AKHLAK

[Akhlak][grids]

Aqidah

[Aqidah][twocolumns]

FIQIH

[Fiqh][bleft]

Keutamaan dan Kemuliaan llmu Bag.4

Tujuh puluh sembilan. Sesungguhnya frekwensi kebahagiaan bersama yang dicintai tergantung pada kekuatan dan kelemahan cinta itu sendiri. Apabila kecintaan itu besar, maka kebahagiaan pun terasa besar pula. Sebagaimana kebahagiaan seseorang yang dilanda dahaga tatkala meminum air dingin dan tergantung rasa letihnya dalam mencari air itu, demikian pula dengan orang yang lapar. Jadi perasaan cinta itu sesuai dengan pengetahuannya tentang yang dicintai dengan segala keindahan lahir-batinnya. Kebahagiaan memandang Allah SWT setelah bertemu dengan-Nya adalah sesuai dengan kekuatan cinta dan keinginannya untuk berjumpa dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan pengetahuannya terhadap Allah serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mengenai penjelasan tentang masalah ini akan menyusul insya Allah.
Delapan puluh. Segala sesuatu selain Allah SWT butuh kepada ilmu dan mereka tidak bisa hidup dengan baik tanpa adanya ilmu. Wujud itu ada dua, yaitu wujud penciptaan dan wujud perintah. Penciptaan dan perintah sumbernya adalah ilmu dan hikmah Allah. Segala sesuatu yang terkandung dalam penciptaan dan perintah berasal dari ilmu dan hikmah-Nya. Langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya tidak akan berdiri tegak tanpa ilmu, yang halal dan haram tidak diketahui kecuali dengan ilmu, dan keutamaan Islam di atas yang lain tidak diketahui kecuali dengan ilmu. Dalam hal ini orang-orang berbeda pendapat mengenai satu masalah, yaitu apakah pengetahuan itu bersifat aktif atau reaktif? Sebagian ulama mengatakan bahwa pengetahuan bersifat aktif sebab ia merupakan syarat, bagian, atau sebab adanya obyek. Karena, perbuatan  yang timbul dari keinginan pelaku membutuhkan kehidupan, pengetahuan, kekuatan, dan kehendaknya. Tidak bisa dibayangkan keberadaan sang pelaku tersebut tanpa sifat-sifat ini. Sedangkan, sebagian ulama
lainnya mengatakan bahwa pengetahuan itu bersifat reaktif, sebab ia hanya mengikuti obyek yang diketahui dan berkaitan dengannya. Hal ini disebabkan pengetahuan seseorang mengenai suatu obyek adalah sesuai dengan obyek tersebut, dan pengetahuannya itu ada setelah adanya obyek. Jadi bagaimana pengetahuan dapat mendahului keberadaan obyeknya. Adapun pendapat yang benar adalah bahwa ilmu itu terbagi dua. Pertama: pengetahuan (al-tlm) aktif yaitu pengetahuan seorang pelaku perbuatan, yang melakukannya berdasarkan kehendaknya. Pengetahuan ini tergantung kepada kehendak seseorang yang berangkat dari persepsinya terhadap obyek kehendaknya. Jadi pengetahuan ini ada sebelum perbuatan, ia mendahului dan memperangaruhi perbuatan itu. Sedangkan, pengetahuan yang reaktif adalah pengetahuan yang mengikuti obyek yang tidak mempunyai pengaruh terhadapnya, seperti pengetahuan kita tentang adanya para nabi, bangsa-bangsa, raja-raja, dan semua yang ada. Pengetahuan ini tidak mempunyai pengaruh terhadap obyeknya, tidak pula menjadi syarat bagi keberadaannya. Jadi kesalahan para ulama yang berbeda pendapat mengenai sifat pengetahuan ini dikarenakan masing-masing pihak melihat secara parsial dan menetapkan hukum secara general, ini merupakan kesalahan yang banyak terjadi. 
Kedua bagian dari pengetahuan tersebut memiliki sifat kesempurnaan, dan kehilangan salah satu dari keduanya merupakan kerugian yang sangat besar.
Delapan puluh satu. Keutamaan sesuatu itu akan diketahui dengan adanya lawan dari sesuatu tersebut. Karena melalui sesuatu yang berlawanan dengannya kebaikan sesuatu itu akan nampak. Tidak diragukan bahwa kebodohan merupakan pangkal segala keburukan dan kemalangan yang menimpa seorang hamba di dunia dan akhirat, karena kemalangan tersebut adalah buah dari kebodohan. Seseorang yang benar-benar mengetahui bahwa suatu makanan itu beracun, yang apabila dimakan akan mengakibatkan kematiannya, maka ia tidak akan memakannya. Dan seandainya dia memakannya karena kelaparan atau ingin segera menjemput ajal, maka ia melakukannya berdasarkan pengetahuan dan itu sejalan dengan keinginannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah yang sangat penting. Yaitu apakah ilmu itu serta merta membuat seseorang mendapat petunjuk dan seseorang tidak mendapat petunjuk hanya karena ia tidak mempunyai ilmu. Karena tidak dapat dibayangkan seseorang akan tersesat jika ia benar-benar mengetahui kebenaran. Ataukah, ilmu itu tidak secara otomatis membawa seseorang untuk mendapat petunjuk. Karena tidak jarang seseorang yang berilmu, namun tersesat secara sengaja. Permasalahan ini menjadi perbedaan antara para mutakallimin, tokoh-tokoh sufi, dan lainnya. Kelompok pertama berpendapat bahwa orang yang benar-benar mengetahui kebenaran dengan tanpa keraguan, maka mustahil dia tidak mendapatkan petunjuk.
Apabila dia tersesat, berarti pengetahuannya yang masih kurang. Dalil mereka adalah berikut ini.
Firman Allah SWT, 
"Akan tetapi, orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang- orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al- Qur'an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu." (an-Nisa': 161)
Allah SWT memberikan kesaksian kepada setiap orang berilmu dalam iman dengan firmannya,
"Sesungguhnya hamba Allah yang takut kepadanya hanya para ulama." (Fathir: 28) 
"Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar." (Saba': 6) 
"Allah menyatakan tidak ada Tuhan selain Dia bersama dengan para malaikat dan orang-orang berilmu." (Ali 'Imran: 18) 
"Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?" (ar-Ra'd: 19) 
Jadi Allah SWT membagi manusia ke dalam dua bagian. 
Pertama, orang-orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhannya adalah benar. Kedua, orang- orang yang buta. Ini menujukkan bahwa tidak ada jarak di antara keduanya.
Allah SWT berfirman tentang orang-orang kafir,
"Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti." (al- Baqarah: 17) 
"Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (at-Taubah: 93) 
"Allah telah mengunci mati hati. Pendengaran dan penglihatan mereka ditutup." (al-Baqarab: 7) 
Dalarn diri mereka ketiga sumber pengetahuan tersebut telah rusak. Allah SWT berfirman,
"Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya lalu meletakkan tutupan atas penglihatannya? Siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat? Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (al- Jaatsiyah: 23) 
Firman Allah, "Dan Allah membiarkan mereka sesat berdasarkan ilmu ", artinya menurut Abu Sa'id bin Jabir, "Berdasarkan atas ilmu Allah SWT." Menurut az-Zujaj, "Berdasarkan ilmu-Nya yang terdahulu yaitu sebelum mereka diciptakan bahwa mereka akan tersesat." Firman-Nya, "Allah Menutup pendengarannya", artinya Allah menguncinya sehingga tidak dapat mendengar petunjuk. Firman-Nya, "Dan (Allah mengunci mati) hatinya", artinya dia tidak bisa memahami petunjuk. Firman-Nya, "Dan (Allah) meletakkan penutup atas penglihatannya," artinya dia tidak dapat melihat hal-hal yang mengatarkannya mendapatkan petunjuk. Tentang hal ini banyak diterangkan dalam Al-Qur'an, yang semuanya menjelaskan pertentangan antara kesesatan dengan ilmu. 
Dan firman-Nya,
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan/Apakah yang dikatakan tadi?'Mereka itulah orang- orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah." (Muhammad: 16) 
Seandainya mereka mengerti apa yang diucapkan Rasulullah, pasti mereka tidak akan menanyakan kepada orang-orang yang berilmu apa yang beliau katakan dan hati mereka pun tidak akan dikunci.
Firman Allah,
"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu, dan berada dalam keadaan gelap gulita." (al-An'aam: 39) 
"Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, maka mereka tersungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata/Maha Suci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.'" (al-lsraa: 107-108) 
Ini merupakan kesaksian Allah atas keimanan orang yang berilmu. Dan Allah berfirman tentang penghuni neraka,
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (al-Mulk: 10) 
Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sesat tidak mempunyai pendengaran dan pikiran. Allah berfirman,
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu." (al-Ankabuut: 43) 
Dalam ayat di atas Allah SWT mengabarkan bahwa yang memahami perumpamaan-perumpamaan-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Orang-orang kafir tidak termasuk ke dalam orang-orang berilmu sebab itu mereka tidak memahaminya. Allah SWT berfirman,
"Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah?" (ar-Rum: 29) 
"Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata ,'Mengapa Allah tidak(langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'" (al-Baqarah: 118)
"Katakanlah, 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" (az-Zumar: 9) 
Seandainya kesesatan bisa menyatu dengan ilmu, maka orang-orang yang tidak berilmu lebih baik keadaannya daripada orang-orang yang berilmu, Tetapi nash Al-Qur'an bertentangan dengan hal ini. Di dalam Al-Qur'an banyak sekali keterangan tentang tidak adanya ilmu dan pengetahuan dalam diri orang-orang kafir. Terkadang Al-Qur'an menyebut mereka sebagai orang yang tidak berilmu, orang yang tidak berakal, orang yang tidak memiliki perasaan, orang-orang yang tidak melihat, orang-orang yang tidak memahami, dan terkadang orang-orang yang tidak mendengar. Pendengaran yang dimaksud di sini adalah pendengaran dengan memahami, yaitu pendengaran hati bukan penangkapan suara. Semuanya ini menunjukkan bahwa kekafiran adalah akibat dari kebodohan yang bertentangan dengan ilmu, yang keduanya tidak akan pernah menyatu. Karena itu, Allah SWT menjuluki orang-orang kafir sebagai orang-orang bodoh, seperti dalam firman-Nya,
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahiI menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (al-Furqaan: 61). 
"Dan apabila mereka mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata/Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang- orang jahil.'" (al-Qashash: 55) 
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang mak'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199) 
Tatkala kaum Rasulullah saw. melakukan penganiayaan yang melampaui batas, beliau bersabda,
"Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui."(HR Bukhari) 
Dalam Shahih Bukhari Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa yang dikendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Dia akan memahamkan agama kepadanya."(HR Bukhari dan Muslim) 
Ini menunjukkan kehendak Allah untuk mengaruniakan kebaikan kepada hamba-Nya adalah karena ia memahami agama-Nya. Hadits ini tidak bisa dipahami bahwa seseorang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka dia diberikan pamahaman terhadap agama-Nya. Hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang diberikan pemahaman kepada agama-Nya, maka Allah menginginkan kebaikan baginya. Jadi antara keduanya terdapat perbedaan. Akan tetapi, dalil-dalil mereka di atas hanya mendukung penafsiran kedua. Yaitu, bahwa setiap orang yang diberikan pemahaman kepada agama-Nya, maka Allah menginginkan kebaikan baginya, sedangkan hadits ini tidak menginginkan hal itu. Itu 
sebabnya saya katakan bahwa Nabi menjadikan pemahaman terhadap agama sebagai bukti dan tanda bagi kehendak Allah atas seseorang untuk mendapatkan kebaikan. Bukti selalu mengharuskan adanya yang dibuktikan. Jadi sesuatu yang dibuktikan merupakan konsekuensi bukti tersebut. Sedangkan, adanya konsekuensi tanpa adanya sebab adalah mustahil. Dalam Sunan Tirmidzi dan sunan-sunan lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Ada dua karakteristik yang tidak bertemu dalam diri seorang munafik, baiknya perilaku dan pemahaman dalam agama." 
Rasulullah saw. menjadikan pemahaman agama bertentangan dengan kemunafikan. Bahkan, para ulama salaf tidak pernah memakai kata fiqh kecuali atas ilmu yang disertai dengan amal. Sa'ad bin Ibrahim pernah ditanya tentang penduduk Madinah yang paling memahami agama, lalu dia menjawab, 
"Yang paling bertakwa di antara mereka." 
Farqad as-Sanji pernah bertanya kepada Hasan al-Bashri tentang sesuatu dan Hasan al-Bashri menjawabnya. Kemudian Farqad as-Sanji berkata, "Akan tetapi, para fuqaha tidak sependapat dengan Anda." Hasan al-Bashri menjawab, "Ya Furaiqad, apakah engkau pernah melihat seorang faqih dengan kedua matamu! Sesungguhnya seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan hanya menginginkan akhirat. la benar-benar memahami agama dan tekun beribadah kepada Tuhannya. la idak iri dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dan tidak menghina orang yang lebih rendah dari dia. la juga tidak menginginkan imbalan dari ilmu yang ia ajarkan." Sebagian ulama salaf mengatakan, "Seorang faqih adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat orang merasa aman dari cobaan-Nya, dan ia tidak meninggalkan Al-Qur'an karena tidak suka terhadapnya." Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai ilmu dan melupakan-Nya sebagai sebuah kebodohan."
Mereka mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah serta dalam ucapan para sahabat dan tabi'in menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan (ma'rifah) mendatangkan hidayah. Sedangkan tidak adanya hidayah menunjukkan kebodohan dan tidak adanya ilmu. Ini menunjukkan bahwa selama manusia menggunakan akalnya, maka dia tidak akan mungkin memilih kesengsaraan daripada kebahagiaan, tidak mungkin memilih azab yang abadi atas nikmat-Nya yang kekal, dan indera merupakan saksi atas hal itu. Karena itulah, Allah SWT menyebut perbuatan dosa sebagai suatu kebodohan, yaitu dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya taobat di sisi Allah hanyalah taobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaobat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taobatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisaav: 17) 
Sufyan ats-Tsauri berkata,
"Setiap orang yang melakukan dosa adalah orang yang tidak tahu, baik dia orang bodoh maupun berilmu. Apabila dia berilmu, maka ia orang yang paling bodoh dari orang yang berilmu. Dan apabila dia bodoh, maka memang demikian adanya." 
Firman Allah, 
"Kemudian mereka bertaobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taobatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 
Sufyan berkata, "Itu adalah sebelum mati." Ibnu Abbas r.a. berkata, "Dosa seorang mukmin adalah karena ketidaktahuan terhadap apa yang ia lakukan." Qatadah berkata, "Semua sahabat Rasulullah sepakat bahwa setiap orang yang berbuat maksiat adalah karena ketidaktahuan." As-Sadi berkata, "Setiap orang yang berdosa kepada Allah adalah orang yang tidak tahu."
Kelompok pertama ini mengatakan bahwa salah satu hal yang menunjukkan kebenaran pendapat mereka bahwa seorang hamba yang berilmu tidak akan berbuat dosa adalah jika seseorang melihat anak kecil yang memandangnya dari jendela sebuah rumah, maka ia tidak akan menggerakkan anggota badannya untuk melakukan perbuatan buruk. Maka, tidak mungkin seseorang akan melakukan kemaksiatan jika pengetahuannya telah sempurna bahwa Allah menyaksikan, melihat, dan memberikan sanksi, serta telah mengharamkannya. Apabila dengan pengetahuannya itu dia tetap melakukan kemaksiatan, maka itu disebabkan kelalaian, dan kelupaannya. Dengan demikian, kemaksiataannya itu bersumber dari kelalaian, kelupaan dan ketidaktahuan yang bertentangan dengan pengetahuan (ilmu). Perbuatan dosa itu diliputi dua ketidaktahuan, yaitu ketidaktahuan akan sebab-sebab yang dapat menghindarkannya dari dosa, dan ketidaktahuan tentang akibatnya. Di bawah kedua ketidaktahuan itu terdapat banyak ketidaktahuan lainnya. Jadi perbuatan maksiat itu terjadi karena kebodohan, dan ketaatan dapat terwujud dengan pengetahuan. Demikian beberapa argumentasi yang dikemukakan kelompok pertama. Kelompok kedua berpendapat bahwa pengetahuan (ilmu) tidak mesti berimplikasi pada hidayah. Banyak sekali kesesatan yang dilakukan secara sengaja dan dengan pengetahuan bahwa apa yang ia lakukan adalah kemaksiatan. Namun demikian, dia tetap memilih kesesatan dan kekafiran, padahal dia tahu bahwa itu mengakibatkan kesengsaraan dan kebinasaannya. Kelompok ini mengatakan bahwa iblis -guru kesesatan dan penganjur kekafiran benar-benar mengetahui perintah Allah untuk sujud kepada Adam dan dia tidak menyangsikan hal itu sama sekali. Walaupun demikian, iblis menentang dan melawan perintah itu sehingga dia mendapatkan laknat dan azab abadi, meskipun dia mengetahui hal itu secara pasti. Bahkan, iblis bersumpah dengan kebesaran Allah bahwa dia akan menyesatkan semua makhluk-Nya kecuali hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Iblis tidak meragukan adanya Allah dan keesaaan-Nya, dia juga tidak meragukan adanya hari kebangkitan, adanya surga dan neraka. Akan tetapi dia tetap memilih neraka, memilih untuk menanggung laknat, kemurkaan, dan diusir dari langit dan dari surga. Ini semua dengan pengetahuannya yang jarang dimiliki banyak orang. 
Karena itulah iblis berkata,
"Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka tangguhkanlah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan." (al-Hijr: 36) 
Ini adalah pengakuan iblis tentang hari kebangkitan dan kekekalan di dalamnya. Dia juga sudah mengetahui sumpah Tuhannya bahwa Dia akan memenuhi neraka dengan iblis dan para pengikutnya. Jadi kekafirannya adalah kekafiran penentangan semata, bukan kekafiran karena ketidaktahuan. Allah SWT berfirman tentang kaum Tsamud, 
"Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami ben petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu." (Fushshilat: 17) 
Artinya, Kami telah menjelaskan dan memberitahukan kebenaran kepada mereka sehingga mereka mengetahui dan meyakini kebenaran itu, tetapi mereka lebih memilih kebutaan (kesesatan). Jadi kekafiran mereka bukan karena kebodohan. Allah SWT berfirman tentang Musa dalam pembicaraannya dengan Fir'aun, 
"Musa menjawab/Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa.'" (al-lsraa': 102) 
Ta dalam kata 'alim(ta) jika dibaca dengan fathah, maka maknanya lebih tepat dan lebih jelas. Ini adalah bacaan mayoritas ulama. Hanya saja al-Kisa'i membacanya dengan dhamah, 'alim(tu). Dalam bacaan pertama terbukti kekafiran dan pembangkangan Fir'aun. Allah SWT juga menyatakan hal itu dalam firman-Nya tentang Fir'aun dan kaumnya, 
"Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka, 'Ini adalah sihir yang nyata.' Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (an-Naml: 13-14)  
Dalam ayat ini Allah SWT memberitahukan bahwa pendustaan dan kekafiran mereka adalah dengan adanya keyakinan akan kebenaran Musa a.s.. Keyakinan merupakan pengetahuan yang paling kuat. Oleh sebab itu, mereka kafir karena kesombongan dan kezaliman mereka, bukannya karena ketidaktahuan. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah  kamu bersedih hati). Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang  yang zalim itu mendustakan ayat-ayat Allah."(al-An'am:33) 
Artinya, "Sesungguhnya mereka mengetahui kebenaranmu wahai Muhammad. Mereka mengetahui bahwa apa yang engkau katakan bukanlah suatu kebohongan. Tetapi, mereka itu mengingkari dan menentangmu walaupun mereka tahu semua itu." Ini adalah pendapat Ibnu Abbas r.a. dan para mufassir lainnya. Qatadah berkata bahwa maksud ayat di atas adalah, "Mereka mengetahui bahwa engkau adalah seorang rasul, tetapi mereka mengingkarinya." Allah SWT berfirman,
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya." (an-Naml: 14) 
"Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui kebenarannya. Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukan yang hak dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya."(Ali Imran: 70-71) 
Maksudnya, "Kalian mengingkari Al-Qur'an dan rasul yang membawanya, padahal kalian mengetahui kebenarannya. Maka, kekafiran kalian adalah karena pengingkaran dan penentangan atas apa yang kalian ketahui, bukannya karena kebodohan dan ketidaktahuan kalian." Allah SWT berfirman tentang para tukang sihir dari kalangan Yahudi,  
"Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, maka tiadalah baginya keuntungan di akhirat." (al-Baqarah: 102) 
Maksudnya, para tukang sihir itu tahu bahwa orang yang mempelajari dan menerima ilmu sihir tidak akan mendapatkan keberuntungan di akhirat kelak. Meskipun mereka mengetahui hal itu, mereka tetap membeli, menerima, dan mempelajarinya. Allah SWT berfirman,
"Orang-orang yang telah Kami beri Alkitab, mengenal (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri." (al-Baqarah: 46) 
Al-Qur'an menyebutkan pengetahuan mereka tersebut dalam masalah kiblat dan dalam masalah tauhid, seperti dalam firman-Nya,
"Apakah kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah.' Katakanlah, 'Aku  tidak mengakui.' Katakanlah/Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang maha esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa kamu persekutukan.' Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri." (al-An'am: 19-20)
Mereka mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah SWT seperti dalam firman-Nya,
"Dan orang-orang yang telah Kami berikan kitab mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya." (al-An'am: 114)
"Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman serta setelah mereka mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang zalim." (Ali Imran: 86) 

Ibnu Abbas r.a. berkata,
"Yang dimaksud ayat di atas adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan orang-orang yang seagama dengan mereka yang tidak beriman kepada Rasulullah saw. setelah beliau diutus, padahal sebelum beliau diutus mereka beriman dan mengakui kenabian beliau. Mereka kafir kepada beliau karena kezaliman dan hasad mereka." 

Az-Zajjaj berkata, "Dalam ayat di atas Allah SWT memberitahukan bahwa tidak ada lagi jalan untuk memberikan petunjuk kepada mereka, karena mereka memang layak tersesat dengan kekafiran tersebut disebabkan mereka kafir sesudah mengetahui kebenaran."
Maksud dari firman Allah, "Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir", bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka karena mereka telah mengetahui, mengakui, dan meyakini kebenaran itu, tapi mereka tetap mengingkarinya. Jadi bagaimana lagi hidayah itu dapat datang kepada mereka? Orang yang bisa diharapkan mendapat hidayah adalah orang tersesat yang tidak mengetahui bahwa ia tersesat, dan ia mengira bahwa ia mendapat petunjuk. Apabila ia mengetahui petunjuk, tentu ia akan mengikutinya. Sedangkan orang yang mengetahui, meyakini, dan mengakui kebenaran dengan hatinya, lalu mereka memilih kekafiran dan kesesatan, maka bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepadanya? Allah SWT berfirman tentang orang Yahudi,
"Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka, laknat Allahlah atas orang-orang yang ingkar itu." (al-Baqarah: 89) 
Kemudian Allah berfirman,
"Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendakinya dari hamba- hamba-Nya." (al-Baqarah: 90) 
Ibnu Abbas r.a. berkata, 
"Kekafiran mereka bukan karena ragu dan bimbang, tetapi karena kedengkian mereka lantaran kenabian berada di tangan putra Ismail."
Kemudian Allah SWT berfirman,
"Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah)." (al-Baqarah: 101)
Dalam ayat di atas Allah menyerupakan perbuatan mereka seperti perbuatan orang yang tidak tahu. Jadi ini menunjukkan bahwa mereka membuang Kitab itu karena mengetahui kebenarannya. Seperti jika Anda mengatakan kepada orang yang dengan sengaja tidak mengikuti instruksi Anda, "Seakan-akan engkau tidak
mengetahui apa yang engkau lakukan!", atau "Engkau seakan-akan tidak mengetahui larangan saya."

Dan firman Allah,
"jika mereka tetap berpaling, maka sesungguhnya kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir." (an-Nahl: 82-83) 
As-Sadi berkata bahwa kata ganti dalam lafal 'alaika adalah Nabi Muhammad saw., dan az-Zujjaj memilih pendapat ini. Allah SWT berfirman,
"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al- Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing." (al-A'raaf: 175-176) 
Dalam ayat ini Allah SWT memberitahukan bahwa Dia telah memberikan ayat-ayatnya kepada orang tersebut, lalu dia meniggalkan ayat itu dan lebih memilih kesesatan serta kekafiran. Kisah di dalam ayat ini cukup terkenal, sampai-sampai dikatakan bahwa orang tersebut diberikan pengetahuan tentang Nama-Nya yang paling agung. Meskipun demikian, pengetahuannya itu tidak bermanfaat baginya, dan dia itu adalah orang yang sesat. Seandainya ilmu dan pengetahuan selalu disertai dengan hidayah, tentu orang tersebut akan pendapatkan petunjuk. Allah SWT berfirman,
"Dan juga kaum 'Ad dan Tsamud; sesungguhnya telah nyata bag! kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam." (al-'Ankabuut: 38) 
Ini menunjukkan bahwa ucapan mereka (kaum Ad) dalam firman Allah surah al-Huud ayat 53, "Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu," adalah karena pengingkaran dan pembangkangan mereka, atau ketidakpercayaan mereka terhadap ayat-ayat-Nya. Allah SWT telah menjelaskan bahwa Kaum Tsamud telah kafir walaupun mereka benar-benar mengetahui kebenaran tersebut. Karena itu Allah SWT berfirman,
"Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu." (al-lsraa: 59) 
Artinya, unta tersebut sebagai bukti yang nyata (dapat dilihat). Dan ini seperti firman Allah,
"Dan Kami jadikan tanda siang itu ferang."(al-lsraa": 12) 

Maksudnya, bercahaya. Arti sebenarnya dari lafal mubshirah adalah bahwa ayat itu akan menyebabkan orang yang melihatnya dapat melihat dengan jelas. Maka, ayat tersebut pasti membuat orang yang mehhatnya karena la adalah penjelas. Kata , melihatnya. Seperti dalam firman Allah SWT, artinya dia
"Maka, melihatlah olehnya (Musa) dari kejauhan." (al-Qashash: 11) "(Samiri berkata) Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya." (Thaahaa: 96) 


"Maka, berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika. Dan terangkanlah kepada mereka, (akibat kekafiran mereka), maka kelak mereka akan mengetahuinya." (ash-Shaffaat: 174-175) 
Dikatakan bahwa maknanya adalah terangkanlah kepada mereka tentang hal-hal yang telah ditetapkan atas mereka tentang tawanan, perang, dan azab di akhirat. Maka, mereka akan melihatmu dan apa yang telah ditetapkan bagimu berupa kemenangan, kekuatan, dan balasan baik dari Allah. Maksudnya, ayat ini adalah objek yang dilihat dan didekatkan kepada mereka sehingga seakan-akan berada di depan kedua mata mereka. Intinya, ayat ini mengharuskan mereka melihat dengan hati.

51 HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad dalam musnadnya

Tetapi mereka lebih memilih kesesatan dan kekafiran, padahal mereka mengetahui dan meyakini kebenaran tersebut. Karena itulah, Allah menyebutkan kisah orang-orang tersebut di antara kisah umat-umat lainnya dalam surah wasy-syams wadhu-dhuhaha, karena di dalam surah tersebut Allah menyebutkan terbaginya jiwa manusia kepada jiwa yang suci, bijak, dan mendapat petunjuk, serta jiwa yang jahat, sesat, dan sengsara. Dalam ayat tersebut juga disebutkan dua hal pokok, yaitu ketetapan qadar dan ketetapan syara'. Allah SWT berfirman,
"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (asy-Syams: 8) 
Ini adalah ketetapan qadar dan qadha' Allah. Kemudian Allah berfirman,
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 9-10) 
Ini adalah perintah dan agama-Nya. Allah telah memberikan petunjuk kepada Kaum Tsamud tetapi mereka lebih memilih kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk. Maka, Allah menyebutkan kisah mereka untuk menjelaskan akibat bagi orang yang lebih memilih kejahatan atas ketakwaan, dan kekekjian atas kesucian. Allah lebih mengetahui atas apa yang Dia kehendaki. Kelompok kedua ini mengatakan bahwa cukup sebagai bukti atas pendapat mereka informasi Allah SWT tentang ucapan orang-orang kafir setelah melihat azab dan hari kiamat serta menyaksikan apa yang diberitakan para rasul,
"Kiranya kami dikembalikan ke dunia dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan Kami, serta menjadi orang-orang yang beriman," (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan) tetapi sebenarnya telah nyata kepada mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu sembunyikan. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka." (al-An'aam: 27-28) 
Pengetahuan apa lagi yang lebih jelas dari pengetahuan seseorang yang telah menyaksikan hari kiamat dan segala kejadiannya serta merasakan azab akhirat. Akan tetapi, jika dia dikembalikan ke dunia, dia tetap akan memilih jalan yang sesat dan enggan mengikuti petunjuk, tanpa mengambil manfaat dari apa yang ia lihat dan saksikan. Allah SWT berfirman,
"Kalau Kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka serta Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (al-An'aam: 111) 
Apakah setelah para malaikat turun secara terang-terangan, orang-orang yang telah mati berbicara dan bersaksi akan kebenaran Rasulullah, serta segala sesuatu di dunia dikumpulkan di hadapan mereka dengan menunjukkan kebenaran-Nya maka mereka tetap tidak beriman, tidak tunduk kepada kebenaran, dan tidak membenarkan Rasul? Apabila kita lihat kembali sejarah Rasulullah saw. bersama kaumnya dan orang-orang Yahudi, maka akan kita ketahui bahwa mereka sangat yakin kepada kebenaran beliau dan kebenaran apa yang beliau sampaikan. Akan tetapi, mereka tetap memilih kesesatan dan enggan untuk beriman. Al-Mussawwir bin Makhramah r.a. berkata kepada Abu Jahl, pamannya, 
"Apakah engkau pernah menuduh Muhammad berdusta sebelum dia menyampaikan seruannya?" Abu Jahl berkata, "Semoga Allah melaknatnya. Demi Allah, ketika Muhammad masih belia dia dijuluki al-amiin (terpercaya). Kami sama sekali tidak pernah melihat ia berbohong, dan setelah ia dewasa tentu dia tidak mungkin berbohong atas nama Allah!" Lalu Al-Mussawwir berkata, "Wahai pamanku, kalau begitu mengapa engkau tidak mengikutinya?" Abu Jahl menjawab, "Wahai anak saudaraku, kita memperebutkan kemuliaan dengan Bani Hasyim! Mereka memberikan makan dan minum kepada orang-orang yang membutuhkannya, kita juga melakukannya. Mereka menolong orang lemah, kita juga melakukannya. Ketika kami sama-sama mendapat kemuliaan, mereka berkata, 'Dari kami ada seorang Nabi, kapan kalian bisa menyusul?"'52 
Seperti Umayyah bin Abi ash-Shalth yang dari hari ke hari menunggu kehadiran Nabi Muhammad saw., ia juga tahu tentang kenabian beliau sebelum beliau diangkat sebagai nabi. Namun, setelah Abu Sufyan memberitahunya dan dia meyakini kebenarannya dia berkata,
 "Saya sama sekali tidak beriman dengan seorang nabi selain dari bani Tsaqif." Kisahnya bersama Abu Sufyan ini perjalanan cukup terkenal. Heraklius juga yang meyakini dan tidak meragukan bahwa Muhammad adalah seorang rasul Allah. Tapi dia lebih memilih kesesatan dan kekafiran demi mempertahankan kekuasaannya.53 Tatkala orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sembilan tanda-tanda yang nyata, beliau menjelaskannya kepada mereka lalu mereka mencium tangan beliau dan berkata, "Kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang Nabi." Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada mereka, "Lalu apa yang menghalangi kalian untuk mengikutiku?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya Daud a.s. berdoa supaya senantiasa ada nabi dari keturunannya. Kami khawatir jika kami mengikutimu, maka orang-orang Yahudi itu akan membunuh kami."54 
52 Kisah ini tidak benar, karena al-Musawwir bin Makhramah r.a. lahir di Mekkah dua tahun setelah hijrah Nabi saw., dan dia tidak bertemu dengan Abu Jahl. Abu Jahl sendiri terbunuh dalam perang Badar yang terjadi pada tahun dua Hijriyah, jadi tidak mungkin al-Musawwir berjumpa dan berbicara dengannya. 
53 Kisah Heraklius diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya (1/31). 
54 Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (5/2733), ia berkata ini adalah hadits hasan shahih, juga diriwayatkan 
IbnuMajah (2/3705) dengan isnad lemah (dha'if). 

Orang-orang Yahudi tersebut telah meyakini kebenaran kenabian dan mereka menyatakan hal itu, tetapi mereka tetap memilih kekafiran dan kesesatan. Mereka tidak menjadi orang-orang muslim dengan kesaksian tersebut. Ada yang berpendapat bahwa orang kafir tidak menjadi muslim jika ia hanya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah tanpa bersaksi akan keesaan Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa dengan kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah maka, dia telah menjadi muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa apabila kekafirannya karena mendustakan Rasul seperti orang Yahudi, maka dengan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah dia menjadi muslim. Apabila kekafirannya karena kemusyrikan seperti orang-orang Nashrani dan orang-orang musyrik, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan bersaksi akan ketauhidan Allah. Ketiga pendapat ini ada dalam mazhab imam Ahmad bin Hambal dan yang lainnya. Berdasarkan hal ini, maka orang-orang Yahudi yang menyatakan kerasulanNabi Muhammad saw. tidak diakui sebagai muslim. Karena sekedar pengakuan akan kebenaran risalah beliau tidak otomatis membuat seseorang menjadi muslim kecuali dengan mentaati dan mengikuti beliau. Sehingga seseorang yang berkata, 
"Saya tahu bahwa dia adalah seorang nabi, tapi saya tidak mengikutinya dan tidak ikut agamanya," maka dia adalah orang yang paling kafir, sebagaimana nasib orang-orang yang telah disebutkan di atas. Dan merupakan kesepakatan para sahabat, tabi'in dan golongan ahli sunnah bahwa iman tidak cukup hanya dengan ucapan dan tidak pula hanya dengan pengetahuan hati. Akan tetapi, keimanan harus disertai dengan perbuatan hati, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta patuh kepada agama-Nya dan taat mengikuti
Rasul-Nya. Ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa keimanan adalah cukup dengan pengetahuan dan pengakuan hati55. Dan pembahasan terdahulu cukup untuk membatalkan pendapat ini. Orang yang berpendapat bahwa keimanan cukup sekedar meyakini kebenaran Rasulullah dengan segala apa yang beliau bawa, meskipun tidak mengikutinya bahkan memusuhi dan memeranginya, maka itu mau tidak mau membawa kepada kesimpulan bahwa mereka itu adalah orang-orang mukmin. Suatu kesimpulan yang menjadi konsekwensi pendapat ini. Karena itu, orang-orang yang berpendapat demikian terpaksa menjawab bantahan-bantahan atas mereka dengan jawaban yang memalukan bagi orang berakal untuk menyebutkannya. Seperti pendapat sebagian mereka bahwa sebenarnya kata-kata iblis kepada Allah hanya main-main dan dia tidak mengakui adanya Allah. Iblis juga tidak mengakui bahwa Allah adalah Tuhan dan Penciptanya, karena iblis tidak pernah tahu tentang hal itu.56 Demikian juga Fir'aun dan kaumnya, mereka tidak mengetahui akan kebenaran Nabi Musa a.s. dan tidak meyakini adanya Pencipta.

55 Ini adalah pendapat golongan al-Jahmiyah dalam masalah iman. 
56 Ini adalah jawaban golongan Jahmiyah ketika dikatakan kepada mereka bahwa Iblis mengetahui Tuhannya dan dia bersumpah atas nama keagungan Tuhan dan dia meminta kepada Tuhannya supaya umurnya dipanjangkan-
Pendapat ini tentu merupakan kesalahan yang sangat memalukan. Kami berlindung kepada Allah agar tidak terjatuh dalam kesalahan seperti ini dan tidak membelanya serta tidak mengikutinya. Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa kekafiran ada beberapa jenis.
Pertama, kekafiran yang disebabkan oleh ketidaktahuan, kesesatan, dan karena mengikuti orang-orang terdahulu. Ini terjadi pada sebagian besar pengikut dan orang awam.57 

57 Sebagaimana yang diceritakan Allah tentang orang-orang musyrik yang berkata kepada Rasulullah saw., "Apakah engkau datang untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapatkan pada bapak-bapak kami," dan firman-Nya, "Tapi kami mengikuti apa yang kami dapatkan dari bapak-bapak kami." 

Kedua, kekafiran karena membangkang, menentang, dan menyalahi kebenaran, seperti kekafiran yang telah disebutkan sebelumnya. Kekafiran semacam ini sering terjadi pada mereka yang memiliki kedudukan dalam keilmuan, jabatan kekuasaan atau mereka yang sumber kehidupannya tergantung pada kaumnya yang kafir. Sehingga, mereka takut kehilangan jabatan mereka dan dengan sengaja mengutamakan kekafiran atas keimanan.
Ketiga, kekufuran karena berpaling dari apa yang dibawa Rasul, enggan melihatnya, tidak mencintai dan tidak membantu beliau. Tetapi ia juga tidak membenci dan tidak memusuhi beliau. Dia hanya berpaling untuk mengikuti dan memusuhinya. Sebagian besar ahli kalam mengingkari dan tidak mengakui jenis kedua dan ketiga dari kekafiran ini. Mereka hanya menerima jenis pertama, dan menurut mereka jenis kedua dan ketiga termasuk dalam makna jenis pertama, bukan jenis kekafiran tersendiri. Jadi menurut ahli kalam, tidak ada kekafiran kecuali karena kebodohan dan ketidaktahuan. Jika kita merenungkan Al-Qur'an, as-Sunnah, dan sejarah para nabi dalam aktivitas dakwah mereka serta apa yang terjadi pada diri mereka, maka kita dapat memastikan kesalahan pendapat para ahli ilmu kalam. Kita akan mengetahui bahwa pada umumnya umat-umat terdahulu kafir terhadap seruan para rasul, walaupun mereka yakin dan sangat mengetahui akan kebenaran seruan dan risalah yang dibawa para rasul. Al-Qur'an penuh dengan keterangan tentang orang-orang musyrik dan para penyembah berhala, bahwa mereka mengakui akan adanya Allah dan hanya Dia Tuhan serta Pencipta mereka. Mereka juga mengakui Dialah pemilik bumi dan seisinya, Pemilik langit, Tuhan 'Arsy yang agung, Sang Penolong, Yang menundukkan matahari dan bulan, Yang menurunkan hujan dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sampai hari kiamat. Jawaban mereka atas itu adalah bahwa iblis mengolok-olokkan Allah SWT saat dia mengucapkan perkataan ini dan dia tidak pernah mengenal Tuhan! Mereka mengucapkan kata-kata kosong ini karena apabila mereka mengakui pengetahuan iblis akan Allah, maka mereka terpaksa menerima dengan ucapan mereka itu bahwa iblis beriman. Karena itulah mereka menjawab dengan ucapan serampangan seperti ini yang membuat bayi dalam kandungan tertawa. Al-Qur'an serukan kepada mereka berdasarkan pengakuan mereka atas kebenaran terhadap apa yang diserukan para rasul. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa umat terdahulu tidak mengakui sama sekali bahwa mereka memiliki Tuhan dan Pencipta. Ini merupakan kebohongan besar. Kekafiran itu sendiri terjadi karena kebodohan. Namun kekafiran yang lebih besar lagi adalah karena pengingkaran terhadap kebenaran dan anggapan bahwa hal itu bukan suatu kekafiran. Menurut kelompok kedua ini, hati mempunyai dua kewajiban, dan ia tidak beriman kecuali dengan memenuhi dua hal tersebut. Yaitu, kewajiban mengetahuhi dan kewajiban mencintai, tunduk, dan berserah diri. Jadi seseorang tidak beriman kecuali dengan mengetahui dan meyakini, sebagaimana ia juga tidak beriman jika tidak mencintai, tunduk dan berserah diri. Apabila dia tidak mencintai, tidak tunduk, dan tidak berserah diri padahal ia mengetahui-Nya, maka kekafirannya lebih besar dari orang yang kafir karena ketidaktahuan. Hal ini disebabkan apabila seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, maka kemungkinan besar ia akan patuh dan taat. Sedangkan orang yang tahu namun ia menentang, maka tidak ada obat baginya. Allah SWT berfirman, 
"Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim." (AM 'Imran: 86) 
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak akan terwujud kecuali dengan mengetahui Allah dan Rasul-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa kecintaan itu dilatarbelakangi oleh pengetahuan tersebut, karena tidak semua orang yang mengenal Rasulullah mencintainya, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Menurut mereka, kebencian seseorang yang merasa iri terhadap orang lain membuatnya memusuhi orang lain tersebut dan selalu berusaha untuk menyakitinya dengan cara apa pun, meskipun dia mengetahui keutamaan orang tersebut dan tahu bahwa tidak ada yang membuatnya memusuhinya kecuali kebaikan dan kelebihan orang itu. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa hasad (iri) adalah musuh kebaikan dan akhlak mulia. Jadi bukannya ketidaktahuan akan keutamaan dan kelebihan orang dibenci yang membuat seseorang tidak suka kepadanya. Tetapi, yang membuatnya bersikap demikian adalah tidak tercapainya ambisi dan keinginannya.
Hal ini sebagaimana yang dialami para rasul dan para pewarisnya dengan para penguasa yang merasa bahwa kekuasaan mereka terampas dan diambil alih. Mereka memusuhi para rasul dan menghalangi orang-orang untuk mengikutinya karena mengira bahwa kekuasaan mereka itu akan kekal dan tidak akan berpindah kepada orang lain. Akan tetapi, sunnatullah tetap berlaku bagi mereka. Mereka akan kehilangan kekuasaan di dunia dan di akhirat, dan Allah akan merendahkan mereka di mata manusia sebagai imbalan bagi mereka. Allah berfirman,
"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya." (Fushshilat: 46) 
Demikianlah argumentasi dan dalil-dalil kedua kelompok di atas. Maka, marilah kita mengambil posisi sebagai hakim atas kedua pendapat di atas. Marilah kita gunakan ilmu dan keadilan untuk memutuskan perbedaan di atas. Kita lihat bahwa masing-masing kelompok telah memaparkan argumentasi- argumentasi yang tidak kontradiktif dan tidak saling menafikan. Mereka telah mendatangkan bukti-bukti yang tidak tertolak dan tidak terbantahkan. Apakah Anda memiliki sesuatu selain argumentasi di atas yang dapat menyelesaikan masalah ini dan dapat mengungkap kebenaran yang dapat memuaskan kedua kelompok tersebut serta dapat menghilangkan perselisihan? Jika tidak, maka biarkanlah perselisihan itu dan tenangkanlah diri Anda,
"Serahkanlah cinta itu kepada orang yang dikenal dengannya mereka telah memperjuangkannya hingga yang paling sulit pun menjadi mudah." 
Barangsiapa mengetahui kadar dirinya dan mengenal keutamaan orang yang memiliki kelebihan, maka dia telah mengetuk pintu taufik. Allah adalah Maha memberi pertolongan dan Maha mengetahui. Maka, dengan pertolongan Allah saya katakan bahwa "Kedua kelompok di atas tidak keluar dari tuntunan ilmu dan tidak melenceng dari jalur yang benar" Perbedaan keduanya disebabkan keduanya tidak menuju titik yang sama. Maka, dengan memakai lafal-lafal secara global yang disertai dengan penjelasan rinci terhadap makna-maknanya, akan menghilangkan perbedaan tersebut dan menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan diantara kedua pendapat itu. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. Sesuatu yang mempunyai konsekwensi itu ada dua. Pertama: yang selalu diikuti oleh konsekwensinya, seperti sebab yang selalu diikuti akibatnya. Kedua: yang tidak diikuti oleh konsekwensinya, baik karena ketidaksempurnaan sesuatu tersebut atau karena tidak adanya syarat terwujudnya konsekwensi dan adanya penghalang. Apabila yang dimaksud dengan 'semua ilmu berkonsekwensi pada terwujudnya petunjuk' adalah yang pertama yaitu yang secara langsung diikuti oleh konsekwensinya bahkan mengharuskan terwujudnya petunjuk, maka yang benar adalah  pendapat kelompok kedua. Yaitu, adanya pengetahuan (ilmu) tidak mengharuskan terwujudnya petunjuk. Sedangkan jika yang dimaksudkan dengan 'adanya ilmu mewajibkan adanya petunjuk' adalah hal itu membuat seseorang bisa mendapatkan petunjuk, namun terkadang hal itu tidak terwujud karena ada syarat yang terlewatkan atau karena ada halangan, maka yang benar adalah pendapat kelompok pertama. Penjelasannya adalah bahwa pengetahuan tentang sesuatu yang menjadi sebab kemashlahatan dan kebahagiaan seorang hamba, terkadang tidak membuat seseorang langsung mengamalkannya karena berbagai sebab.
Pertama, kelemahan pengetahuannya tentang hal itu.
Kedua, karena ketidaklayakannya. Bisa jadi ilmu seseorang sempurna, tetapi untuk pelaksanaannya mensyaratkan kebersihan hati dan hati itu bisa dibersihkan. Apabila hati yang merupakan tempat ilmu tidak bersih dan tidak bisa dibersihkan, maka ia seperti tanah keras yang tidak dapat menyerap air, di mana tanaman tidak bisa tumbuh di atasnya. Jika hati keras membatu, maka ia tidak bisa dibersihkan dan tidak terpengaruh oleh nasehat. Segala ilmu yang diketahuinya tidak akan bermanfaat, sebagaimana tanah keras yang ditimpa hujan dan ditaburi dengan segala jenis biji-bijian. Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu tidaklah akan beriman meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan hingga mereka menyaksikan azab yang pedih." (Yunus: 96-97) 
"Kalau Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) beriman, kecuali jika Allah menghendaki." (al- An'am: 111) 
"Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.'" (Yunus: 101) 
Ini apa yang banyak diterangkan dalam Al-Qur'an. Apabila hati keras, kasar, dan kerdil, maka baginya ilmu tidak akan berguna sama sekali. Demikian pula jika hati itu sakit, hina, lemah, tidak kokoh, dan tidak mempunyai tekad kuat, maka ilmu tidak akan berpengaruh baginya. 
Sebab ketiga, adanya penghalang. Penghalang ini bisa berbentuk kedengkian atau kesombongan. Itulah yang menghalangi iblis untuk tunduk kepada perintah Allah SWT. Itu adalah penyakit manusia dari dulu hingga sekarang, kecuali mereka yang dilindungi Allah. Dengan sebab ini pula orang-orang Yahudi serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka tidak beriman, padahal mereka mengetahui Rasulullah saw. dan meyakini kenabian beliau. Inilah yang menghalangi Abdullah bin Ubai, Abu Jahal, dan seluruh orang-orang musyrik untuk beriman. Mereka tidak meragukan kebenaran Nabi saw. dan apa yang beliau sampaikan, tapi kedengkian dan kesombongan
membuat mereka memilih untuk tetap kafir. Itulah yang menyebabkan Umayyah dan orang-orang semisalnya yang mengetahui tentang kenabian Muhammad saw. tidak beriman. 
Sebab keempat, karena kekuasaan. Meskipun pemiliknya tidak dengki dan takabur untuk tunduk kepada kebenaran, tapi dengan kekuasaan dan kepemimpinan nya ia tidak bisa tunduk. Maka, dia pun memilih untuk mengamankan kekuasaannya, seperti keadaan Heraklius dan raja-raja kafir lainnya yang mengetahui kenabian Muhammad, mengetahui kebenaran dan mengakuinya dalam batin, juga tertarik untuk masuk ke dalam agamanya. Tetapi mereka khawatir kehilangan kekuasaan. Ini adalah penyakit para memilik kekuasaan dan kepemimpinan. Sedikit sekali yang selamat dari penyakit ini, kecuali orang-orang yang dilindungi Allah. Ini adalah penyakit Fir'aun dan kaumnya. Allah berfirman,
"Dan mereka berkata, 'Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israel) menghambakan diri kepada kita?" (al-Mukminuun: 47) 
Mereka menolak beriman, mengikuti, dan tunduk kepada Nabi Musa dan Harun, karena Bani Israil adalah budak-budak bagi mereka. Karena itu, dikisahkan bahwa tarkala Fir'aun ingin mengikuti Musa, dia meminta pendapat Haman, perdana menterinya. Lalu Haman berkata kepadanya, "Engkau adalah tuhan yang disembah, lalu bagaimana engkau menjadi hamba yang menyembah selain kamu." Kemudian Fir'aun memilih kekuasaan dan ketuhanan yang semu bagi dirinya.
Sebab kelima, hawa nafsu dan harta. Ini yang menghalangi banyak ahli kitab untuk beriman, karena mereka takut harta dan makanan yang mereka peroleh dari kaum mereka akan terhenti. Orang-orang kafir Quraisy dulu menghalangi orang-orang untuk beriman melalui apa yang disenangi nafsu orang-orang tersebut. Mereka mengatakan kepada orang yang suka berzina dan minum khamar, "Sesungguhnya
Muhammad mengharamkan zina dan khamar." Dengan ucapan seperti itulah mereka menghalangi al-A'syaa sang penyair, untuk masuk Islam. Saya telah berdialog dengan banyak ahli kitab tentang Islam dan kebenarannya. Ucapan terakhir yang dikatakan salah seorang dari mereka kepadaku adalah, 
"Saya tidak akan meninggalkan khamar (segala yang memabukkan) dan saya tetap meminumnya dengan aman. Apabila saya masuk Islam, kalian akan menghalangi saya untuk meminumnya, dan kalian akan mencambuk saya karena meminumnya." Sedangkan yang lain, setelah mengerti apa yang saya katakan, ia berkata, "Saya mempunyai banyak keluarga yang kaya. Dan apabila saya masuk Islam, maka saya tidak akan mendapatkan apa-apa dari harta mereka padahal saya berharap dapat mewarisinya." Tidak disangsikan bahwa hal ini ada dalam diri banyak orang kafir. Maka, faktor syahwat dan materi lebih kuat pada diri mereka, sedangkan keinginan untuk beriman menjadi lemah. Sehingga mereka lebih memilih syahwat dan materi, dan mereka berkata, "Aku tidak akan menyimpang dari apa yang dilakukan nenek moyangku sebelum aku."
Sebab keenam, kecintaan kepada keluarga, sanak keluarga, dan orang-orang dekat. Orang yang tidak mau beriman karena terhalangi hal-hal ini melihat bahwa apabila dia mengikuti kebenaran dan berbeda dengan orang-orang dekatnya, maka mereka akan menjauhinya, mengusir, dan mengeluarkannya dari kelompok mereka. Sebab, ini banyak terjadi pada orang-orang yang tetap dengan kekafiran dan berada di antara kaum, keluarga, dan sanak keluarga mereka.
Sebab ketujuh, kecintaan kepada tempat tinggal dan tanah air, meskipun di sana dia tidak memiliki sanak keluarga dan orang-orang dekat. Tetapi, dia melihat bahwa jika ia mengikuti Rasulullah, maka mereka akan mengeluarkannya dari tempat tinggal dan tanah airnya menuju ke tempat terasing dan jauh. Karena itu, dia mengutamakan tanah airnya.
Sebab kedelapan, anggapan bahwa dalam Islam dan mengikuti Rasulullah berarti meremehkan dan menghina bapak serta nenek moyang. Inilah yang menghalangi Abu Thalib dan semisalnya untuk masuk Islam. Mereka merasa tidak kuasa menyalahi nenek moyang mereka dan merasa berat untuk sesuatu yang berlainan dengan apa yang telah dipilih nenek moyang mereka. Mereka memiliki pandangan bahwa apabila mereka masuk Islam, berarti mereka menggagalkan impian, menyesatkan akal, dan menimpahkan kepada mereka kejahatan terburuk, yaitu kekafiran dan kemusyrikan. Karena itu, musuh-musuh Allah berkata kepada Abu Thalib di saat kematiannya, "Apakah engkau tidak menginginkan agama Abdul Muththalib." Masalah terakhir yang dikatakan oleh musuh-musuh Allah kepada Abu Thalib, paman Nabi, adalah masalah agama Abdul Muthalib, kakek Nabi. Mereka menghalanginya dengan jalan ini, sebab mereka tahu bahwa dia sangat mengagungkan Abdul Muthalib, bapaknya. Abu Thalib menjadi terhormat serta dimuliakan adalah karena Abdul Muthalib, sehingga dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang merendahkan dan mencela Abdul Muththalib. Karena itu dia berkata, "Seandainya bukan karena takut cemoohan kepada Abdul Muthalib, sungguh aku akan menggembirakanmu." Syair-syair yang diucapkan Abu Thalib menunjukkan bahwa dia telah mengetahui dan membuktikan kenabian dan kebenaran Muhammad saw., "Sungguh aku telah mengetahui bahwa agama Muhammad adalah agama yang paling baik; Seandainya bukan karena kecaman dan kekhawatiran akan cemoohan, maka engkau akan mendapati saya sangat toleran dengannya."
Dan dalam syair-syairnya yang diakhiri dengan huruf lam, "Demi Allah, apabila bukan karena cemoohan, yang akan ditujukan kepada orang-orang tua kami di keramaian, niscaya kami mengikutinya (Muhammad) dalam semua keadaan, sejak dini secara sungguh-sungguh bukannya main-main sungguh mereka mengetahui bahwa anak kami bukan pendusta, dan dia tidak pernah berkata batil."
Cemoohan yang mereka sangka akan ditujukan kepada nenek moyang mereka adalah tuduhan bahwa mereka, sebagai penerus, telah keluar dari agama nenekmoyang dan menghina keyakinan mereka. Inilah yang menghalanginya untuk masuk Islam setelah dia meyakini kebenarannya. 
Sebab kesembilan, karena ikutnya orang-orang yang dimusuhi kepada seruan Rasulullah dan karena orang-orang tersebut mendahului mereka masuk ke dalam agama Islam. Maka, kedekatan orang-orang yang dimusuhi tersebut kepada Rasulullah saw. menghalangi banyak orang mengikuti petunjuk. Seperti seseorang yang memiliki musuh lama dan dia sangat membenci semua yang dilakukan musuhnya tersebut, hingga tanah yang telah diinjak oleh musuhnya itu tidak akan dia lewati. Dia selalu berniat menentang dan menyalahinya. Sehingga ketika dia melihat musuhnya mengikuti kebenaran, maka kebenciannya itu menggiring dia untuk menentang dan memusuhi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya, meskipun tidak ada permusuhan antara dia dengan mereka. Ini sebagaimana terjadi pada orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Anshar. 
Sebelum kedatangan Nabi, mereka saling bermusuhan. Orang-orang Yahudi pernah mengancam orang-orang Anshar dengan kadatangan Nabi saw., dan mereka akan mengikutinya dan memerangi orang-orang Anshar bersama dengan beliau. Ketika Nabi saw. datang dan orang-orang Anshar mendahului mereka dalam memenuhi seruan Nabi saw. dan memeluk Islam, maka permusuhan lama itu menggiring mereka untuk tetap dalam kekafiran dan keyahudiannya.
Sebab kesepuluh, adat, kebiasaan, dan faktor lingkungan. Adat biasanya menjadi kuat hingga mengalahkan hukum alam. Karena itu, dikatakan bahwa adat adalah tabiat kedua. Seseorang yang sejak kecil terdidik dengan sebuah keyakinan, maka dia akan tumbuh dengan keyakinan tersebut. Keyakinan tersebut akan menyatu dalam hati dan jiwanya, sebagaimana daging dan tulangnya yang tumbuh dengan makanan yang selalu dia makan, sehingga dia tidak berpikir kecuali atas dasar keyakinan tersebut. Ketika pengetahuan akan kebenaran datang secara tiba-tiba dan ingin menghilangkan keyakinan itu dari hatinya serta menggantikan posisinya, maka keyakinan tersebut sulit dihilangkan. Meskipun sebab ini paling lemah, tetapi sebab ini paling banyak terjadi pada bangsa-bangsa dunia dan orang-orang yang memiliki keyakinan tertentu. Bahkan ini bukan hanya kebanyakan, tapi semua orang kecuali yang melenceng dari suatu kebiasaan. Agama yang berupa kebiasaan merupakan agama sebagian besar manusia. Perpindahan dari agama itu ke agama lain seperti perpindahan dari suatu alam ke alam lain. Shalawat dan salam kepada para nabi dan rasul Allah, khususnya penutup para nabi dan nabi termulia, Muhammad saw. Mereka telah mampu mengubah kebiasaan- kebiasaan umat mereka yang batil dan memindahkan mereka kepada keimanan, hingga dengan itu mereka telah membentuk tabiat kedua bagi umat-umat tersebut. Tidak ada yang mengetahui beratnya hal ini kecuali orang yang pernah memindahkan seseorang dari agama dan pendapatnya yang pertama kepada kebenaran. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik kepada para nabi yang tidak diberikan kepada seseorang pun di alam ini. Jika telah diketahui bahwa sesuatu yang mempunyai konsekwensi itu ada dua, maka petunjuk saja tidak mesti membawa seseorang mendapatkan petunjuk. Sedangkan, petunjuk yang sempurna pasti membuat hamba mendapatkan petunjuk. Adapun yang pertama adalah petunjuk penjelasan, pembuktian, dan pengajaran. Oleh karena itu ada yang mengatakan, "Orang itu memberi petunjuk sebagaimana dia mendapat petunjuk." Adapun yang kedua adalah petunjuk penjelasan dan pembuktian yang disertai dengan pemberian taufik dan penciptaan kehendak. Ini adalah petunjuk yang membuat seseorang pasti mendapatkan petunjuk. Maka ketika ada sebab dan tidak ada penghalang, ketetapan pasti terwujud. Di sini ada sebuah hal penting yang dapat menyelesaikan perbedaan pendapat di atas, yaitu apakah dengan adanya penghalang dan ketidakadaan syarat membuat sesuatu itu lemah dan tidak bisa memunculkan konsekwensinya? Ataukah konsekwensi itu tetap ada pada kondisinya, tetapi karena penghalangnya lebih kuat sehingga yang muncul adalah pengaruh dari penghalang tersebut? Contohnya ada dalam masalah kita, yaitu apakah semua atau beberapa penghalang tersebut melemahkan ilmu sehingga tidak lagi berpengaruh dengan sendirinya? Ataukah ilmu itu tetap pada keadaannya, tetapi karena penghalangnya kuat sehingga ketetapan yang muncul adalah dari penghalang tersebut. Ini adalah rahasia dari permasalahan ini. Adapun yang pertama, yaitu bahwa ilmu itu melemah dan tidak berpengaruh karena adanya penghalang, maka hal ini tidak diragukan lagi. Akan tetapi bagaimana dengan yang kedua, yaitu ilmu itu tetap pada keadaannya? Sebagai jawabannya bahwa penghalang-penghalang itu menutupi ilmu tersebut dan boleh jadi ia memutarbalikkan hakikatnya dari hati. Al-Qur'an telah menunjukkan hal ini, seperti dalam firman Allah,
''Dan ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya, 'Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?' Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum fasik." (ash-Shaff: 5) 
Karena itu, Allah menghukum mereka dengan memalingkan hati mereka dari kebenaran, sebagaimana mereka berpaling darinya sejak semula. Dan, dalam makna yang sama Allah berfirman,
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (al- An'aam.nO) 
Karena itu, dikatakan bahwa barangsiapa ditunjukkan kebenaran kepadanya, lalu dia menolaknya, maka dia akan diazab dengan kerusakan hati, akal, dan pikirannya. Sehingga, wajar jika ada yang mengatakan bahwa pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak perlu diambil pendapatnya. Pasalnya hawa nafsunya menyebabkan dia menolak kebenaran, karena Allah telah merusak pandangan dan akalnya. Allah SWT berfirman,
"Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar dan mengatakan/Hati kami tertutup.'" (an-Nisa': 155) 
Allah SWT memberitahukan bahwa kekafiran mereka terhadap kebenaran setelah mereka mengetahuinya adalah yang membuat Allah menutup hati mereka. Allah SWT berfirman,
"Bahkan Allah sebenarnya telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya."(an-Nisaav: 155) 

tempat anak panah. 
Keempat, susunan kata dalam surah an-Nisaa' ayat 155 tidak sejalan dengan makna yang mereka sebutkan, juga tidak dapat dipertemukan dengan makna firman Allah, 
"Bahkan Allah sebenarnya telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya." 
Akan tetapi, makna yang sejalan dengan ayat ini adalah dicabutnya ilmu dan hikmah dri orang-orang kafir, sebagaimana dikatakan kepada mereka saat mereka mengakui hal itu,
"Kalian tidak diberikan sebagian dari ilmu kecuali sedikit." (al-lsraav: 85) 
Adapun dalam surah an-Nisaa' ayat 155 di atas, tatkala mereka mengakui bahwa hati mereka dalam wadah dan penutup sehingga tidak memahami perkataan Nabi saw., maka diikuti dengan memberitahu mereka bahwa kekafiran, pembatalan perjanjian, dan pembunuhan nabi-nabi yang mereka lakukan merupakan sebab dikuncinya hati mereka. Dan sudah pasti apabila hati dikunci, maka gambaran tentang ilmu tidak lagi nampak dan jadi hancur. Bahkan, mungkin saja pengaruh dari ilmu itu hilang sehingga menjadi sebab kesesatan mereka, padahal biasanya ilmu itu menjadi sebab orang-orang untuk mendapatkan petunjuk. Ini sebagaimana diterangkan dalam firman Allah,
"Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu pula banya orang yang diberinya petunjuk. Tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang melanggar petunjuk Allah sesudah perjanjian itu teguh   dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan  membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi." (al-Baqarah: 26-27) 
Allah SWT memberitahukan bahwa Al-Qur'an menjadi sebab kesesatan segolongan manusia, padahal Al-Qur'an adalah petunjuk-Nya bagi para rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya. Karena itulah, Allah SWT memberitakan bahwa Al-Qur'an hanya menjadi petunjuk bagi orang yang mengikuti ridha-Nya. Allah SWT berfirman,
"Dan apabila diturunkan suatu surah, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, 'Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini?' Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun oran( orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surah itu, bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya yang telah ada di mereka mati dalam keadaan kafir." (at-Taubah: 124-125) 
Tidak ada yang lebih buruk bagi tempat ilmu (hati) daripada perubahannya dari sesuatu yang biasanya membuat orang-orang mendapatkan petunjuk menjadi sebab sesatnya mereka. Apabila kondisi hati sudah demikian, maka penamaannya sebagai tempat ilmu adalah seperti mulut yang tidak membedakan antara pahit dan tawarnya air, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair,
"Barangsiapa mulutnya pahit dan sakit, maka air embun pun terasa pahit." 
Jika hati telah rusak, maka kemampuaanya untuk mengetahui juga rusak. Apabila mulut telah rusak, maka kemampuan untuk merasa juga rusak, demikian pula halnya mata. Orang-orang ahli tentang uang berkata, "Barangsiapa khawatir dengan uangnya, maka dia akan lupa akan uangnya itu, sehingga dia tidak tahu mana yang asli dan yang palsu." Beberapa ulama salaf berkata, "Ilmu dijaga dengan mengamalkannya. Jika ilmu itu diamalkan, maka ia akan terpelihara, dan bila tidak, maka ia akan hilang." Dan sebagian ulama salaf juga berkata, "Kami dulu menghafal ilmu dengan mengamalkannya." Jadi sebab terkuat hilangnya ilmu adalah karena tidak diamalkan. Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk diamalkan, ia ibarat seorang pemandu jalan bagi seorang musafir. Jika musafir tersebut tidak berjalan di belakang pemandu jalan itu, maka dia tidak akan mendapat manfaat dari petunjuknya, dan ia seperti orang yang tidak mengetahui apa-apa. Sebab, orang berilmu dan tidak mengamalkan ilmunya seperti orang bodoh yang tidak berilmu sama sekali. Juga seperti orang yang memiliki emas dan perak. Namun, ketika kelaparan dan tidak memiliki pakaian, dia tidak membeli makanan dan pakaian dengan hartanya itu. Sehingga, dia seperti orang fakir yang tidak memiliki apa-apa. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,
"Orang yang tidak membelanjakan hartanya ketika butuh karena takut fakir, maka yang dilakukannya itu adalah kefakiran." 
Orang Arab menamai keburukan dan perbuatan tercela sebagai kebodohan. Hal ini bisa jadi karena itu merupakan buah dari kebodohan sehingga dinamai dengan nama sebabnya. Atau, karena kebodohan diistilahkan untuk hal yang bertentangan dengan ilmu dan amal.
Seorang penyair berkata,
"Ketahuilah, jangan sampai ada orang yang tidak tahu tentang kami karena kami akan lebih tidak tahu orang-orang yang tidak kenal kami." 
Ini seperti ucapan Musa a.s. kepada kaumnya setelah mereka berkata,
"Apakah engkau mempermainkan kami.' Musa berkata, 'Saya berlindung kepada Allah menjadi salah seorang dari orang-orang bodoh.'" (al-Baqarah: 67) 
Maka, penghinaan terhadap orang-orang mukmin Allah jadikan sebagai sebuah kebodohan. Di antaranya juga firman Allah SWT tentang kisah Yusuf,
"Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinganan mereka dan tentulah aku termasuk orang- orang yang bodoh." (Yusuf: 33) 
Juga firman-Nya,
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpaling daripada orang-orang bodoh." (al-A'raaf: 199) 
Maksud ayat ini bukan perintah agar berpaling dari orang yang tidak tahu, sehingga dia membiarkannya dan tidak memberitahunya serta memberikan petunjuk kepadanya. Tetapi, maksudnya adalah agar berpaling dari ketidaktahuan orang yang tidak mau mengetahuinya dan agar tidak menemuinya serta tidak mencelanya. Muqatil bin Sulaiman, Urwah, Dhahak, dan lainnya berkata, "Jagalah dirimu agar tidak bertemu dengan kedunguan mereka." Hal seperti ini banyak terdapat dalam ucapan orang-orang Arab. Di antaranya juga hadits,
"jika salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah dia bersuara keras dan berlaku bodoh."(HR Bukhari dan Muslim) 
Karena itulah, kemaksiatan dinamakan kebodohan. Qatadah berkata, "Para sahabat Nabi sepakat bahwa semua yang melakukan kemaksiatan adalah orangbodoh." Bukan berarti bahwa orang itu tidak mengetahui keharamannya. Karena jika dia tidak tahu, maka dia tidak berdosa sehingga tidak ada hukuman dunia dan akhirat baginya. Akan tetapi, dosa itu sendiri dinamakan kebodohan walaupun pelakunya mengetahui keharamannya. Karena bisa jadi itu terjadi karena kelemahan dan kekurangan pengetahuannya atau karena menempatkan pelakunya sebagai orang yang tidak tahu tentang hal itu.
Kelima, ketika mereka menolak kebenaran dan enggan menerimanya, mereka dihukum dengan. ditutupnya hati mereka, dan dengan dicabutnya akal serta pemahaman mereka, sebagaimana firman Allah, 
"Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati karena itu mereka tidak dapat mengerti." (al-Munaafiquun: 3)  
Keenam, ilmu yang bermanfaat dan membawa kepada keselamatan dan keberuntungan tidak mereka dapatkan, karena pengetahuan tentang hakikat ilmu itu dihilangkan dari mereka. Dan sesuatu terkadang dianggap tidak ada karena hasil dan tujuannya hilang. Allah SWT berfirman tentang penghuni neraka,
"Maka sesungguhnya baginya neraka Jahanam, la tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup." (Thaahaa: 74) 
Kehidupan dinafikan dari mereka karena tidak ada lagi faidah dari kehidupan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa harta yang kita miliki adalah yang kita nafkahkan dan ilmu yang kita miliki adalah yang bermanfaat. Oleh karena itulah Allah SWT menafikan pendengaran, penglihatan, dan akal dari orang-orang kafir karena mereka tidak memanfaatkannya. Allah SWT berfirman,
"Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah." (Al-Ahqaf: 26) 
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia.   Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah." (al-A'raaf: 179).
Ketika mereka tidak mendapatkan petunjuk dengan indera-indera tersebut, maka mereka disamakan dengan orang-orang yang kehilangan indera-indera itu. Allah SWT berfirman,
"Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti." (al- Baqarah: 171) 
Maka, hati disifati dengan melihat, buta, mendengar, berucap, dan bisu. Memang semua ini pangkalnya adalah hati, sedangkan mata, telinga, dan lidah hanya sekedar pengikut bagi hati. Jika semua sifat ini tidak dimiliki hati, maka pemilik hati tersebut buta walaupun matanya terbuka, tuli walaupun tanpa ada cacat di telinga, dan bisu meskipun lidahnya fasih. Allah berfirman,
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." (al-Hajj: 46)
Tidak ada pertentangan antara terwujudnya hujjah di saat adanya pengetahuan dengan tidak terwujudnya hujjah tersebut ketika dikuncinya hati orang-orang yang tidak mengamalkan dan tidak tunduk kepada kebenaran tersebut.Allah SWT berfirman,
"Dan apabila kamu membaca Al-Qur'an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat suatu dinding yang tertutup dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya." (al-lsraa": 45-46) 
Dalam ayat ini Allah SWT memberitahukan bahwa Dia menghalangi mereka untuk memahami firman-Nya yang dengannya mereka memperoleh manfaat. Ini bukannya menghalangi mereka untuk mengetahui sesuatu yang menjadi bukti atas kesalahan mereka. Karena seandainya mereka sama sekali tidak memahaminya, tentu mereka tidak akan berpaling dan menjauh saat diterangkan tentang ketauhidan Allah. Tatkala mereka berpaling pada saat ketauhidan itu disampaikan, maka ini menunjukkan bahwa mereka memahami ucapan itu. Ini juga menunjukkan bahwa yang menutupi hati mereka adalah seperti sesuatu yang menutupi telinga mereka. Karena sudah pasti mereka tidak kehilangan pendengaran secara keseluruhan dan menjadi tuli, tetapi mereka seakan-akan tidak mendengarnya. Karena itulah, Allah terkadang menafikan pendengaran dari mereka dan terkadang menetapkannya. Allah berfirman,
"Kalau Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (al-Anfaal: 23) 
Dimaklumi pula bahwa mereka telah mendengar Al-Qur'an dan Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk memperdengarkannya kepada mereka. Allah SWT berfirman,
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.'" (al-Mulk: 10)
Jadi pendengaran yang dinafikan dari mereka adalah pendengaran yang membawa kepada pemahaman. Seandainya Allah mengetahui (dan Allah Maha Mengetahui...pen) kebaikan dari mereka, maka Allah akan membuat mereka mendengar apa yang bermanfaat bagi mereka, yaitu pemahaman. Jika bukan itu yang dimaksudkan, maka itu tidak mungkin, karena mereka benar-benar telah mendengar, dan ini yang menjadi bukti kesalahan mereka. Akan tetapi, ketika mereka mendengar seruan Nabi saw. itu dengan sikap marah, benci, dan tidak suka, maka mereka tidak memahami dan tidak dapat memikirkannya. Karena apabila seseorang sangat membenci dan tidak suka kepada suatu ucapan, maka dia tidak akan memahami maksudnya dan dia seperti orang yang tidak mendengar. Allah SWT berfirman,
"Mereka tidak mampu mendengar dan tidak mampu melihat." (Hud: 20)
Allah menafikan kemampuan mereka untuk mendengar padahal indera mereka sehat dan baik. Dan yang dimaksud di sini adalah karena kebencian dan keengganan mereka terhadap seruan Nabi saw., maka mereka seperti orang yang tidak dapat mendengar dan melihat. Pemakaian kata seperti ini banyak dikenal oleh orang pada umumnya. Seperti ucapan seseorang, "Saya tidak bisa melihat si Fulan dan saya tidak bisa mendengar ucapannya," yang disebabkan karena kebenciaannya. Sebagian pengikut aliran Jabariah58mengambil ayat ini dan ayat semisalnya sebagai dasar argumen mereka, padahal di dalamnya tidak ada dalil untuk kebenaran pendapat mereka. Hal ini dikarenakan maksud ayat ini bukan peniadaan pendengaran dan penglihatan yang menjadi bukti untuk menyalahkan orang-orang kafir, tetapi yang dimaksud adalah pencabutan pendengaran yang membawa kepada pemahaman sebagai hasilnya. Memang perkiraan makna dari orang-orang Jabariyah terhadap ayat ini dan semisalnya itu benar, tetapi merupakan kewajiban menempatkan Al- Qur'an dan ayat-ayatnya pada posisinya yang tepat, serta mengikuti kebenaran. Dengan demikian, apabila orang-orang kafir tidak memahami penjelasan Nabi saw. maka mereka tidak mempunyai alasan, sebab kesalahan itu berasal dari dirinya. Mereka seperti orang-orang yang menutup telinga saat Nabi saw. menjelaskan kebenaran, sehingga mereka tidak mendengarkannya. Oleh karena itu, mereka tidak akan diampuni. Hal ini seperti perkataan orang-orang kafir,
 "Hati kami berada di dalam tutupan yang menutupi apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding." (Fushshilat: 5) 
Yang dimaksud oleh orang-orang kafir dalam ayat ini adalah bahwa mereka enggan menerima, enggan mendengar apa yang dibawa Nabi Muhammad saw., dan lebih memilih untuk meninggalkannya. Karena penolakan mereka yang sangat keras terhadap apa yang dibawa Nabi tersebut, maka kedudukan mereka sama dengan orang yang tidak berpikir, tidak mendengar, dan tidak melihat apa yang disampaikan kepada mereka. Inilah yang mereka sesalkan ketika mereka berada di dalam neraka,
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.'" (al-Mulk: 10) 
Maka, keengganan mereka untuk mendengar dan memikirkan apa yang disampaikan Rasulullah saw. adalah perbuatan dosa. Allah SWT berfirman, 
"Mereka mengakui dosa mereka. Maka, kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (al-Mulk: 11) 
 58 Jabariyyah adalah sebuah sekte yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat sendiri. 

Allah SWT terkadang menafikan dari orang-orang kafir pendengaran, akal, dan penglihatan secara keseluruhan, terkadang hanya menafikan pendengaran dan penglihatan, terkadang pula hanya akal dan penglihatan, bahkan terkadang hanya menafikan akal. Ketiga hal ini—akal, pendengaran, dan penglihatan— merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan. Maka, penafian terhadap ketiga hal ini berarti penafian terhadap semua jalan pengetahuan. Penafian sebagiannya juga merupakan penafian terhadap semuanya, karena keterkaitan antara ketiganya sangat erat. Apabila hati rusak, maka rusak pulalah pendengaran dan akal, karena hati merupakan pangkal dari keduanya. Jika pendengaran dan penglihatan rusak, maka hati pun rusak. Karena jika seseorang enggan mendengarkan kebenaran dan tidak sudi melihat orang yang menyampaikannya karena benci, maka kebenaran tersebut tidak akan sampai ke dalam hati, sehingga hati pun ikut rusak. Demikian juga jika pendengaran dan akal rusak, maka akan diikuti dengan kerusakan penglihatan. Jadi masing-masing dari ketiga perangkat pengetahuan ini akan sehat apabila yang lainnya sehat dan akan rusak dengan kerusakan yang lainnya. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur'an ketiga-tiganya dengan jelas sering ditiadakan dari orang-orang kafir. Dengan rincian ini dapat diketahui titik temu antara dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai korelasi antara ilmu dan hidayah di atas. Adapun argumentasi kelompok kedua yang menggunakan firman Allah surah al-Mulk ayat ll,"Orang-orang yang Kami berikan kepada mereka kitab mengenalnya sebagaimana merekamengenai anak-anaknya," dan semisalnya, membutuhkan telaah lebih lanjut. Karena firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 146, "Orang-orangyang Kami berikan kitab kepada mereka," adalah ditujukan kepada Ahli Kitab yang terpuji dan beriman. Dan apabila Allah akan mencela dan memberitakan tentang pembangkangan serta


"Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Alkitab sebelum Al-Qur'an, mereka  beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an) kepada mereka, mereka berkata, 'Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkannya.' Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka." (al-Qashash: 52-54) 
"Maka patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab Al-Qur'an kepadamu dengan terinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka, janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu." (al-An'aam: 114) 

Ini dalam konteks memuji dan memberikan kesaksian kepada mereka, bukan mencela dan memberitahukan pembangkangan serta penentangan mereka, sebagaimana Allah SWT meminta kesaksian mereka dalam firman-Nya,
"Katakanlah, 'Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab." (ar-Ra'd: 43) 
Allah berfirman,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43) 
"Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (al-Baqarah: 121) 
Para ulama berbeda pendapat tentang dhamir (kata ganti ketiga tunggal) dalam dari Al-Kitab yang didatangkan kepada mereka. Seperti Ibnu Mas'ud yang berkata,

"Mereka menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan membacanya sebagaimana diturunkan, serta tidak mendistorsinya sama sekali."
Kelompok ini mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang beriman dari kalanganAhli Kitab.
Ada iuga yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah penjelasan tentang sifat orang-orang muslim, sedangkan dhamir (kata ganti ketiga tunggal) dalam kembali kepada Al-Qur'an. Namun, pendapat ini jauh melenceng, sebab diketahui bahwa Al-Qur'an menentangnya. Dan, apa yang kami sebutkan tidak bertolak belakang dengan firman Allah, 
"Orang-orang yang telah Kami berikan Al-kitab kepada mereka mengenalnya sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya. Dan sesungguhnya satu golongan di antara mereka ada yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui itu." (al-Baqarah: 146) 
Ayat ini juga merupakan bukti akan kebenaran apa yang kami sebutkan. Karena pada awalnya ayat ini menyebutkan bahwa pengetahuan mereka terhadap Rasulullah saw., agama dan kiblat seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka. Dan ini sebagai kesaksian atas orang-orang yang kafir, juga pujian bagi yang beriman dari mereka. Karena itu, para mufasir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman dari Ahli Kitab dalam ayat ini adalah Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya. Pada akhir ayat tersebut Allah menyebutkan celaan terhadap sekelompok dari mereka. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya golongan yang disebut pertama tidak tercela. Walaupun dalam ayat tersebut kata ganti untuk
golongan kedua itu juga kembali kepada golongan pertama, tetapi ketika disebutkan golongan kedua tersebut (kalangan Ahli Kitab yang kafir) masuk dalam kalimat ini secara tersirat, sehingga kalimat ini tidak mencakup mereka secara langsung. Allah SWT berfirman, 
"Apakah kamu sesungguhnya mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah? Katakanlah, 'Aku tidak mengakui.' Katakanlah, 'Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang maha esa dan sesungguhnya aku berlepas din dari apa yang kamu persekutukan dengan Allah.' Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mengenal anak-anaknya sendiri." (al-An'aam: 19-20) 
Ada yang berpendapat bahwa maksud dari apa yang diketahui mereka itu adalah Rasul dan kebenarannya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tauhid. Kedua pendapat ini sangat berhubungan satu sama lain; sebab ayat ini menerangkan tentang kesaksian dan bantahan terhadap orang-orang musyrik, bukantentang celaan terhadap orang-orang yang telah menerima Al-Kitab. Surah ini turun di Mekah dan argumentasi-argumentasi di dalamnya menunjukkan bahwa itu ditujukan kepada orang-orang musyrik. Dan konteks kalimatnya menunjukkan bantahan, bukannya celaan kepada Ahli Kitab. Adapun ayat yang ditujukan kepada Ahli Kitab adalah seperti firman Allah,
"Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil), memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. 
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab semua ayat (keterangan) mereka tidak akan mengikuti kiblatmu." (al-Baqarah: 144-145) 
Ini adalah pernyataan Allah SWT kepada para Ahli Kitab. Sedangkan yang pertama adalah pernyataan Allah SWT kepada para Ahli Kitab bahwa mereka itu orang-orang yang beriman. Allah berfirman, 
"Hai orang-orang telah diberi Alkitab, berimanlah kamu kepada apa yang Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan kitab yang ada pada kamu sebelum Kami merubah muka(mu), lalu Kamiputarkan ke belakang." (an-Nisaax: 47) 
Allah SWT berfirman,

"Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan Alkitab dan kepada orang-orang ummi, 'Apakah kamu (mau) masuk Islam.'" (Ali 'Imran: 20)

Pernyataan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Ahli Kitab yang tidak masuk Islam. Karena jika tidak demikian, tentu Rasulullah saw. tidak diperintahkan untuk mengatakan hal tersebut kepada mereka yang masuk Islam dan membenarkan kerasulan beliau. Oleh karena itu, Allah SWT selalu menyebut orang-orang yang diberi bagian dari Al-kitab dengan celaan, seperti dalam firman-Nya,
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Alkitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan thaghut." (an-Nisa': 51) 
"Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Alkitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar)." (an-Nisa': 44) 
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi kebenaran." (AM 'Imran: 23) 
 Jadi di dalam Al-Qur'an sebutan bagi orang-orang yang menerima Alkitab ada empat.

mereka yang terpuji dan yang tercela, seperti dalam firman Allah,
"Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat- ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada kepada Allah dan hari akhirat." (Ali 'Imran: 113-114) 
"Orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya." (al-Bayyinah: 1) 
Pembahasan ini sangat bermanfaat dalam memahami dasar-dasar agama, yaitu masalah iman dan perbedaan ahli kiblat mengenai iman itu sendiri. Dan di sini saya telah menyebutkan beberapa poin, yang semoga dapat menjelaskan kebenaran dalam masalah tersebut. WallaahuA'lam. 

Keine Kommentare: