewan ternak karena keinginan mereka hanya memburu dunia.
Allah سبحانه و تعالى menyerupakan orang-orang bodoh dan sesat terkadang dengan (1) hewan ternak, (2) dengan keledai —ini adalah perumpamaan bagi orang yang mempelajari ilmu tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkannya, ia seperti keledai yang membawa buku—, (3) dan terkadang dengan anjing — ini adalah bagi yang meninggalkan ilmu dan tenggelam dalam nafsu syahwat.
Perkataan Ali رضي الله عنه, maka ilmu mati dengan matinya orang-orang yang mengembannya, bersumber dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  dalam hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar dan Aisyah,
"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى tidak menghapus ilmu begitu saja dengan mencabutnya dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, Dia menghapus ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga begitu tidak ada lagi seorang ulama, orang-orang mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, lalu memberi jawaban tanpa landasan ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan." {HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ulama. Ibnu Mas'ud berkata pada hari meninggalnya Umar رضي الله عنه  "Aku kira sembilan puluh persen dari ilmu telah hilang hari ini." Dan di depan telah kami sebutkan perkataan Umar رضي الله عنه  "Kematian seribu 'aabid 'tukang ibadah' lebih sepele daripada kematian seorang alim yang mengetahui hukum halal dan haram."
Perkataan Ali رضي الله عنه  "Akan tetapi memang benar, bumi tidak akan pernah kosong dari seorang mujtahid yang tegar membela bukti-bukti Allah سبحانه و تعالى , dikuatkan dengan hadits shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم., 
"Selalu ada sekelompok dan umatku yang tegar di atas kebenaran. Orang yang mengkhianati mereka tidak mendatangkan mudarat bagi mereka sampai tiba keputusan dari Allah sedang mereka dalam keadaan seperti itu."(HR Bukhari)
Pernyataan di atas juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik رضي الله عنه , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Perumpamaan umatku itu seperti hujan, tidak diketahui apakah awalnya lebih baik atau akhirnya."(HR Tirmidzi)
Kalau di generasi akhir umat ini tidak ada seorang mujtahid yang tegar membela agama dengan hujah-hujah Allah سبحانه و تعالى  tentu mereka tidak layak mendapat sifat sebagai umat terbaik seperti disinggung hadits di atas.
Umat ini adalah umat paling sempurna dan umat terbaik yang pernah dilahirkan untuk umat manusia. Nabinya adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah beliau. Maka, Allah سبحانه و تعالى menjadikan para ulama dalam umat ini susul-menyusul. Setiap kali ada ulama yang meninggal, lahir ulama penggantinya agar nilai-nilai agama tidak punah dan syiar-syiarnya tidak pupus. Dalam Bani Israel, setiap nabi meninggal diganti oleh nabi berikutnya, jadi mereka dipimpin oleh para nabi. Para ulama di umat kita ini seperti para nabi pada Bani Israel.
Juga, disebutkan dalam hadits yang lain,
"llmu ini diemban dalam setiap generasi oleh orang-orang yang adil di tengah mereka. Mereka menolak penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, klaim/pendapat orang-orang yang salah dan takwilan orang-orang bodoh dari ilmu itu."
Ini menunjukkan bahwa selalu ada yang mengemban ilmu itu sepanjang masa, abad demi abad.
Dalam ShahihAbu Hatim disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Khaulany bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Allah سبحانه و تعالى senantiasa menanam di dalam agama ini tanaman, yang Dia gunakan untuk taat kepada-Nya."(HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Tanaman Allah سبحانه و تعالى itu adalah para pemilik ilmu dan amal. Ini artinya kalau di bumi tidak ada seorang alim, berarti bumi kosong dari tanaman Allah سبحانه و تعالى.
Pernyataan ini punya bukti yang banyak yang pembahasan, ada tempatnya tersendiri. Para pendusta81 memberi tambahan dalam hadits Ali رضي الله عنه  baik secara eksplisit dan jelas maupun secara implisit dan samar. Mereka mengira bahwa itu adalah dalil benarnya pendapat mereka tentang adanya al-Muntazhar 'penyelamat umat yang ditunggu kemunculannya'. Tambahan ini dilakukan oleh sebagian pendusta

81 Maksud Ibnul Qayyim di sini adalah orang-orang Syiah. Mereka menambah-nambah hadits itu untuk melariskan khurafat tentang al-Mahdy yang sekarang masih gaib, yaitu Muhammad bin Hasan al-Askary, imam kedua belas menurut mereka. di antara mereka. 

Padahal hadits ini masyhur dari Ali رضي الله عنه. Hanyalah pendusta yang mengatakan tambahan itu sebagai riwayat darinya.
Hujah-hujah Allah سبحانه و تعالى tidaklah tegak dan kuat dengan dipegang oleh orang yang tersembunyi, yang dunia tidak dapat mengambil manfaat darinya sama sekali, tidak ada orang bodoh yang belajar darinya, tidak ada orang sesat yang mencari hidayah kepadanya, tidak ada orang takut yang mendapatkan ketenangan dengannya, atau orang terhina yang menjadi mulia dengannya. Hujah macam apa yang ada pada orang yang tidak terlihat raganya, tidak terdengar ucapannya, dan tidak diketahui tempatnya? Hujah Allah سبحانه و تعالى juga tidak akan tegak dengan pokok-pokok kepercayaan orang-orang yang berpendapat seperti itu, Syiah. Sedangkan, yang mendorong mereka berpendapat seperti itu adalah anggapan mereka bahwa Allah سبحانه و تعالى wajib berbuat lembut (luthf) terhadap hamba-hamba-Nya. Alangkah aneh! Kelembutan macam apa yang terwujud dengan adanya orang yang tidak ada -bukan ma'shum- ini? Hujah macam apa yang kalian katakan dimiliki makhluk atas Tuhan mereka dengan asas kalian yang batil ini? Orang yang tidak ada ini, kalau makhluk tidak mungkin menemuinya dan mencari hidayah dengannya, maka adakah pembebanan dengan sesuatu yang di luar kemampuan yang lebih berat dari ini?!
Jadi, kalian hendak menghindar dari suatu hal, tapi justru jatuh ke hal yang lebih parah dan buruk. Akan tetapi, Allah telah berkehendak untuk membuka aib orang yang merendahkan para sahabat yang mulia dan menghina para pemuka umat ini. Dia memperlihatkan celanya kepada manusia. Kita berlindung kepada Allah dari tidak mendapat taufiq (persetujuan)-Nya.
Telah gugur dan sia-sia hujah-hujah yang disimpan oleh imam yang ghaib seperti ini. Jadi, sebenarnya mereka telah membatalkan dan menggugurkan hujah Allah سبحانه و تعالى walaupun mereka menyangka telah menjaganya.
Ini adalah penjelasan dari Amirul Mukminin bahwa orang yang membawa hujah Allah سبحانه و تعالى di muka bumi, bila menunaikannya dan menyampaikannya kepada hamba-hamba-Nya adalah seperti beliau dan rekan-rekan beliau, Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.
Perkataan Imam Ali, agar hujah-hujah Allah dan bukti-buti—Nya tidak batal, artinya agar tidak lenyap dari dada manusia. Karena kalau bukan ini maksudnya, batalnya hujah itu adalah mustahil, sebab hujah itu adalah berasal dari Zat yang mustahil batil.
Kalau ditanya: apa bedanya antara hujah dan bayyinah?
Jawabnya: bedanya, hujah adalah dalil-dalil ilmiah yang dipahami akal dan dapat ditangkap oleh telinga. Allah سبحانه و تعالى menceritakan kisah dialog Ibrahim dengan kaumnya dan menjelaskan kesalahan apa yang mereka peluk dengan dalil-dalil ilmiah.
"Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami' kehendaki beberapa derafat. "(al-An'aam: 83) 
Ibnu Zaid berkata, 
"Maksudnya, Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki dengan ilmu hujah."
Allah سبحانه و تعالى juga berfirman,
"Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, 'Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 20)
"Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja di sisi Tuhan mereka." (asy-Syuura: 16)
Hujah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai dalil, baik haq maupun batil. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
 "Agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka." Sesungguhnya mereka (yang zalim itu) berhujah di depan kalian dengan hujah batil, "Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku." (al-Baqarah: 150)
Juga firman-Nya,
"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan dari mereka selain dari mengatakan, 'Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.'" (Jaatsiyah: 25)
Dan hujah yang disandarkan kepada Allah سبحانه و تعالى dan bersambung dengan nama-Nya adalah hujah yang haq. Kadang hujah juga bermakna persengketaan. Misalnya dalam firman Allah سبحانه و تعالى,
"Karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah, Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu." (asy-Syuura: 15)
Arti ayat ini: kebenaran telah jelas dan terang, maka tidak perlu ada persengketaan dan adu argumen antara kita setelah itu. Karena adu argumen dilakukan untuk saling membantu menampakkan kebenaran. Apabila kebenaran telah tampak, tidak lagi ada kesamaran, adu argumen tidak ada faedahnya lagi. Inilah makna ayat di atas. Banyak sekali orang-orang bodoh yang berprasangka bahwa di dalam syariah tidak ada saling adu hujah. Atau, berprasangka bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  yang diutus untuk membawanya tidak pernah berdebat dengan lawan-lawannya. Sementara itu, para ilmuwan mantik yang bodoh dan antek-antek Yunani menyangka bahwa syariat disampaikan untuk manusia sehingga tidak ada porsi untuk adu argumen. Mereka mengira bahwa para nabi menyeru manusia hanya dengan cara khutbah, sedang hujah hanya untuk kalangan khusus, yaituahlul burhan, 'orang-orang pandai mengajukan bukti rasional'-—yang mereka maksud adalah diri mereka sendiri dan orang yang sejalan dengan mereka. Semua itu akibat mereka tidak mengetahui kandungan Al-Qur'an dan syariah. Al-Qur'an penuh dengan hujah, dalil, dan bukti-bukti dalam masalah-masalah tauhid, pembuktian adanya pencipta, hari kiamat, pengutusan para rasul dan pembuktian bahwa alam itu baru. Para ulama kalam (teolog) atau ulama yang lain, tidak pernah menyebutkan dalil baru atas semua masalah itu melainkan telah ada di dalam Al-Quran dengan susunan kalimat yang paling fasih, artinya jelas dan paling jauh dari celah sanggahan dan kritikan.
Para pakar ulama kalam telah mengakui hal ini, baik ulama zaman dahulu maupun sekarang.Dibagianawalkitahlhya'UlumidDin, Imam Ghazali berkata, "Kalau engkau bertanya, 'Kenapa Anda tidak menyebut ilmu kalam dan filsafat di dalam klasifikasi jenis-jenis ilmu dan tidak Anda jelaskan apakah keduanya baik atau buruk?' Maka saya jawab, 'Inti dalil-dalil yang bermanfaat yang terkandung di dalam ilmu kalam telah tercakup di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Yang keluar dari cakupan kedua sumber tersebut berarti salah satu dari dua kemungkinan.
(1) Itu adalah perdebatan yang tercela -yang tergolong bid'ah, seperti akan dijelaskan nanti 
(2) Hanya menimbulkan huru-hara dengan berpegang kepada kontradiksi-kontradiksi berbagai sekte; bertele-tele dengan menukil pendapat-pendapat yang mayoritasnya adalah hal-hal yang tak berguna dan yang membuat merah telinga; dan sebagian yang lain adalah pembahasan masalah yang tidak berkaitan dengan agama serta tidak dikenal sama sekali pada masa awal-awal Islam. Akan tetapi, sekarang, hukumnya telah berubah apabila terjadi bid'ah yang menyelewengkan kita dari ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, yang memoles syubhat-syubhatnya dan menggunakan kalimat-kalimat yang tersusun rapi. Akhirnya masalah yang haram tersebut, karena dorongan darurat, menjadi boleh."
Dalam kitabnya, Aqsamul Ladzdzaat, ar-Razy berkata, "Setelah aku perhatikan buku-buku ilmu kalam dan metode-metode filsafat, aku lihat semua itu tidak dapat menghilangkan dahaga atau menyembuhkan yang sakit. Aku melihat jalan terdekat justru jalan Al-Qur'an. Bacalah ayat tentang itsbat (penetapan),
'Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.' (Faathir:10)
'(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy.' (Thaahaa: 5)
Bacalah ayat tentang nafi (peniadaan),
'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.' (asy-Syuura:11)
Orang yang menjalani pengalaman seperti yang telah aku rasakan akan tahu seperti pengetahuanku."

Yang dinyatakan ar-Razy ini adalah dcdalah Al-Qur'an dengan bentuk khabar 'berita'. Padahal dalam Al-Qur'an juga ada dalalah burhaniyah dan akliyah yang menjadi keistimewaan Al-Qur'an, dan orang yang menguasai hal ini tergolong orang yang rasikhuunfil- 'ilmi. Dia itulah ilmu yang menjadikan hati tenang, nafsu tenteram, akal jernih, mata hati cerah, dan hujah kuat. Tidak ada jalan bagi seorang pun di dunia ini untuk mematahkan hujah orang yang berargumen dengannya. Orang yang berhujah dengannya, hujahnya tidak terkalahkan, dan dia dapat menepis syubhat lawannya. Dengannya hati manusia terbuka, dan seruan Allah سبحانه و تعالى an rasul-Nya dipenuhi. Akan tetapi, yang menguasai ilmu seperti ini hanya ada satu-dua orang dalam tiap masa.
Jadi, dalalah Al-Qur'an itu sam'i, akli, dan qath'iy; tidak tersentuh oleh syubhat, tidak ditarik ulur oleh berbagai kandungan makna, dan tidak pernah ditinggalkan hati setelah dipahami.
Seorang teolog (ahli kalam) berkata, 'Aku habiskan umurku mempelajari ilmu kalam untuk mencari dalil, namun aku semakin jauh dari dalil itu. Akhirnya aku kembali kepada Al-Qur'an. Aku mentadaburinya dan merenungkan kandungan maknanya. Tidak lama setelah itu, aku telah mendapatkan dalil yang sesungguhnya tanpa aku sadari. Demi Allah سبحانه و تعالى  aku benar-benar seperti disindir oleh sang penyair dengan ungkapannya,
'Banyak keanehan dan ini adalah salah satunya kekasih dekat tapi tak bisa didapat Bak unta di gurun yang mati kehausan padahal ia membawa air di punggungnya.' Lanjutnya, "Ketika aku kembali kepada Al-Qur'an, aku dapati dalil yang sebenarnya. Aku melihat dalil-dalil yang banyak terkandung di dalamnya. Seandainya semua kebenaran yang pernah dilontarkan oleh para ahli kalam dalam kitab-kitab mereka dikumpulkan, tentu sama dengan satu surah saja dari Al-Qur'an yang kandungannya sudah mencakupnya dengan penjelasan yang gamblang dan lafal yang fasih. Dalil-dalil ilmu kalam yang dulu menyesakkan dadaku kini mencoba menggodaku lagi. Tapi sekarang hatiku tidak mengizinkannya masuk dan tidak menerimanya, sehingga dalil-dalil itu pergi menjauh dariku."
Tujuan kami di sini adalah menjelaskan bahwa Al-Qur'an penuh dengan bukti dan dalil. Di dalamnya terdapat berbagai macam dalil dan analogi yang benar. Di dalamnya Allah سبحانه و تعالى memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menggunakan bukti dan melakukan adu argumen. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (an-Nahl: 125)
"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik." (al-Ankabuut: 46)
Lihatlah dialog Al-Qur'an dengan orang-orang kafir, juga adu argumen antara Nabi  صلى الله عليه وسلم dan para sahabat beliau dengan lawan-lawan mereka dengan memaparkan hujah. Hanyalah orang yang teramat bodoh yang mengingkarinya. Yang ingin kami jelaskan di sini adalah perbedaan antara hujah dan bayyinat. Hujah adalah dalil-dalil ilmiah. Dan, bayyinaat aslinya kata sifat. Contohnya ayatun bayyinatun, artinya ayat yang jelas. Bayyinah adalah segala yang menjelaskan kebenaran; berupa tanda atau dalil ilmiah. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)." (al-Hadiid. 25)
Dalam ayat ini, bayyinat adalah bukti-bukti yang diberikan oleh Allah سبحانه و تعالى yang menunjukkan kebenaran mereka, yaitu berupa mukjizat. Dan, arti al-kitaab di sini adalah dakwah.
Contohnya lagi firman Allah سبحانه و تعالى,
"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim."(Al Imran: 96-97)
Maqam Ibrahim adalah bagian dari ayat-ayat yang terlihat oleh mata. la adalah salah satu ayat Allah سبحانه و تعالى yang terdapat di alam ini.
Juga perkataan Musa عليه السلام kepada Fir'aun dan kaumnya,
"Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku. Fir'aun menjawab, 'jika benarkamu membawa suatu bukti, maka datangkanlah bukti itujika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar/ Maka, Musa menjatuhkan tongkatnya." (al-A'raaf: 105-107)
Pelemparan tongkat dan perubahannya menjadi ular adalah bayyinah.
Juga, kaum Nabi Hud عليه السلام ketika berkata, 
"Wahai Hud, engkau tidak mendatangi kami dengan membawa bayyinah.."
Yang mereka maksudkan dengan bayyinah adalah bukti yang mereka minta, sebab dia telah datang kepada mereka dengan membawa apa yang membuat mereka tahu bahwa dia adalah utusan Allah سبحانه و تعالى  Jadi, meminta ayat setelah tahu bahwa dia itu utusan Allah سبحانه و تعالى adalah karena keras kepala dan di akhirat mereka tidak bisa mengajukan alasan bila hal yang diminta dari mereka setelah didatangkannya ayat itu tidak mereka penuhi.
Dan inilah yang dimaksud dengan ayat-ayat yang disinggung oleh Allah سبحانه و تعالى,
"Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu." (al-lsraa": 59)
Jadi, kalau Allah سبحانه و تعالى tidak memenuhi permintaan orang-orang kafir untuk mendatangkan ayat adalah karena rahmat dan ihsan-Nya. Sebab, sesuai dengan sunnatullah, kalau mereka meminta dan mengusulkan agar diturunkan satu bukti, lalu permintaan mereka itu dipenuhi, namun mereka kemudian tidak beriman juga... maka mereka akan dimusnahkan dengan turunnya azab. Dan Allah سبحانه و تعالى Maha tahu bahwa orang-orang kafir itu tidak akan beriman meski semua ayat didatangkan kepada mereka, sehingga Dia tidak memenuhi permintaan mereka. Karenanya, Dia tidak menimpakan azab atas mereka karena Dia akan mengeluarkan dari mereka keturunan yang-beriman. Bahkan, kebanyakan dari mereka akhirnya beriman tanpa ayat-ayat yang mereka usulkan atau mereka minta itu. Jadi, tidak diturunkannya ayat-ayat yang diminta itu menunjukkan hikmah, rahmat, dan ihsan yang luar biasa dari Allah سبحانه و تعالى.
Ini berbeda dengan hujah. Hujah-hujah terus datang secara bergiliran, susul-menyusul. Setiap hari ia selalu bertambah. Ketika wafat, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  meninggalkan hujah-hujah yang amat banyak. Hujah-hujah itu kekal dan langgeng sampai kiamat.
Perkataan Imam Ali. bahwa mereka itulah kelompok yang jumlahnya paling sedikit, tapi nilainya di mata Allah سبحانه و تعالى paling tinggi, maksudnya kelompok ini paling kecil kuantitasnya. Dan itulah sebab dari keterasingan mereka, sebab jumlah mereka di tengah manusia sedikit dan kebanyakan manusia berbeda jalan dengan mereka. Nabi صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya. Maka, saat itu beruntunglah orang-orang yang asing. "(HR Muslim)
Lihatlah! Orang mukmin itu sedikit di tengah manusia. Para ulama dari kalangan mukminin itu juga sedikit, dan yang ghuraba "orang-orang asing' di kalangan ulama itu pun sedikit. Janganlah kamu terpedaya dengan anggapan yang menyesatkan orang-orang bodoh yang mengatakan, 
"Kalau memang orang-orang ini berada di jalan yang benar, tentu jumlah mereka tidak sedikit dan kebanyakan manusia tidak berbeda jalan dengan mereka."
Ketahuilah, mereka itulah manusia. Orang yang berbeda dengan mereka bukanlah manusia, mereka hanyalah serupa dengan manusia. Karena yang dinamakan manusia adalah para pengikut kebenaran, walaupun jumlah mereka paling sedikit. Ibnu Mas'ud berkata, "Janganlah kamu menjadi imma'ah yang berkata, 'Saya ikut saja dengan orang-orang', tapi hendaknya kamu menentukan sikap untuk beriman meski seluruh manusia telah menjadi kafir." Allah سبحانه و تعالى telah mencela kelompok mayoritas di beberapa ayat,
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya." (al-An'aam: 116)
"Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya." (Yusuf: 103)
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih." (Sabaa: 13) 
"Dan sesungguhnya kebanyakan dan orang-orang yang bersehkat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini." (Shaad: 24)
Seorang bijak pernah berkata, 
"Kesendirianmu di jalan pencarianmu adalah bukti kesungguhan pencarian itu."
"Matilah karena engkau melawan nafsu jika tidak maka ketuklah hati orang-orang ketika mata-mata mereka melihat jika engkau pergi janganlah takut akan sepinya perjalanan Dan tetaplah berjalan dalam kebenaran."
Perkataan Ali رضي الله عنه bahwa dengan mereka Allah سبحانه و تعالى membela hujah-hujah-Nya sampai mereka menyampaikannya kepada rekan-rekan mereka dan mereka menanamkannya di hati orang-orang yang sama dengan mereka, adalah karena Allah سبحانه و تعالى telah menjamin terjaganya hujah-hujah-Nya dan bayyinat-Nya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم  juga menyatakan bahwa 'selalu ada golongan di kalangan umat beliau yang berada di jalan kebenaran; mereka tidak terganggu oleh orang yang mengkhianati mereka maupun orang yang berbeda jalan dengan mereka sampai kiamat.'
Jadi, tanaman Allah سبحانه و تعالى yang Dia tanam di dalam agama-Nya, yaitu para ulama, senantiasa menanamkan ilmu di hati orang-orang yang telah Allah سبحانه و تعالى siapkan untuk itu. Sehingga, nantinya orang-orang itu menjadi ahli waris mereka, sebagaimana mereka adalah para pewaris orang-orang sebelum mereka. Dengan demikian, hujah-hujah Allah سبحانه و تعالى dan mata rantai generasi yang mengembannya tidak terputus dari muka bumi. Disebutkan dalam sebuah atsar yang masyhur,
"Allah سبحانه و تعالى selalu menanam tanaman di agama ini. Dia memakai mereka untuk taat kepada-Nya."
Dan di antara doa orang-orang salaf,
"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk tanaman-Mu yang Engkau gunakan dalam ketaatan kepada-Mu!"
Oleh karena itu, Allah سبحانه و تعالى tidak pernah menjadikan seseorang menjaga agama ini dan kemudian Dia mencabut nyawanya kecuali orang itu telah menanamkan ilmu dan hikmah yang diketahuinya, baik ke dalam hati rekan-rekannya maupun ke kitab-kitab yang dapat dimanfaatkan oleh manusia setelahnya. Dengan ini dan faktor-faktor lainnya para ulama punya posisi lebih dibandingkan para 'abid 'orang yang suka ibadah'. Karena, apabila ulama menanamkan ilmunya kepada orang lain lalu ia wafat, pahalanya tetap mengalir kepadanya dan dia dikenang terus, dan itu adalah umur dan kehidupan kedua baginya. Itu adalah sesuatu yang patut diperebutkan dan didambakan oleh setiap manusia. Perkataan Imam Ali, ilmu telah menembuskan mereka pada hakikat, sehingga mereka menganggap ringan apa yang dirasakan susah oleh orang-orang yang kaya; mereka senang (menghadapi) perkara yang dihindari oleh orang-orang bodoh. Hal ini dikarenakan jalan-jalan akhirat itu tidak mulus dan tidak enak menurut kebanyakan manusia, sebab berlawanan dengan tuntutan syahwat dan berbeda dengan kehendak dan kebiasaan mereka. Maka, orang-orang yang menempuh jalan-jalan itu jumlahnya sedikit. Yang menyebabkan mereka menghindari jalan itu adalah faktor dangkalnya ilmu -atau bahkan karena tidak adanya ilmu—tentang hakikat kehidupan, hakikat tempat kembali manusia dan tujuan untuk apa mereka diciptakan.
Ilmu mereka tentang hal itu sedikit dan mereka menuruti laju kendaraan nafsu syahwat dengan meninggalkan perahu keikhlasan dan takwa. Jalan terasa terjal oleh mereka, sulit dilalui. Jurang terlihat menganga lebar, pendakian bukit-bukitnya berat dilakukan dan menuruni lembah-lembahnya amat sukar. Akhirnya mereka mengedepankan kesenangan dan santai, mengutamakan dunia atas akhirat.
Mereka berkata, "Kehidupan kita hari ini adalah hal yang pasti, sedang yang esok hari hanya sekedar janji." Mereka melihat kepada dunia dan menutup mata dari akhirat. Mereka memikirkan lahirnya dan tidak merenungkan batinnya. Mereka menikmati manisnya permulaan dan melupakan pahitnya akibat kelak di kemudian hari. Susu dunia mengalir keluar dengan derasnya sehingga mereka tenggelam dalam kenikmatan menyusu. Mereka lupa memikirkan rasanya penyapihan dan tidak enaknya berhenti menyusu.
Adapun orang-orang yang mengemban amanah hujah-hujah Allah سبحانه و تعالى dan menjadi ahli waris Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bagi umat, mereka mampu menembus hakikat, karena ilmu mereka sempurna dan kuat. Dengan hati mereka, mereka dapat melihat apa-apa yang tak dapat disingkap oleh mata orang-orang bodoh, sehingga hati mereka tenteram dan mereka berusaha mencapainya karena adanya keyakinan yang kokoh di dalam hati mereka. Ilmu kebahagiaan disediakan untuk mereka, segera mereka menyingsingkan lengan baju untuk menggapainya. Penyeru iman memperdengarkan seruannya kepada mereka, cepat-cepat mereka berlomba datang.
Jiwa-jiwa mereka meyakini kebenaran janji Tuhan sehingga mereka memandang hina yang lainnya. Hanya pahala di sisi Tuhan yang mereka harapkan. Mereka tahu bahwa dunia adalah tempat lewat, bukan tempat tinggal; bahwa dunia adalah sekedar khayalan atau awan musim panas, tidak menurunkan hujan; dan bahwa manusia yang ada di sana hanyalah seperti musafir yang istirahat sesaat di bawah pohon lalu meninggalkannya. Mereka yakin bahwa dunia seperti bayangan yang akan hilang. Orang yang berilmu tidak akan tertipu dengan tipuan seperti itu.
Amat tepat orang yang menggambarkan dunia seperti berikut."Kulihat orang-orang sengsara tidak jenuh dengannya padahal di sana mereka telanjang dan kelaparan walaupun ia disenangi namun kulihat ia adalah awan musim panas yang segera lenyap." Akhirnya, dunia beranjak pergi menjauh dari hati mereka sebagaimana ia pergi kepada pecinta dunia; dan akhirat datang menyongsong ke dalam hati mereka. Mereka akhirnya berani meniti jalan kesukaran dan meninggalkan nikmatnya tidur, karena orang yang jatuh cinta tidak bisa tidur. Mereka tahu jalan itu panjang, sedang usia manusia di tempat mencari bekal (dunia) ini pendek sehingga mereka bersegera siap-siap. Mereka bersungguh-sungguh menempuh jalan menuju tempat kediaman kekasihnya. Mereka berhasil menempuh jarak yang jauh dan menaklukkan padang perjalanan yang gersang.
Ini semua sebagian dari buah keyakinan. Karena jika hati menyakini kemurahan Allah سبحانه و تعالى dan apa yang Dia sediakan untuk para wali-Nya, hingga seakan-akan dia melihatnya dari balik tabir dunia dan dia tahu bahwa seandainya tabir itu lenyap ia dapat melihatnya dengan mata kepala, maka lenyaplah kesepian yang dirasakan oleh orang-orang yang enggan menempuh perjalanan itu. Juga ringan baginya apa yang dipandang sukar oleh orang-orang yang bergelimang dalam kemewahan.
Ini adalah derajat yakin yang pertama, yaitu 'ilmulyaqin. Artinya, tersingkapnya sesuatu yang hanya diketahui oleh hati sehingga ia menyaksikannya dan tidak meragukannya, seperti terlihatnya benda kongkrit oleh mata.
Derajat berikutnya -kedua- adalah derajat 'ainulyaqin. Penyandaran derajat ini kepada mata Cain) seperti penyandaran derajat pertama kepada hati.
Derajat ketiga adalah tingkat haqqul yaqin, yakni interaksi langsung dengan sesuatu yang diketahui (dl-ma'luum) tersebut dan merasakannya secara utuh.
Derajat pertama itu contohnya pengetahuan anda tentang sebuah lembah yang penuh dengan air; derajat kedua anda seperti melihatnya; dan derajat ketiga anda seperti meminum airnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan Haritsah, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Haritsah?"
"Pagi ini aku benar-benar menjadi mukmin," jawabnya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم. melanjutkan, "Setiap ucapan punya hakikat. Apa hakikat imanmu?"
Dia menjawab, "Jiwaku bosan dengan dunia, maka aku hidupkan malamku dengan shalat malam, aku puasa di siang hari, seakan-akan aku menyaksikan 'arasy (singgasana) Tuhanku, seakan-akan aku melihat penghuni surga yang saling berkunjung di dalamnya dan penghuni neraka yang merintih."
Rasulullah صلى الله عليه وسلم  kemudian bersabda, "Ini adalah hamba yang hatinya diberi cahaya oleh Allah سبحانه و تعالى."
Ini adalah peran ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk menembus hakikat. Orang yang sampai kepada derajat ini menganggap ringan apa yang terasa berat oleh orang-orang yang bergelimang kemewahan, dan ia senang menghadapi masalah yang dianggap susah oleh orang-orang bodoh. Orang yang inlannya tidak tegak berdiri di atas derajat ini, imannya lemah. Tanda derajat ini adalah dada lapang menerima derajat-derajat iman, hati tenteram menerima perintah Allah سبحانه و تعالى, banyak berzikir kepada Allah سبحانه و تعالى, cinta kepada-Nya, gembira dengan perjumpaan dengan-Nya, dan menjauhkan diri dari kenikmatan dunia yang semu. Disebutkan dalam sebuah hadits yang masyhur dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم , "Apabila cahaya memasuki hati, maka hati itu menjadi lapang." "Apa tandanya?" tanya seseorang. Beliau menjawab, "Tidak peduli terhadap dunia yang menipu, mengingat akhirat yang abadi, dan bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datang."
Inilah keadaan yang terjadi pada diri sahabat jika Nabi mengingatkan mereka akan surga dan neraka. Disebutkan dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya bahwa Hanzhalah رضي الله عنه, salah seorang penulis wahyu, dijumpai oleh Abu Bakar رضي الله عنه dalam keadaan sedang menangis. Abu Bakar رضي الله عنه bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Hanzhalah?"
la menjawab, "Hanzhalah telah jadi munafik, wahai Abu Bakar. Kalau Rasulullah صلى الله عليه وسلم. mengingatkan kita tentang surga dan neraka, keduanya seakan-akan tampak di pelupuk mata kita. Tapi begitu kita kembali ke rumah, kita banyak lalai dan melupakannya."
Abu Bakar رضي الله عنه menimpali, "Demi Allah, hal itu juga saya rasakan. Marilah kita sama-sama pergi menghadap baginda Rasulullah."
Mereka berangkat menemui beliau. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم  melihatnya, beliau bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Hanzhalah?"
"Hanzhalah telah jadi munafik, Rasulullah," jawabnya. "Ketika Baginda mengingatkan kami akan surga dan neraka, keduanya seperti tampak jelas di pelupuk mata. Tapi begitu kami kembali ke keluarga dan mengurusi dunia, kami lalai."
Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Kalau kalian selalu dalam keadaan yang sama seperti saat kalian meninggalkan aku, pasti kalian akan disalami para malaikat di tempat duduk kalian, di jalan-jalan dan di atas ranjang kalian. Tapi, wahai Hanzhalah, itu hanya sesaat, sesaatdan sesaat."
Imam Tirmizi berkata, "Ini hadits hasan shahih." Imam Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadits serupa dari Abu Hurairah رضي الله عنه.
Pembahasan utama di sini adalah bahwa yang mengantarkan manusia menembus hakikat iman, meringankan beban yang terasa berat bagi orang lain dan merasa menghadapi masalah yang sulit bagi orang lain adalah ilmu yang sempurna dan cinta sejati. Cinta itu sendiri mengikuti ilmu. la akan kuat bila ilmu kuat dan lemah bila ilmunya lemah. Orang yang cinta tidak merasakan sulitnya jalan yang mengantarkannya kepada yang dicintainya. la juga tidak menghiraukan kesepian dalam menempuh jalan itu. Perkataan Imam Ali, "Mereka menyertai dunia dengan jasad mereka sementara ruh-ruh mereka tergantung ke langit (al-mala ‘ ul a 'la)." Ruh, di dalam jasad ini, berada di negeri asing. la punya tempat tinggal yang lain. la tidak tenang tinggal selain di negerinya.
Ruh adalah jauhar 'alawy (elemen langit), tercipta dari bahan langit. la terpaksa mendiami badan kasat ini. la senantiasa mencari tempatnya di tempat ketinggian. la merindukan negeri itu seperti burung yang merindukan sarangnya. Semua ruh punya perasaan seperti itu. Akan tetapi, karena terlalu sibuk dengan badan dan hal-hal inderawi yang biasa dirasakan, ia tenggelam di bumi dan melupakan jati dirinya dan negerinya yang hanya di sanalah ia merasakan kebahagiaan. Bagi mukmin tidak ada kebahagiaan melebihi pertemuan dengan tuhannya, dan dunia dirasakannya benar-benar penjara. Oleh karena itu, Anda lihat orang beriman, raganya di dunia dan ruhnya di alam arwah. Dalam sebuah hadits disebutkan,
"Apabila seorang hamba tidur sambil sujud, Allah سبحانه و تعالى membanggakannya di hadapan para malaikat. Dia berfirman, 'Lihatlah hamba-Ku ini! Raganya di bumi dan ruhnya bersama-Ku.'"
Dalam kaitan ini seorang ulama salaf berkata, "Hati manusia itu pengembara. Ada hati yang berada di sekitar hasyr (tempat pengumpulan di hari kiamat), ada yang bersama para malaikat mengelilingi singgasana Allah."
Jadi siksa yang paling besar bagi ruh adalah bila ia terbenam di dalam raga, sibuk dengan kesenangan-kesenangan semu, tidak memperhatikan tujuan penciptaannya dan tidak memikirkan negerinya, tempat kebahagiaan serta tempat kemuliaannya. Akan tetapi, mabuk nafsu syahwat menghalangi ruh merasakan sakit dan siksa ini. Apabila ia telah sadar dari mabuknya, penyesalan mengepungnya dari semua sisi. Saat itu ia amat sedih dan menyesal karena kehilangan kemuliaan dan kedekatan dengan Allah سبحانه و تعالى  Ia juga sedih karena tidak mencapai tempat tinggalnya di mana ia dapat menemukan kebahagiaan. Meski ruh menjelajahi semua tempat yang ada, ia tidak akan tenang kecuali di tempat tinggalnya sendiri yang disiapkan untuknya.
Ruh selamanya merindukan tanah airnya, walaupun ada tempat tinggal pengganti yang seringkali lebih baik dan lebih subur. Ruh itu selalu merindukan tempat tinggalnya yang asli meski tidak ada mudarat yang menimpa bila ia meninggalkannya dan pindah ke tempat lain. Tentunya kerinduan ruh kepada tempat asalnya semakin besar jika perpisahannya dengannya menyebabkan ia tersiksa.
Hamba beriman di dunia ini diculik dan ditawan dari surga ke negeri kesengsaraan, lalu dijadikan budak di negeri itu. Bagaimana dia dicela karena merindukan negeri asalnya, dipisahkan dari yang dicintainya, dan dikumpulkan dengan musuhnya. Jadi, ruhnya senantiasa terikat dengan negeri asalnya, sedang badannya di dunia.
Setiap kali musuh menginginkan agar ruh melupakan tempat asalnya, maka ia membuang jauh-jauh ingatan akan tempat itu dan menciptakan kesenangan dalam hatinya dengan negeri baru, namun ruh dan hatinya tetap menolak. Oleh karena itu, orang mukmin itu orang asing di dunia ini. Di manapun ia menginjakkan kaki, ia merasa berada di tempat asing. Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"jadilah di dunia ini seperti orang asing atau orang yang menyeberang jalan!" (HR Bukhari)
Akan tetapi, keterasingan itu ada akhirnya. Ia akan kembali ke negeri dan tempat asalnya. Sedangkan, keterasingan yang tiada harapan akan berakhir adalah keterasingan di negeri kehinaan dan berpisah dengan negeri yang telah disiapkan untuk seorang hamba. Negeri di mana ia diperintahkan untuk mempersiapkan diri menuju ke sana namun ia bersikeras untuk meninggalkannya. Itulah keterasingan yang takkan berakhir dan musibahnya pun tidak bisa diobati.
Anda jangan tergesa-gesa mengingkari pernyataan bahwa badan ini ada di dunia sedangkan ruh berada di alam arwah. Ruh punya karakter tersendiri yang berbeda dengan karakter badan. Nabi saw. berada di tengah para sahabat, tapi beliau di sisi tuhan diberi makanan dan diberi minum. Jadi, raga beliau di tengah mereka sedang ruh beliau bersama Tuhan.
Abu Darda' رضي الله عنه berkata, "Apabila seorang hamba tidur, bersama ruhnya ia naik ke bawah 'arsy (singgasana Allah). Jika ia suci, ia diizinkan untuk sujud. Tapi bila tidak suci, ia tidak diizinkan bersujud." Inilah —mungkin— sebab diperintahkannya orang yang junub untuk berwudhu apabila ingin tidur. Naik menuju 'arsy ini hanya terjadi karena berlepasnya ruh dari raga ketika tidur. Apabila ruh melepaskan diri dari raga dengan suatu sebab yang lain, ia akan mengalami kenaikan sesuai dengan kadar pelepasan diri itu. Cinta terhadap kekasih menjadi kuat sedemikian rupa sehingga yang terlihat oleh manusia adalah raganya saja, sedang ruhnya di tempat lain bersama kekasihnya. Dalam kaitan ini banyak syair dan hikayat yang dikenal dalam masyarakat.
Perkataan Ali رضي الله عنه , "Mereka itulah khalifah-khalifah Allah سبحانه و تعالى di bumi-Nya dan para dai-Nya kepada agama-Nya", merupakan penguat bagi salah satu dari dua pendapat tentang kebolehan mengatakan "Si Fulan adalah khalifah Allah". Yang berpendapat seperti ini juga berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
(1) Firman-Nya kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (al-Baqarah: 30)
(2) Firman-Nya,
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi." (al-An'aam: 165)
Firman ini ditujukan kepada manusia.
(3) Juga dengan firman-Nya,
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?" (an-Naml: 62) (4) Dengan perkataan Musa عليه السلام kepada kaumnya,
"Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu." (al-A'raaf:129)
(5) Dengan sabda Rasulullah,
"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى menempatkan kamu di bumi dan menjadikan kamu khalifah-Nya di sana. Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka, waspadalah kepada dunia dan waspadalah terhadap wanita. "(HR Muslim dan Nasai)
Mereka juga berdalil dengan perkataan seorang penggembala kepada Abu Bakar,
"Wahai khalifah Allah, kami umat Islam (hunafa) selalu bersujud pagi dan petang Kami orang-orang Arab yang meyakini bahwa di dalam harta kami ada hak zakat untuk Allah."
Tapi, sekelompok orang tidak membolehkan sebutan khalifah Allah bagi manusia. Mereka berpendapat, seseorang tidak boleh disebut sebagai 'khalifah Allah', karena khalifah hanya untuk orang yang tidak ada lalu diganti oleh yang lain. Padahal Allah سبحانه و تعالى adalah zat yang selalu hadir, tidak pernah tidak ada; dekat, tidak jauh, melihat dan mendengar. Maka, mustahil Dia perlu diganti oleh yang lain. Bahkan sebaliknya, Dialah yang mengganti seorang hamba yang beriman dan karenanya Dialah yang justru menjadi khalifahnya. Seperti disabdakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. dalam hadits tentang Dajjal,
"Apabila dia muncul dan aku ada di tengah kalian, maka akulah yang menghadapinya, tanpa kalian, jika dia muncul sedang aku tidak berada bersama kalian, maka setiap orang akan menghadapinya sendiri. Allah سبحانه و تعالى adalah khalifahku atas setiap mukmin."(HR Muslim dan Tirmidzi)
Dalam Shahih Muslim juga —kata sekelompok orang ini— disebutkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah jika bepergian beliau berdoa,
"Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan khalifah di tengah keluarga."(HR Muslim)
Diriwayatkan juga bahwa beliau bersabda,
"Ya Allah, ampunilah dosa Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya di antara orang-orang yang mendapat hidayah, dan gantikanlah dia di tengah keluarganya!"(HR Muslim dan Abu Daud))
Dengan demikian, Allah سبحانه و تعالى adalah khalifah karena manusia pasti mati sehingga butuh orang yang menggantikannya mengurus keluarganya. Mereka menambahkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه  menolak sebutan orang yang memanggil beliau 'Wahai khalifah Allah!' la berkata, "Aku bukanlah khalifah Allah. Aku tidak lebih dari khalifah Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Dan cukuplah itu bagiku." Di samping itu mereka berkata lagi, "Adapun firman Allah, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi' maksudnya adalah Adam dan anak cucunya. Dalam hal ini, mayoritas ulama tafsir dari salaf dan khalaf berpendapat bahwa Adam menjadi khalifah 'pengganti' bagi penghuni bumi sebelumnya; ada yang mengatakan mereka adalah jin yang sebelumnya menghuni bumi, ada juga yang mengatakan bahwa Adam adalah khalifah dari para malaikat yang menghuni bumi setelah jin. Kisah mereka tercantum di dalam buku-buku tafsir.
Adapun firman-Nya "Dialah yang menjadikan kamu khalifah.-khalifah di muka bumi", maksudnya bukan khalifah atau pengganti Allah سبحانه و تعالى  Akan tetapi maksudnya, Dia menjadikan kalian saling menggantikan satu sama lain. Setiap habis satu masa datanglah era berikutnya yang menggantikannya. Dan, begitulah hingga akhir masa. Lalu ditambahkan bahwa firman ini khusus ditujukan kepada umat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Artinya, "Dia menjadikan kalian para pengganti umat-umat terdahulu. Mereka telah binasa dan kalianlah yang menggantikan mereka."
Memang jelas bahwa ayat ini adalah untuk 'umat'. Tapi, yang dimaksud adalah jenis manusia yang Allah سبحانه و تعالى jadikan bapak mereka sebagai khalifah dari makhluk sebelumnya dan menjadikan anak cucunya saling menggantikan satu sama lain sampai datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu, Dia menjadikan ini sebagai salah satu ayat-Nya seperti dalam firman-Nya,
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?" (an-Naml:62)
Adapun perkataan Musa عليه السلام kepada kaumnya, "Menjadikan kamu khalifah di bumi" maksudnya bukan mengganti diri-Nya, tetapi mengganti Fir'aun dan kaumnya. Dia membinasakan mereka dan menjadikan kaum Musa sebagai umat yang menggantikan mereka.
Demikian pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم., "Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى menjadikan kalian khalifah di bumi." Maksudnya, khalifah dari umat-umat yang binasa; kalian menjadi khalifah mereka setelah itu.
Adapun perkataan sang penggembala tentang Abu Bakar رضي الله عنه  tidaklah lebih dari ucapan seorang penyair yang mengucapkan bait-bait syairnya yang tidak diketahui apakah syair itu sampai ke telinga Abu Bakar atau tidak. Dan seandainya Abu Bakar mendengarnya, kita tidak tahu apakah ia menyetujui lafal itu atau tidak.
Komentar saya, kalau kata khalifah yang disandarkan kepada lafal Allah سبحانه و تعالى itu diartikan bahwa manusia adalah pengganti-Nya di bumi, maka yang benar adalah pendapat kelompok yang tidak membolehkannya. Tapi, kalau penyandaran kata khalifah kepada lafal Allah سبحانه و تعالى diartikan bahwa Allah سبحانه و تعالى menjadikannya khalifah dari umat sebelumnya, maka ini sah-sah saja. Jadi, 'khalifatullah' artinya yang Dia jadikan sebagai pengganti makhluk yang lain. Inilah maksud perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa 'mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya'.
Ada yang menyanggah bahwa pengartian seperti ini tidak mengandung pujian karena pengganti makhluk sebelumnya adalah umum untuk semua umat manusia, sedang khilafah Allah سبحانه و تعالى yang disinggung oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah khusus untuk manusia pilihan.
Maka, saya jawab bahwa kekhususan tersebut ditunjukkan dengan idhafah (penyandaran) kepada Allah سبحانه و تعالى  Artinya, idhafah (penyandaran) kepada Allah di sini untuk pemuliaan dan pengkhususan, sama dengan idhafah (penyandaran) hamba-hamba-Nya kepada-Nya, seperti dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka. "(al-Hijr: 42)
"Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati." (al-Furqaan: 63)
Kita maklum bahwa seluruh makhluk adalah hamba-hamba-Nya. Ini berarti para khalifah di bumi sama artinya dengan hamba-hamba, seperti dalam firman-Nya,
"Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya." (Ali Imran: 15)
"Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya." (Ghaafir:31)
Perkataan Ali رضي الله عنه., "Dan para dai-Nya yang menyeru manusia menuju ke agama-Nya". Idhafah (penyandaran) para dai kepada Allah سبحانه و تعالى ini mempunyai arti pengkhususan. Artinya, dai-dai khusus yang menyeru manusia kepada agama-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mengenal serta mencintai-Nya. Mereka inilah makhluk Allah yang istimewa dan kedudukannya paling mulia di sisi-Nya.

Keine Kommentare: