Puasa Syawal
Termasuk rahmat Allah kepada para hambaNya,
Dia menjadikan amalan sunnah pada setiap jenis amalan wajib, seperti shalat, ada
yang wajib ada yang sunnah, demikian pula puasa, shodaqoh, haji dan lain
sebagainya.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman –semoga Allah merahamtimu- bahwa adanya
amalan-amalan sunnah tersebut memiliki beberapa faedah bagi umat
manusia:
- Menyempurnakan kekurangan pada amalan wajib, sebab bagaimanapun seorang telah berusaha agar ibadah wajibnya sempurna semaksimal mungkin namun tidak luput dari kekurangan. Di sinilah peran amalan sunnah untuk menutup lubang-lubang tersebut.
- Menambah pahala disebabkan bertambahnya amal shaleh
- Menggapai kecintaan Allah
- Menambah keimanan seorang hamba
- Menambah kuatnya hubungan seorang hamba dengan Robbnya
- Merupakan medan untuk berlomba-lomba dalam ketaatan
- Mendorong hamba dalam melakukan amalan wajib, sebab sepertinya mustahil kalau ada seorang yang rajin mengamalkan perkara sunnah tetapi mengabaikan amal yang wajib
- Pembuka amalan wajib
- Penutup pintu bid’ah dalam agama
- Mencontoh Nabi dan para salaf shalih.
Di antara amalan sunnah tersebut adalah puasa
syawwal sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits. Masalahnya, ada sebagian
kalangan yang masih meragukan tentang sunnahnya ibadah ini seraya mengatakan
bahwa hadits tidak shahih!! Haditsnya tidak diamalkan para ulama!! Bagaimana
sebenarnya duduk permasalahannya?! Pembahasan berikut mencoba untuk mengoreknya.
Semoga bermanfaat.
Teks dan Takhrij Hadits
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah selalu merahmatimu-
bahwa hadits pembahasan ini adalah SHOHIH dengan tiada keraguan di dalamnya sebagaimana ditegaskan oleh ahli
hadits. Diriwayatkan dari jalur yang banyak sekali. Berikut pembasan singkat
tentangnya.
1. Hadits Abu Ayyub
al-Anshori
عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه و سلّم قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ
أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda, “Barangsiapa
berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawwal, maka dia seperti
berpuasa satu tahun penuh.”
SHOHIH. Diriwayatkan
Imam Muslim dalam Shahihnya 1164, Ahmad dalam Musnadnya 5/417, 419, Tirmidzi
759, Abu Dawud 2433, Nasai dalam Sunan Kubro 2862-2864, Ibnu Majah 1716,
ad-Darimi 1761, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 9723, Abdur Rozzaq dalam
al-Mushonnaf 7918-7921, Abu Dawud ath-Thoyyalisi dalam Musnadnya 948,
ath-Thobarani dalam Mu’jamul
Kabir 4/134-137, Ibnu Khuzaimah 2114, Ibnu Hibban 3626, Abdu bin Humaid dalam
al-Muntakhob 228, Abu Awanah 2696-2700, al-Baihaqi dalam Sunan Kubro 4/292 dan
lain sebagainya dari beberapa jalan yang cukup banyak sekali dari Sa’d bin Sa’id dari Umar bin Tsabit al-Anshari dari
Abu Ayyub –radhiyallahu
‘anhu- dari Rasulullah
–shallallahu ‘alahi wa sallam-.
Imam Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.”
Lalu lanjutnya: “Sebagian ahli ilmu membicarakan Sa’d bin Sa’id dari segi hafalannya.”
Tetapi, Sa’d bin Sa’id tidaklah sendirian dalam meriwayatkan
hadits ini, sebagaimana akan datang penjelasannya.
2. Hadits Tsauban Maula
Rasulullah
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه و سلّم عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه و سلّم أَنَّهُ قَالَ: مَنْ
صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَنَّةِ. مَنْ جَاءَ
بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشَرُ أَمْثَالِهَا
Dari Tsauban, maula Rasulullah صلي الله عليه وسلم, bahwasanya beliau
– صلي الله عليه وسلم bersabda, “Barangsiapa
berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa
setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh
lipatnya.”
SHOHIH. Diriwayatkan
Ibnu Majah 1715, ad-Darimi 1762, Nasa’i dalam Sunan Kubra 2810, 2861, Ibnu Khuzaimah 2115, Ibnu Hibban
928, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/280, ath-Thobarani dalam
Mu’jamul Kabir 1451 dan
Musnad Syamiyyin 485, ath-Thohawi dalam Musykil Atsar 1425, ar-Ruyani dalam
Musnadnya 634, Ibnu Muqri’
dalam Mu’jamnya 1250 dari
jalan Yahya bin Harits ad-Dhimari dari Abu Asma’ ar-Rakhabi dari Tsauban dari Rasulullah
–shallallahu ‘alahi wa sallam-.
Sanad hadits ini shahih, sebagaimana
ditegaskan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 4/107.
3. Hadits Abu Hurairah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلي الله عليه و سلّم: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ
شَوَّالٍ, فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah
صلي الله عليه وسلم,
bersabda: “Barangsiapa berpuasa ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari
syawal, maka seperti telah berpuasa setahun penuh”.
SHOHIH. Diriwayatkan
Abu Awanah dalam Musnadnya 2702 dan al-Bazzar dalam Musnadnya 669 –Mukhtashor- dari Amr bin Abu Salamah
dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Sanad hadits ini shohih Al-Haitsami berkata
dalam Majma’ Zawaid 3/183:
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan memiliki banyak jalur yang perawi sebagian
jalurnya adalah perawi shahih”. Demikian juga dikatakan oleh al-Mundziri dalam
At-Targhib 2/111.
4. Hadits Syaddad bin
Aus
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صلي الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ
شَوَّالٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
Dari Syaddad bin Aus dari Rasulullah
bahwasanya beliau صلي الله عليه وسلم bersabda, “Barangsiapa berpuasa ramadhan dan mengikutinya dengan
enam hari syawal setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa
setahun penuh”.
SHOHIH. Diriwayatkan
Ibnu Abi Hatim dalam al-’Ilal 1/253 dari jalur Marwan ath-Thothori dari Yahya bin Hamzah
dari Yahya bin Harits dari Asy’ats ash-Shon’ani dari Syaddad bin Aus. Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu
Hatim ar-Rozi) bahwa beliau menilai hadits ini shahih.
Sanad hadits shahih, seluruh perawinya
terpercaya sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qayyim dalam Tahdzib Sunan 7/88 dan
al-Ala’i dalam
Raf’ul Isykal hal.
68.
Hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat
Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Ghonnam al-Anshori,
tetapi semuanya tidak luput dari kecacatan dan pembicaraan. Sengaja kami
tinggalkan, agar tidak mempertebal jumlah halaman. Wallahu A’lam.
Syubhat dan
Jawabannya
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah
merahmatimu- bahwa hadits pembahasan ini telah dibicarakan oleh sebagian
kalangan dengan berbagai kritikan yang menjatuhkan derajat hadits ini. Oleh
karena itu, berikut ini ulasan untuk menyingkap alasan mereka. Kita memohon
kepada Allah untuk memudahkan kita dalam menjalan syari’atNya yang mulia ini.
A. Sanad
Hadits
Sebagian kalangan mengkritik hadits ini,
karena dalam sanad hadits Abu Ayyub terdapat seorang rawi bernama Sa’ad bin Sa’id al-Anshori, dan dia dilemahkan oleh
sebagian ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Nasa’i.
Jawaban:
Ada beberapa point untuk menjawab kritikan
ini:
Pertama: Tidak semua
‘illah (kecacatan) itu
melemahkan hadits.
Telah mapan dalam disiplin ilmu hadits bahwa
‘illah (kecacatan) itu
terbagi menjadi dua macam:
- Kecacatan yang menjadikan lemahnya suatu hadits
- Kecacatan yang tidak menjadikan lemahnya hadits
Jadi, tidak semua kecacatan itu menjadikan
lemahnya suatu hadits. Menariknya, Syaikh Muhammad al-Utsaimin dalam kitabnya
“Mushtolah Hadits” hal. 20 menjadikan hadits pembahasan ini sebagai contoh
hadits yang kecacatannya tidak menjadikan lemahnya hadits.
Kedua: Mayoritas
Ulama Menilainya Positif
Benar, Sa’ad bin Sa’id dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dan Nasai. Namun, bagi orang yang meneliti kitab-kitab rijal hadits, niscaya
akan mendapati bahwa mayoritas ulama telah menilai positif kepada Sa’ad bin Sa’id al-Anshori, diantaranya adalah Yahya
bin Ma’in, Ibnu Abi Hatim,
al-’Ijli, Ibnu
Sa’ad, Ibnu Syahin,
ad-Daraquthni, Muslim dan lain sebagainya.
Ketiga: Imam Muslim Berhujjah Dengannya
Telah dimaklumi bersama bagi kita kedudukan
Imam Muslim dan kitab Shohihnya. Maka melemahkan hadits yang beliau riwayatkan
di dalamnya atau perawi yang dijadikan hujjah olehnya bukanlah suatu hal yang
ringan. Al-Hafizh Ibnu Qayyim berkata tentang metode Imam Muslim:
“Tidaklah salah Imam Muslim tatkala mengeluarkan haditsnya (Harits bin Ubaid), karena beliau memilah hadits-hadits orang sepertinya yang beliau ketahui bahwa perawi tersebut menghafalnya, sebagaimana beliau tidak mencantumkan hadits perawi terpercaya karena beliau mengatahui bahwa rawi tersebut keliru. Metode Muslim ini adalah metode para ahli hadits”.
Keempat: Dia Tidak Sendirian dan Haditsnya Memiliki syawahid
(penguat)
Dia dikuatkan oleh para perawi lainnya juga,
seperti Shafwan bin Sulaim, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdu Rabbihi bin
Sa’id al-Anshari, dan
lain-lain.
As-Subki berkata:
“Syaikh kami Abu Muhammad ad-Dimyati telah mencurahkan tenaganya mengumpulkan jalan-jalan riwayat hadits ini. Akhirnya beliau mendapatkan sebanyak dua puluh lebih orang telah meriwayatkan dari Sa’d bin Sa’id. Dan riwayat Sa’d bin Sa’id ini dikuatkan oleh saudaranya Yahya bin Sa’id, Abdu Rabbihi, Shafwan bin Sulaim, dan sebagainya. Hadits ini juga mempunyai syawahid (penguat-penguat) yang diriwayatkan dari beberapa sahabat seperti Tsauban, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas, Barra’ bin Azib, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum …. “.
Kelima: Para ulama membela dan menshohihkan hadits
Hadits ini adalah shahih dengan tidak ada
keraguan di dalamnya. Hal ini telah ditegaskan oleh para ulama ahli hadits,
mereka menegaskan keshahihannya, membantah orang yang melemahkannya, bahkan ada
yang menulis kitab-kitab khusus tentangnya, di antaranya:
- Imam Muslim dalam Shohihnya
- Imam Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan shohih”.
- Imam Nawawi berkata: “Sanadnya shohih”.
- Al-Hafizh ad-Dimyati mengumpulkan jalur-jalur hadits ini.
- Al-Hafizh al-Ala’i menulis kitab khusus berjudul Raf’ul Isykal ‘an Shiyam Sittah Ayyam min Syawwal. Kitab ini merupakan bantahan beliau kepada Ibnu Dihyah al-Kalbi yang melemahkan hadits ini dalam kitabnya “Al-Ilmu Masyhur fi Fadhoil Ayyam wa Syuhur”.
- Al-Hafizh al-Iraqi mengumpulkan jalur-jalur hadits ini
- Al-Hafizh Ibnul Qayyim membela secara kuat dan panjang dalam Tahdzib Sunan Abu Dawud 7/62 -Aunul Ma’bud-
- Al-Hafizh Ibnu Muflih menshahihkannya dalam al-Furu’ 3/106
- Al-Hafizh Ibnul Mulaqqin menshahihkannya dalam al-Badrul Munir 1/336 -Khulashoh-.
- Al-Hafizh Al-Qurthubi berkata: “Hadits hasan shohih”
- Syaikh Qashim bin Qhotlubiho menulis risalah khusus berjudul Tahrir Aqwal fi Shoum Sitti Min Syawwal. Dalam kitab ini beliau membantah pernyataan penulis Mandzumah at-Tubbani dan Syarhnya yang menyandarkan kepada Abu Hanifah bahwa beliau membencinya secara mutlak.
- Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 4/106-107
- Dr. Abdul Aziz al-Utaibi menulis pembelaan hadits ini dalam kitabnya Makanah Shohihain.
Dengan penjelasan di atas, maka jelaslah bagi
kita keshohihan hadits ini dan selamatnya hadits ini dari kecacatan.
Walhamdulillah.
B. Matan
Hadits
Sebagian kalangan ada yang mengkritik dari
segi matannya, dimana Imam Malik dan Abu Hanifah tidak mengambil kandungan
isinya. Alasan Imam Malik, karena beliau tidak melihat seorang alim-pun dari
kalangan salaf yang berpuasa seperti itu dan beliau khawatir bila orang yang
jahil akan memasukkannya ke dalam puasa Ramadhan. Demikian pula alasan Abu
Yusuf, kawan Imam Abu Hanifah, beliau khawatir apabila puasa tersebut dianggap
wajib oleh orang yang jahil.
Jawaban:
Ada beberapa point juga untuk membantah
kritikan ini:
Pertama: Inilah
Metode Yang Benar
“Sesungguhnya kami mencintai para ulama kaum
muslimin dan memilih dari pendapat mereka yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, kita menimbang pendapat
mereka dengan kedua timbangan tersebut, kita tidak menimbangnya dengan ucapan
seorangpun, siapapun dia. Kita tidak menjadikan seorang selain Allah dan
rasulNya yang terkadang benar dan terkadang salah untuk kita ikuti setiap
pendapatnya dan melarang orang lain untuk menyelisihinya.
Demikianlah wasiat para imam Islam kepada
kita, maka hendaknya kita untuk mengikuti jejak dan petunjuk mereka”.
Kedua: Berikanlah Udzur Kepada Para Ulama
“Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun dari
para imam dan ulama yang sengaja untuk menyelisihi Rasulullah dalam sunnahnya,
sebab mereka semua bersepakat dalam satu kata tentang wajibnya mengikuti
Rasulullah dan bahwasanya semua manusia selainnya bisa diterima dan bisa ditolak
ucapannya. Hanya saja, apabila ada pendapat dari salah seorang diantara mereka
yang menyelisihi hadits shahih, maka harus ada di sana suatu alasan kenapa dia
meninggalkannya. Semua udzur tersebut berputar pada tiga perkara:
- Dia tidak yakin bahwa Nabi mengatakan hal itu
- Dia tidak menghendaki masalah tersebut
- Dia menyakini bahwa hukum tersebut telah terhapus”.
Ketiga: Membantah Alasan
Alasan dibencinya puasa sunnah ini dapat kita
simpulkan menjadi dua sebagai berikut:
Pertama: Perkataan
Imam Malik: “Saya tidak melihat seorang pun alim dari kalangan salaf yang
berpuasa seperti itu”
Kedua: Kekhawatiran
bila puasa ini dianggap sebagai suatu kewajiban seperti puasa
Ramadhan.
Untuk menjawab dua alasan ini, kita
katakan:
Pertama: Apakah
hadits yang shahih dari Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم akan kita tinggalkan hanya karena alasan-alasan
lemah seperti ini?! Al-Hafizh asy-Syaukani berkata: “Pendapat ini adalah bathil,
tidak pantas bagi seorang yang berakal, lebih-lebih orang berilmu untuk
meninggalkan sunnah yang shohih lagi jelas dengan alasan seperti
itu”.
Kedua: Alasan Imam
Malik bahwa beliau tidak mendapati seorang salaf yang melakukannya adalah
tertolak setelah jelas bagi kita keshohihan hadits ini. Imam Nawawi berkata:
“Apabila telah shohih suatu hadits, maka tidaklah ditinggalkan dengan alasan
karena sebagian manusia meninggalkannya”. “Ucapan ini bukanlah hujjah, sebab
sunnah telah shohih, adapun beliau tidak mengetahuinya maka hal itu tidak
menjadi masalah”.Dalam masalah lain, beliau membantah alasan ini: “Sunnah
Nabi صلي الله عليه
وسلم lebih didahulukan
daripada pendapat beliau (imam Malik). Sewajibnya mengikuti hadits, adapun Malik
maka beliau mendapatkan udzur karena hadits ini belum sampai kepadanya”. Inilah
juga yang dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Barr bahwa hadits ini belum sampai
kepada Imam Malik, seandainya beliau mengetahuinya, niscaya beliau akan
mengambilnya.
Ketiga: Adapun
alasan khawatir dianggap wajib oleh sebagian orang jahil, maka ini adalah alasan
yang lemah ditinjau dari beberapa segi:
- Kekhawatiran ini sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada wujudnya, sebab semua orang telah mengetahui bahwa puasa syawal hukumnya adalah sunnah.
- Menghilangkan kekhawatiran ini bukanlah caranya dengan menolak sunnah yang telah shohih, tetapi bisa dengan cara lainnya, seperti penjelasan kepada mereka bahwa puasa ini hukumnya hanya sunnah, atau dengan meninggalkannya sesekali agar tidak dianggap wajib.
- Kekhawatiran ini bisa hilang apabila seseorang memisahnya dengan tidak berpuasa pada hari raya karena memang hal itu terlarang, atau dengan berpuasa pada pekan kedua atau ketiga dari bulan syawal.
- Bila alasan ini dipertahankan maka konsekuansinya juga adalah meninggalkan puasa-puasa sunnah lainnya yang dianjurkan seperti Asyuro, Arofah dan lain-lain dengan alasan khawatir dianggap wajib, padahal tidak ada seorang ulama-pun yang berpendapat demikian.
Fiqh
Hadits
Lumayan panjang untuk membahas tentang faedah
dan hukum-hukum seputar puasa syawwal, namun semoga pembahasan berikut ini
sedikit mencukupi:
1. Disyari’atkannya Puasa
Enam Hari Pada Bulan Syawwal
Puasa enam hari bulan syawwal hukumnya sunnah,
baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli
ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah
bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini
terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang
sependapat dengannya mengenai sunnahnya puasa enam hari bulan
Syawwal.”
Ibnu Hubairah berkata: “Mereka bersepakat
tentang sunnahnya puasa enam hari Syawal kecuali Abu Hanifah dan Malik yang
mengatakan bahwa hal itu dibenci dan tidak disunnahkan”.
Alangkah bagusnya ucapan Al-Allamah
al-Mubarakfuri: “Pendapat yang menyatakan dibencinya puasa enam hari Syawwal
merupakan pendapat yang bathil dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
Oleh karena itu, mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat tidak mengapa seorang
berpuasa enam hari Syawwal tersebut. Ibnu Humam berkata: “Puasa enam hari
Syawwal menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf makruh (dibenci) tetapi ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa”.
2. Keutamaan puasa enam
hari Syawwal
Yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh,
karena satu kebaikan berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan,
dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal
ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.
Namun hal ini bukan berarti dibolehkan atau
disunnahkan puasa dahr (setahun) sebagaimana anggapan sebagian kalangan, karena
beberapa sebab:
Pertama: Maksud
perumpamaan Nabi صلي الله
عليه وسلم di atas adalah sebagai anjuran dan
penjelasan tentang keutamaannya, bukan untuk membolehkan puasa dahr (setahun)
yang jelas hukumnya haram dan memberatkan diri, apalagi dalam setahun seorang
akan berbenturan dengan hari-hari terlarang untuk puasa seperti hari raya dan
hari tasyriq.
Kedua:
Nabi صلي الله عليه
وسلم telah melarang puasa
dahr. Kalau demikian, lantas mungkinkah kemudian hal itu dinilai sebagai puasa
yang dianjurkan?!
Ketiga:
Nabi صلي الله عليه
وسلم bersabda: “Sebaik-baik puasa adalah puasa Dawud,
beliau sehari puasa dan sehari berbuka”. Hadits ini sangat jelas sekali
menunjukkan bahwa puasa Dawud lebih utama daripada puasa dahr sekalipun hal itu
lebih banyak amalnya.
3. Beberapa Faedah Puasa
Syawwal
Membiasakan puasa setelah ramadhan memiliki
beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
- Puasa enam hari syawal setelah ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
- Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
- Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
- Puasa syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
- Puasa syawwal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.
4. Haruskah berturut-turut
setelah Idul Fithri?!
Ash-Shon’ani berkata:
“Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.
An-Nawawi berkata:
“Afdhalnya, berpuasa enam hari berturut turut langsung setelah Idhul Fithri. Namun jika seseorang berpuasa Syawwal tersebut dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, dia masih mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, berdasarkan konteks hadits ini.” Yakni keumuman sabda Nabi “enam hari bulan syawal”.
Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh
berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di
akhir bulan Syawwal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukan puasa
Syawwal karena beberapa sebab:
- Pertama: Bersegera dalam beramal shalih
- Kedua: Agar tidak terhambat oleh halangan dan godaan syetan sehingga menjadikannya tidak berpuasa
- Ketiga: Manusia tidak tahu kapan malaikat maut menjemputnya.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui
kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah
syawwal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia
puasanya!!
5. Bila Masih Punya
Tanggungan Puasa Ramadhan
Apabila seorang ingin berpuasa Syawwal tetapi
dia masih memiliki tangungan puasa ramadhan, bagaimana hukumnya?!
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa ramadhan”.
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin
berkata:
“Puasa enam syawal berkaitan dengan ramadhan, dan tidak dilakukan kecuali setelah melunasi tanggungan puasa wajibnya. Seandainya dia berpuasa syawal sebelum melunasinya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaannya, berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dia menyertainya dengan enam hari syawal maka seakan-akan dia berpuasa setahun penuh”.
Dan telah dimaklumi bersama bahwa orang yang
masih memiliki tanggungan puasa ramadhan berarti dia tidak termasuk golongan
orang yang telah puasa ramadhan sampai dia melunasinya terlebih dahulu. Sebagian
manusia keliru dalam masalah ini, sehingga tatkala dia khawatir keluarnya bulan
syawal maka dia berpuasa sebelum melunasi tanggungannya. Ini adalah suatu
kesalahan“.
6. Kalau Memang Ada Udzur
Sehingga Keluar Bulan Syawwal
Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan
puasa syawal karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya
sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan syawal. Apakah dia boleh menggantinya
pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karana
waktunya telah keluar?! Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:
Pertama. Boleh
mengqodho’nya karena ada
udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di dan Syaikh Ibnu Utsaimin . Alasannya
adalah menqiyaskan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa diqodho’ apabila ada udzur seperti
shalat.
Kedua. Tidak
disyariatkan untuk mengqodho’nya apabila telah keluar bulan syawal, baik karena ada udzur atau
tidak, karena waktunya telah lewat. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Abdul Aziz
bin Baz .
Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati
penulis, karena qodho’
membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam. Alhamdulillah, kalau memang dia
benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia
akan melakukan puasa syawal, maka Allah akan memberikan pahala baginya,
sebagaimana dalam hadits:
إِذَا مَرِضَ
الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا
صَحِيْحًا
Apabila seorang hamba sakit atau bepergian,
maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat. (HR. Bukhari:
2996)
7. Menggabung Niat
Puasa
Kalau ada orang yang berpuasa syawwal dan
ingin menggabungnya dengan qodho’ puasa ramadahan, atau dengan puasa senin kamis, atau tiga hari
dalam sebulan, bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendakanya kita
mengetahui terlebih dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh
Ibnu Rojab, yaitu:
“Apabila berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan karena qodho’ (mengganti) atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu”.
Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu
itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Tidak
mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau
mengikut kepada ibadah lainnya, maka di sini tidak mungkin digabung.
Contoh: Seorang ketinggalan shalat sunnah
fajar sampai terbit matahari dan datang waktu sholat dhuha, di sini tidak bisa
digabung antara shalat sunnah fajar dan shalat dhuha, karena shalat sunnah fajar
adalah ibadah tersendiri dan shalat dhuha juga ibadah tersendiri.
Contoh lain: Seorang sholat [sunnah] fajar
dengan niat untuk shalat sunnah rawatib dan shalat fardhu, maka tidak bisa,
karena shalat sunnah rawatib adalah mengikut kepada shalat fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekedar adanya perbuatan
tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.
Contoh: Seorang masuk masjid dan menjumpai
manusia sedang melakukan shalat [sunnah] fajar, maka dia ikut shalat dengan niat
shalat [sunnah] fajar dan tahiyyatul masjid, maka boleh karena tahiyyatul
masjid bukanlah ibadah tersendiri.
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa
kalau seorang menggabung puasa syawwal dengan mengqodho’ puasa ramadhan maka hukumnya tidak
boleh karena puasa syawal di sini mengikut kepada puasa ramadhan. Namun apabila
seseorang menggabung puasa syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan, puasa
dawud, senin kamis maka hukumnya boleh. Wallahu
A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat
kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Labels:
Fiqh
Keine Kommentare: