20 KESALAHAN DALAM BER-AQIDAH
Pertama: Kesalahan
Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini
merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka
mencukupkan
(لا إله إلا الله ) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.
(لا إله إلا الله ) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.
Nafi
maknanya
ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua
bentuk peribadaatan kepada selain Allah.
Makna
itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada
Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah pemurnian agama itu
hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya.
Berdasarkan firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا
اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” (QS. An-Nahl
36)
Oleh
karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti
dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk
melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar
beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى saja tanpa diiringi dengan pengingkaran
terhadap thagut.
Kedua: Istihzaa’
(Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai
misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata
kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita,
hukum waris dan lain sebagainya.
Ketahuilah,
jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi
kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti
menghina pembuat syariat, yaitu Allah عزّوجلّ. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah
صلى الله عليه وسلم.[1]
Berdasarkan dalil:
قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ
تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah,
"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At-Taubah:
65-66)
Dan
seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia
termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat
berbahaya.
1. Lih.
At-Tauhid oleh Shalih Fauzan hal. 42
Ketiga: Ungkapan
Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak
maka akan menjadi begini dan begini”
Ini
juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir
tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah
firman Allah عزّوجلّ:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Dia
telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya. (QS. Al-Furqan:
2)
Termasuk
sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu
kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang
keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya
pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset.[1]
1. Syarh
Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh Syaikh Shalih
al-Utsaimin.
Keempat: Perkataan
yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi,
Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau
“Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang
senada.
Mereka
tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam
ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan
mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain
sesuai dengan kehendak Allah
سبحانه و تعالى.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Dialah
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk
: 2)
Jadi
tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun
makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan
kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang
lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan
kematian.
Kelima: Mengeluh
dan Mencela Waktu.
Kesalahan
seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan
melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi
suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah
menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah
gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan
berikut ini.
Jika
yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu
diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan
syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth
عليه السلام:
هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
Ini
adalah hari yang amat sulit.. (QS. Huud : 77)
Jika
celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu
terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk
perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan
selain Allah. Berdasarkan dalil:
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن
قِطْمِيرٍ
Dan
orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. (QS. Al-Faathir : 13)
Jika
terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah
pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan.[1]
Dalilnya:
لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ
الدَّهْرُ
Janganlah
kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu
waktu. (HR. Muslim)
Maksudnya,
Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan
dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ
يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Diriwayatkan
dari Abu رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti
oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku
membolak-balikkan siang dan malam. (HR.
Muslim 5862)
Oleh
karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan
Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan
dan amalan.[2]
1. Untuk
lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi
Al-Syar’iyah hal 74 oleh Syaikh Salim Al-Hilali
2. Tentang
celaan tidak hanya terbatas pada waktu saja, karena kita juga dilarang mencela
kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun
hal. 156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah
Keenam: Ketika
seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut
perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu”
atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu
tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”
Ketahuilah,
bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu
terselubung niat yang bathil. Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga pernah mengatakannya, akan tetapi
kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat
kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam.
Beliau
صلى الله عليه وسلم berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى
هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Janganlah
kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian
saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian
orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim
adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan
mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau
mengisyaratkan ke dada tiga kali). Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia
meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang
lain darah, harta dan kehormatannya. (HR.
Muslim 2564)
Begitulah,
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkan perkataan itu dalam
perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut
jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal
itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan
tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang
dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Ketujuh: Perkataan
sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya
tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan
begini”.
Hal
ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah سبحانه و تعالى berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ
تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا
وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Bersungguh-sungguhlah
pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah
merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan,
“Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi
ucapkanlah,”Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti
akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.”
(HR. Muslim)
Akan
tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang
secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai
berikut:
a.
Jika
lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan.
Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau
“Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu
!”
b.
Jika
dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu
dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka
aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan
bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh
Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang
masyhur.
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ :
رَجُلاً أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً
لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ فُلاَنٍ
لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ فِي اْلأَجْرِ
سَوَاءٌ
Dunia
ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang
yang diberi harta oleh Allah عزّوجلّ lalu ia menginfakkan hartanya di jalan
Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku
memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal.
(Shahih Jami’ 3024)
c.
Sikap
mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan
hadits diatas.
Kedelapan: Do’a
yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah
memanjangkan umurmu”[1] atau, “Semoga Allah mengekalkan
hari-harimu”.
Hal
ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal.
Berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai
Kebesaran dan Kemuliaan. (QS. Ar-Rahman: 26-27)
Jika
ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam
ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh dari ketaatan kepada Allah
سبحانه و تعالى.
1. Namun ada hadits shohih yang
membolehkan hal ini, yakni Do’a Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada Anas bin Malik
رضي الله عنه yang
berbunyi:
اَللَّهُمَّ أَكْثَرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ عُمْرَهُ
وَاغْفِرْ لَهُ
'Ya Allah! perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkanlah umurnya, dan
ampunilah dia.' (HR. Ibnu Sa’ad 7/19, Bukhari dalam Adabul Mufrad 653.
Dishohihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/229 dan disetujui al-Albani
dalam ash-Shohihah 5/288)
Syaikh al-Albani berkata: “dalam hadits ini terdapat faedah bolehnya
mendoakan orang dengan panjang umur, sebagaimana kebiasaan di sebagian negeri
Arab, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang melarangnya”
(ash-Shohihah 5/288). Kami (Ibnu Majjah) kutip keterangan ini dari
tulisan Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari pada Majalah al-Furqon Ed.9 Th.6 1428 H,
dengan judul Panjang Umur dengan Silaturrahmi di rubrik Hadits
hal.56
Kesembilan: Salah
memahami ‘Ibadah’
Sebagian
orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji.
Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar
tujuhpuluh lebih.
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ
شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ
Iman
itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha
illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu
termasuk cabang dari iman. (HR. Muslim)
Maka
jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek
mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan
syari’at).
Kesepuluh: Munculnya
syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari
Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah,
wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun
Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini
merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang
telah dijelaskan Allah dan RasulNya. Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian
orang terhadap firman Allah سبحانه و تعالى:
وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ
Dan
Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. (QS. Luqman
: 34)
Berdasarkan
ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya
dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga
bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis
kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan
keimanan.
Maka
sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut
termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan
dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya
di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan
hadits Ibnu Mas’ud رضي الله عنه:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ
مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ
كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ
سَعِيدٌ
Sesungguhnya
salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama
40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama
40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Kemudian seorang
Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan
dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau
bahagia. (HR. Bukhari)
Pengetahuan
terhadap janin masuk dalam takdir Allah سبحانه و تعالى dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya
kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim
ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya,
walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa
nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang
benar.
Kesebelas: Masyhurnya
beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian)
terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain
sebagainya.”
1. Lihat
Fathul Baari no. 6192, Muslim 2140
2. Rasulullah
mengganti nama-nama lainnya seperti:
a.
Abu
Hakam diganti namanya oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan Abu Syuraikh (Syuraikh adalah nama
anak paling besar dari orang tersebut)
b.
Abdul
Hajar diganti dengan Abdullah
c.
Qasim
dengan Abdur Rahman
d.
Nama
seorang bayi diganti Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan al-Mundzir
e.
Ashiyah
dengan Jamilah
f.
Barrah
dengan Zainab dan juga Juwairiyyah
g.
Syihab
dengan Hisyam
h.
Al-‘Ash
dengan Muthi
i.
Zahm
dengan Basyir
j.
Hazan
dengan Sahal
k.
Nama
yang paling dibenci Allah سبحانه و تعالى adalah Malikul Muluk.
Semua
ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrad yang kami kutip
dari shahih Adabul Mufrad karya Syaikh al-Albani رحمه الله.
Keduabelas: Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini
juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a
termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah
صلى الله عليه وسلم:
لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ
Tidak
ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. (Dihasankan
oleh Al-Albani)
Maksudnya,
bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah
seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga
disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَامِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا
إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَيْ ثَلاَثٍ:
إِمَّاأَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَالَهُ فِيْ
اللآخِرَةِ وَإِمَّ أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِسْلِهَا. قَالُوْا:
إِذًا نُكْثِرَ. قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ
Tidaklah
seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali
silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu
dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan
doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan
memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak
(pengabulanNya).” (HR. Tirmidzi, Hasan Shahih)
Do’a
merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari
takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh
Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan
Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,
niscaya
akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (QS. Ghaafir:
60)
Ketigabelas: Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab,
“Karena kebanyakan orang melakukannya.”
Jelas
ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran.
Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak
memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas
dengan firman Allah
عزّوجلّ:
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ
سَبِيلِ اللهِ
Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan-Nya (QS. Al-An’am: 116)
Ditambah
lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah,
belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang
sedikit tetapi berada di atas kebenaran.
Keempatbelas: Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan
Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab
dan lainnya.
Hal
ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah
عزّوجلّ. Lebih parah lagi, seandainya yang
menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya.
Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan
Muhammad. Perhatikanlah firman Allah:
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ
Karena
itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 22)
Dan
jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga
termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang
lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.
Oleh
karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan
lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih
رضي الله عنهم.
Kelimabelas: Persaksian
ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad
fisabilillah.
Maka
semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allah-lah
yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.
اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ
اللهِ
Allah
yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak
bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar
ikhlas niatnya ataukah tidak? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah
aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan
sebagaimana yang dikatakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم secara umum,
مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ
شَهِيْدٌ
Barangsiapa
yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid. (HR. Muslim dan lainnya)
Oleh
karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan
Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil.
Jadi lafadz من menunjukkan keumuman, bukan ta’yin
(pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan
dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid
Fulan.”
Keenambelas: Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf
(al-Qur’an).
Maksudnya,
ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka
optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada
keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para
ulama melarang hal semacam ini.
Ketujuhbelas: Penulisan
ص atau SAW untuk mempersingkat
صلى الله عليه وسلم
صلى الله عليه وسلم
Kalangan
ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala
shalawat atas Rasulullah صلى الله عليه وسلم bagi seseorang. Dan seandainya saja
seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala.
Begitu pula orang-orang yang membacanya:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
عَشْرًا
Barangsiapa
bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh
kali karenanya. (HR. Abu
Daud)
Maka
tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena
untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.
Kedelapanbelas: Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang
“mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan
rizqi kepadamu, Insya Allah!”
Perhatikanlah
dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk
larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa
kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah عزّوجلّ tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda
Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ
اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ
Janganlah
salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau
berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” (HR. Bukhari
kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679)
Akan
tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk
dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.
Kesembilanbelas: Mencaci-Maki Syetan
Hal
ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ
شَرِّهِ
Janganlah
kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya.
(As-Shahihah
no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya)
Dan
hadits yang lain:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ
الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ
ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ
قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ
مِثْلَ الذُّبَابِ
Dari
Abu Malik, dari seorang laki-laki, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah
صلى الله عليه وسلم maka terantuklah tungganganya.” Maka aku
katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau صلى الله عليه وسلم bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka
setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai
sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi
katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil
sekecil lalat.” (Dikeluarkan
Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237) [1]
Dan
perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak
berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak,
syetan sudah dilaknat oleh Allah عزّوجلّ.
1. Ucapan
“Celakalah engkau syaitan!” memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam
suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga dengan hal itu.
Red
Keduapuluh: Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan
banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan
lain-lainnya.
Perhatikanlah
sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ
صَفَرَ
Tidak
ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar.
(HR.
Bukhari 5757, Muslim 2220)
Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini
berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita
memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa
khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan
terjadi.
Demikianlah
duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di
tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari
kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.
USTADZ ABU ZIYAD IBNU SOFWAN خفظه الله
Labels:
Fiqh
Keine Kommentare: