AMALAN DIBULAN SYAWAL
Hari Raya Bertepatan Hari Jumat
Fatwa Lajnah Daimah
Soal:
Telah terkumpul pada tahun ini dua hari raya. Mana yang benar, apakah
kami shalat Zhuhur apabila tidak shalat Jum'at, ataukah shalat Zhuhur itu gugur
apabila kami tidak shalat Jum'at?
Jawab:
Barangsiapa yang telah shalat 'led pada hari
Jum'at, dia diberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum'at kecuali bagi
seorang imam. Wajib bagi imam untuk menyelenggarakan shalat Jum'at agar orang
yang telah shalat 'led dan orang yang tidak shalat 'led dapat menghadirinya.
Apabila ternyata tidak ada yang hadir seorang pun maka gugurlah kewajibannya
untuk menyelenggarakan shalat Jum'at, dan ia hendaklah tetap shalat Zhuhur.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari lyas binAbi Ramlah dia berkata, "Aku melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan رضي الله عنه bertanya kepada Zaid bin Arqam رضي الله عنه. Mua'wiyah berkata, "Apakah engkau pernah menyaksikan dua hari raya terkumpul dalam satu hari pada zaman Rasulullah صلي الله عليه وسلم?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya pernah!" Mua'wiyah bertanya kembali, "Apa yang beliau perbuat?" Zaid bin Arqam menjawab, "Beliau shalat 'led dan memberi keringanan pada shalat Jum'at. Beliau صلي الله عليه وسلم bersabda, 'Barangsiapa yang ingin shalat Jum'at maka shalatlah.'"
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu
Dawud dari jalur Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, "Telah
terkumpul pada hari ini dua hari raya bagi kalian. Barangsiapa yang ingin
meninggalkan Jum'at maka
itu cukup baginya, akan tetapi kami melaksanakan shalat Jum'at."
Hadits ini memberi keringanan untuk
meninggalkan shalat Jum'at bagi yang telah shalat 'led pada hari itu. Dan tidak
diberi keringanan bagi imam karena Nabi صلي الله عليه
وسلم mengatakan, "Akan tetapi kami melaksanakan shalat
Jum'at."
Maka barangsiapa yang tidak menghadiri shalat
Jum'at dan dia telah shalat 'led wajib baginya untuk shalat Zhuhur karena
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Zhuhur bagi
yang tidak shalat Jum'at.
Mendahulukan Hutang Puasa
Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin
Baz
Soal:
Bolehkah berpuasa enam hari di bulan Syawwal
sementara dia belum menunaikan hutang puasa Ramadhannya?
Jawab:
Ulama berselisih dalam masalah ini. Pendapat
yang benar adalah disyari'atkannya mendahulukan hutang puasa daripada puasa enam
hari bulan Syawwal dan puasa sunnah lainnya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah صلي الله عليه وسلم yang berbunyi:
Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian puasa enam hari di bulan Syawwal, seolah-olah ia berpuasa satu tahun penuh. (HR. Muslim)
Maka barangsiapa mendahulukan puasa enam hari bulan Syawwal
daripada hutang puasa Ramadhannya, berarti ia belum mengikutkan puasa Ramadhan
akan tetapi hanya mengikutkan sebagian puasa Ramadhan. Kemudian perlu diketahui
pula, hutang puasa adalah wajib, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawwal
adalah sunnah. Maka memperhatikan yang wajib itu lebih utama daripada yang
sunnah.
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah
15/392
Apakah Puasa Enam Hari Syawal Diharuskan Terus
Menerus?, Hukum Mengqadha Enam Hari Puasa
Syawal
Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin
Baz
Pertanyaan:
Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan
puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami
nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari
nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian
ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa
Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal
itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus
diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal
diharuskan terus menerus atau tidak?
Jawaban:
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat
hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah صلی
الله عليه وسلم:
"Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari
itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan
hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari
itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى:
"Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [QS. Thaha : 84]
Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab
dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam
melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara
terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda
Rasulullah صلی الله
عليه وسلم:
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit" [HR. Bukhari]
Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa
Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat,
baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.
Disalin dari: Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil
Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin
bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah
Fakhruddin
Ziarah Kubur pada Malam Hari Raya
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin
Soal:
Di desa kami apabila malam 'ledul Fithri atau 'ledul Adhha manusia berbondong-bondong datang ke kuburan. Mereka menyalakan lilin di atas kuburan, menyewa orang untuk membaca at-Qur'an, dan lain-lain. Apakah perbuatan semacam ini dibenarkan.
Di desa kami apabila malam 'ledul Fithri atau 'ledul Adhha manusia berbondong-bondong datang ke kuburan. Mereka menyalakan lilin di atas kuburan, menyewa orang untuk membaca at-Qur'an, dan lain-lain. Apakah perbuatan semacam ini dibenarkan.
Jawab:
Perbuatan semacam ini batil, diharamkan,
termasuk sebab laknat Alloh. Hal ini berdasarkan hadits:
Rasulullah صلي الله عليه وسلم melaknat wanita-wanita yang ziarah kubur, orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan yang menyalakan lampu di atasnya. [HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i]
Keluar ke kuburan pada malam hari raya,
walaupun tujuannya untuk ziarah kubur, adalah bid'ah. Karena Nabi صلي الله عليه وسلم tidak pernah mengkhususkan malam hari raya atau siangnya untuk
ziarah kubur. Beliau صلي الله عليه وسلم bersabda, "Hati-hatilah kalian dari
membuat perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, dan
setiap kebid'ahan tempatnya di neraka." Maka hendaknya setiap insan berhati-hati
dalam perkara ibadahnya dan dalam melakukan segala aktivitas mendekatkan diri
kepada Alloh. Berhati-hati dalam menjalankan syari'atyang mulia ini. Karena asal
setiap ibadah terlarang, kecuali ada dalil yang mensyari'atkannya. Adapun yang
disebutkan oleh penanya, bahwa menerangi lampu pada malam hari raya telah datang
dalil yang melarangnya dan hal itu termasuk dosa besar. Sedangkan ziarah kubur
dianjurkan setiap saat, tidak dikhususkan pada hari Jum'at atau hari raya.
Bahkan seluruh hari dianjurkan ziarah kubur. Ziarah kubur yang syar'i tujuannya
untuk mengambil pelajaran dan ingat kematian, serta taubat kepada Alloh.
Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
Ziarahilah kubur oleh kalian, karena hal itu dapat mengingatkan hari akhir. [HR. Ibnu Majah]
Tujuan lain ziarah kubur ialah untuk
memberikan manfaat kepada yang telah meninggal, berupa do'a dan memintakan ampun
bagi mereka. Karena mereka membutuhkan do'a orang yang hidup. Sedangkan memohonkan ampun itu bisa
dilakukan setiap saat. Maka mengkhususkannya pada hari Jum'at atau hari raya
tidak ada asalnya sama sekali dalam as-Sunnah. Kemudian klaim sebagian orang
bahwa arwah orang yang meninggal itu dikembalikan pada dua hari, ini tidak ada
keterangannya dari Nabi
صلي الله عليه وسلم. Hal ini
termasuk ilmu ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Alloh. Maka tidak boleh berbicara kecuali dengan
dalil yang shahih dari Nabi صلي الله عليه
وسلم.
Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari Bulan
Syawal?
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin
Pertanyaan: Apa cara yang paling baik dalam menjalankan
puasa enam hari bulan Syawal ?
Jawaban: Cara yang paling utama adalah berpuasa pada
enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul Fithri secara langsung,
berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena cara itu
lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits,
"Kemudian mengikutinya", dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan
yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang
mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari
kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan
lewat percuma; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di
kesempatan yang kedua atau akhir perkara.
Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera
dalam beramal dan cepat-cepat mengambil kesempatan, sebaiknya seseorang
menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran telah jelas nampak
padanya.
Disalin dari: kitab Majmu' Fatawa Arkanil
Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar
Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit
Pustaka Arafah
Puasa Enam Hari Bulan Syawal Bagi Orang Yang
Punya Hutang Puasa Wajib
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin
Pertanyaan: Bagaimana pendapat Syaikh tentang puasa enam hari bulan
Syawal bagi orang yang berkewajiban membayar hutang puasa wajib ?
Jawaban: Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sabda
Nabi صلی الله
عليه وسلم:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa" [HR. Muslim, Kitab Shiyam, Bab Disukainya puasa enam hari bulan Syawal (1164)]
Adapun jika seseorang masih menanggung hutang
puasa lalu dia puasa enam hari, apakah dia boleh mengerjakannya sebelum
pelunasan hutang Ramadhan ataukah harus sesudahnya ? Misalnya : Seorang
laki-laki berpuasa Ramadhan sebanyak dua puluh empat hari, masih terhutang
atasnya enam hari, apabila dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum
mengerjakan enam hari puasa pengganti Ramadhan, maka tidak bisa dikatakan :
Sesungguhnya dia berpuasa Ramadhan, dan dia mengikutinya dengan enam hari bulan
Syawal ; sebab dia tidak dianggap berpuasa Ramadhan kecuali bila dia
menyempurnakannya, atas dasar ini maka tidak ditetapkan pahala puasa enam hari
bulan Syawal bagi orang yang mengerjakannya padahal dia masih punya tanggungan
hutang puasa Ramadhan.
Masalah ini bukanlah termasuk hal
diperselisihkan ulama tentang bolehnya puasa nafilah (sunah) bagi orang yang
masih memiliki tanggungan puasa wajib, karena perselisihan itu terjadi pada
puasa selain enam hari tersebut, sedangkan tentang enam hari yang mengikuti
Ramadhan tidak mungkin ditetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah
menyempurnakan puasa Ramadhan
Disalin dari: kitab Majmu' Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah
Puasa Enam Hari Syawal Padahal Punya Qadla
Ramadhan
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin
Pertanyaan: Bagaimanakah kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan
Syawal padahal punya qadla Ramadlan?
Jawaban: Dasar puasa enam hari Syawal adalah hadits
berikut:
"Barang siapa berpuasa Ramadlan lau mengikutinya dengan enam hari Syawwal, maka ia laksanakan puasa satu tahun".
Jika seseorang punya kewajiban qadla lalu
berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari, maka puasa
Syawwalnya tak berpahala, kecuali jika telah mengqadla Ramadlannya.
Disalin dari: buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa
Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 223-227,
terbitan Gema Risalah Press, alih bahas Prof.Drs.KH.Masdar Helmy
Mengqadha Enam Hari Puasa Ramadhan Di Bulan
Syawal, Apakah Mendapat Pahala Puasa Syawal Enam Hari?
Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin
Pertanyaan: Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk
mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban: Disebutkan dalam riwayat Nabi صلی
الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya
menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah
dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk
mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan: "Puasa Ramadhan
sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua
bulan"
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat
sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak
menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau
karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan
itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam
hari Syawal atau puasa sunat lainnya.
Jika telah menyempurnakan qadha puasa
Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa
mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang
ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.
Disalin dari: Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil
Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin
bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah
Fakhruddin
Apakah Suami Berhak Untuk Melarang Istrinya
Berpuasa Syawal?
Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Jibrin
Pertanyaan: Apakah saya berhak untuk melarang istri saya
jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah
perbuatan saya itu berdosa ?
Jawaban: Ada nash yang melarang seorang wanita untuk
berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali
dengan izin sauminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan
seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya
untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya.
Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat
biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang
istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau
menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa
Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.
Disalin dari: Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil
Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin
bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah
Fakhruddin
Puasa Sunnah dengan Dua Niat
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Soal: Ada orang yang senantiasa puasa bidh (puasa tiga hari setiap tanggal 13,
14, 15 bulan Hijriyah). Apabila ia puasa bidh pada bulan Syawwal ini kemudian
berpuasa tiga hari lagi, sudahkah mencukupi untuk puasa fc enam hari pada bulan
Syawwal?
Jawab: Puasa enam hari pada bulan Syawwal adalah
puasa sunnah yang tersendiri, terpisah dari puasa bidh. Dianjurkan bagi setiap
muslim puasa enam hari bulan Syawwal menurut ketentuannya. Demikian pula
hendaklah ia puasa bidh menurut ketentuannya, agar ia mendapatkan ganjaran yang
besar. Maka jika ia puasa enam hari di bulan Syawwal dengan niat puasa Syawwal
dan puasa bidh, yang nampak bagiku bahwa hal itu tidaklah dianggap melainkan
puasa enam hari bulan Syawwal saja. la mendapat ganjarannya, insya Alloh.
Hendaklah ia berpuasa hari bidh dengan niat tersendiri dan terpisah dari niat
puasa Syawwal. Allohu A'lam.
al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan no. 232, 3/ 152
Hukum Puasa Sunnah Bagi Wanita Bersuami,
Apakah Suami Berhak Melarang Puasa Syawal?
Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan
Pertanyaan: Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita
yang telah bersuami ?
Jawaban: Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat
jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Nabi صلی
الله عليه وسلم bersabda:
"Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya"
dalam riwayat lain disebutkan:
"kecuali puasa Ramadhan"
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk
berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu
tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada
hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu: Puasa hari Senin dan
Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal,
puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura
serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.
Disalin dari: Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil
Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin
bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah
Fakhruddin
Labels:
Fiqh
Keine Kommentare: