Keutamaan dan Kemuliaan llmu Bag.3
"Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat dan tidak apa-apa kalian meriwayatkan dari Bani Israel. Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah mengambil tempatnya di neraka." (HR Btikhari, Tirmidzi, dan Ahmad)Rasulullah saw. juga bersabda,
" Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir." (HR Bukhari dan Muslim)Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakrah, Wabishah bin Ma'bad, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Asma' binti Yazid bin as-Sakan, Hujair, Abu Qurai', Sirriy binti Nabhan, Muawiyah bin Haidah al-Qusyairi, Ummu Abu Hurrah, dan orang lain.
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya agar menyampaikan apa yang berasal dari beliau. Sebab, dengan hal itu, seluruh umat dapat menerima petunjuk dari beliau. Rasulullah saw. mendapatkan pahala berkat orang yang menyampaikan petunjuk tersebut dan mendapatkan pahala dari orang yang menerimanya. Setiap kali petunjuk beliau disampaikan kepada orang lain, maka pahala beliau semakin berlipat ganda sebanyak orang yang menyampaikan petunjuk dan sebanyak orang yang menerima petunjuk tersebut. Ini di luar pahala amal perbuatan yang khusus untuk beliau. Jadi Rasulullah saw. selalu mendapatkan pahala dari setiap orang yang memberi petunjuk dan menerima petunjuk tersebut, karena beliaulah penyeru kepada petunjuk tersebut. Seandainya dalam menyampaikan ilmu seseorang hanya mendapatkan cinta Rasulullah saw., maka hal itu sudah merupakan keutamaan yang tiada tara. Tanda pencinta yang hakiki adalah berusaha memperoleh sesuatu yang dicintai kekasihnya dan berkorban untuk mendapatkanya. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada sesuatu yang dicintai Rasulullah saw. kecuali sampainya petunjuk beliau kepada seluruh umat. Maka, orang yang menyampaikan petunjuk beliau adalah orang yang berusaha mendapatkan cinta beliau. Dengan demikian, orang tersebut menjadi orang yang paling dekat dan paling beliau cintai. Dan, dialah pengganti beliau untuk umat. Maka, ini cukup menunjukkan kemuliaan ilmu dan orang yang memilikinya.
Lima puluh empat. Sesungguhnya Rasulullah saw. mengedepankan kelebihan ilmu dalam jabatan keagamaan. Beliau juga mengedepankan orang yang paling banyak ilmunya atas orang yang berilmu lainnya. Dalam shahihnya, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Badri bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Yang menjadi imam dalam shalat bagi satu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur'annya. Jika dalam bacaan mereka sederajat, maka yang menjadi imam adalah yang paling banyak pengetahuannya tentang sunnah. Dan jika dalam hal ini mereka juga setingkat, maka orang yang paling dahulu masuk Islam atau yang paling tua umurnya." (HR Muslim dan Abu Daud)Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendahulukan orang yang memiliki keutamaan ilmu atas orang yang lebih dulu masuk Islam atau hijrah. Hal ini dikarenakan mengetahui Al-Qur'an itu lebih utama daripada mengetahui sunnah, karena kemuliaan isinya daripada isi as-Sunnah. Maka, pengetahuan tentang Al-Qur'an didahulukan atas sunnah dan pengetahuan akan as-Sunnah didahulukan atas keutamaan hijrah.
Padahal, dalam hijrah terdapat kelebihan pada amal perbuatan dan ini merupakan keistimewaan bagi yang turut hijrah. Akan tetapi, Rasulullah saw. mendahulukan ilmu atas amal dan mendahulukan suatu ilmu atas ilmu yang lain. Ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan ilmu. Orang yang memiliki ilmu adalah orang yang menempati posisi terdepan dalam kedudukan keagamaan.
Lima puluh lima. Sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari, yang diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a., menyebutkan bahwa Nabi saw. bersabda,
"Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR Bukhari dan Abu Daud)Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an mencakup mempelajari dan mengajarkan huruf-huruf dan makna-maknanya. Ini merupakan bagian termulia dalam mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an, karena makna adalah maksud dan lafal adalah wasilah untuk memahami makna. Maka, mempelajari dan mengajarkan makna Al-Qur'an adalah mempelajari dan mengajarkan tujuan. Sedangkan, mempelajari dan mengajarkan lafalnya adalah mempelajari dan mengajarkan wasilah. Jadi antara lafal dan maknanya seperti antara wasilah dan tujuan.
Lima puluh enam. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan para muhaddits lainnya dari Amru bin al-Harits, dari Darraj, dari Abil Haitsam, dari Abi Sa'id al-Khudri menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
mengatakan bahwa ini merupakan aktivitas rutin seorang mukmin hingga ia masuk surga. Karena itulah jika para ulama ditanya, "Sampai kapan Anda menuntut ilmu?" Maka mereka menjawab, "Sampai mati." Nu'aim bin Hammad berkata bahwa Abdullah bin al-Mubarak r.a. diejek orang-
orang sekampungnya karena terlalu banyak mencari hadits, namun ia tetap berkata,
"Saya akan mencari hadits sampai mati." Al-Hasan bin Manshur al-Jashshash berkata kepada Ahmad bin Hambal r.a., "Sampai kapan seseorang menulis hadits?" Dia menjawab, "Sampai mati." Abdullah bin Muhammad al-Baghawi berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Hambal r.a. berkata, "Aku akan menuntut ilmu hingga aku masuk Liang kubur."
Muhammad bin Ismail ash-Shaigh berkata,
"Seorang mukmin tidak akan puas dengan hal balk yang ia dengar, hingga akhirnya ia mendengar tentang surga." (HR Tirmidzi)Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan gharib." Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu orang. Imam Ahmad menyebutkan sebagian atau sebagian besar dari riwayatnya, dan hadits ini memiliki beberapa hadits pendukung. Dalam hadits di atas Nabi saw. menjadikan ketamakan dan ketidakpuasan dalam mencari ilmu sebagai tanda dari keimanan dan sifat-sifat orang mukmin. Nabi
mengatakan bahwa ini merupakan aktivitas rutin seorang mukmin hingga ia masuk surga. Karena itulah jika para ulama ditanya, "Sampai kapan Anda menuntut ilmu?" Maka mereka menjawab, "Sampai mati." Nu'aim bin Hammad berkata bahwa Abdullah bin al-Mubarak r.a. diejek orang-
orang sekampungnya karena terlalu banyak mencari hadits, namun ia tetap berkata,
"Saya akan mencari hadits sampai mati." Al-Hasan bin Manshur al-Jashshash berkata kepada Ahmad bin Hambal r.a., "Sampai kapan seseorang menulis hadits?" Dia menjawab, "Sampai mati." Abdullah bin Muhammad al-Baghawi berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Hambal r.a. berkata, "Aku akan menuntut ilmu hingga aku masuk Liang kubur."
Muhammad bin Ismail ash-Shaigh berkata,
"Saya menempa emas bersama ayahku di Baghdad, lalu Ahmad bin Hambal lewat dan berlari dengan kedua sandal berada di tangan. Lalu ayahku memegang pakaiannya dan berkata, 'Wahai Abu Abdillah, apakah Anda tidak malu, sampai kapan Anda berlari-berlari bersama mereka?' Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Sampai mati.'" Abdullah bin Basyar ath-Thalliqani berkata, "Saya berharap panggilan Allah mendatangiku pada saat tinta berada di hadapanku, dan ilmu serta tinta tidak pernah berpisah denganku." Hamid bin Muhammad bin Yazid al-Bashri berkata bahwa
Bustham al-Hafizh datang kepadanya dan menanyakan sebuah hadits, lalu Hamid bin Muhammad berkata kepadanya,
Bustham al-Hafizh datang kepadanya dan menanyakan sebuah hadits, lalu Hamid bin Muhammad berkata kepadanya,
"Alangkah kerasnya keinginanmu mencari hadits!" Dia menjawab, "Karena aku suka berada dalam rombongan keluarga Rasulullah saw." Beberapa ulama ditanya, "Sebaiknya kapan seseorang belajar?" Mereka menjawab, "Selama hidupnya masih baik." Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang seorang lelaki yang berumur delapan puluh tahun, "Apakah dia masih layak menuntut ilmu?" Dia menjawab, "Ya, jika ia masih layak hidup."
Lima puluh tujuh. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Ibrahim bin al-Fadhl, dari al-Maqburi, dari Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Nabi saw. bersabda,
Hadits ini juga merupakan pendukung bagi hadits sebelumnya, ia juga memiliki beberapa hadits pendukung lainnya. Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, maka ia seperti orang yang kehilangan salah satu barangnya yang sangat berharga. Dan jika ia menemukannya, maka hatinya tenang dan jiwanya pun gembira. Demikianlah keadaan seorang mukmin, jika ia menemukan sesuatu yang diidamkan hati dan ruhnya yang hilang serta selalu ia cari dan ia impikan. Ini merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal ini. Sesungguhnya hati orang mukmin selalu mencari ilmu. Di mana saja dia mendapatkannya dia adalah pencari sesuatu milik yang paling mulia.
"Hikmah merupakan milik orang mukmin yang hilang, maka di mana saja dia menemukannya dialah orang yang paling berhak terhadapnya." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits gharib, saya tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin al-Fadhl al-Madini al-Makhzumi adalah seorang muhaddits yang lemah hafalannya."
Hadits ini juga merupakan pendukung bagi hadits sebelumnya, ia juga memiliki beberapa hadits pendukung lainnya. Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, maka ia seperti orang yang kehilangan salah satu barangnya yang sangat berharga. Dan jika ia menemukannya, maka hatinya tenang dan jiwanya pun gembira. Demikianlah keadaan seorang mukmin, jika ia menemukan sesuatu yang diidamkan hati dan ruhnya yang hilang serta selalu ia cari dan ia impikan. Ini merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal ini. Sesungguhnya hati orang mukmin selalu mencari ilmu. Di mana saja dia mendapatkannya dia adalah pencari sesuatu milik yang paling mulia.
Lima puluh delapan. Imam Tirmidzi berkata bahwa Abu Kuraib mendengar . dari Khalaf bin Ayyub, dari Auf, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda,
Lima puluh sembilan. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muslim bin Hatim al-Anshari, dari ayahnya, dari Ali bin Zaid, dari Sa'id bin al-Musayyab, dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
"Ada dua hal yang tidak terhimpun dalam din seorang munafik; jalan baik dan pemahaman terhadap agama." (HR Tirmidzi)Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan ghariib, dan hanya Khalaf bin Ayub al-Amiri yang meriwayatkan dari Auf. Saya juga hanya menemukan Abu Kuraib Muhammad bin Alav yang meriwayatkan dari Khalaf al-Amiri, saya sendiri tidak tahu mengapa demikian?" Hadits ini merupakan kesaksian bahwa orang yang menghimpun jalan baik dan pemahaman agama, dialah orang mukmin. Walaupun dalam sanad hadits ini terdapat kesamaran, tetapi hadits ini lebih tepat sebagai hadits yang benar. Hal ini dikarenakan sifat yang baik dan pemahaman terhadap agama merupakan salah satu tanda-tanda orang mukmin yang sangat khusus, yang tidak akan Allah kumpulkan dalam diri seorang munafik. Dan, kemunafikan menafikan keduanya; demikian juga dengan keduanya yang menafikan kemunafikan.
Lima puluh sembilan. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muslim bin Hatim al-Anshari, dari ayahnya, dari Ali bin Zaid, dari Sa'id bin al-Musayyab, dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
" Wahai anakku, jika kamu mampu memasuki waktu pagi dan sore serta hatimu tidak mengandung rasa benci kepada seorang pun, maka lakukanlah! Wahai anakku, itu adalah sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka dia mencintaiku. Dan barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di surga." (HR Tirmidzi)Dalam hadits ini ada kisah yang panjang. Imam Tirmidzi berkata,
"Ini adalah hadits hasan gharib dari jalur ini. Muhammad bin al-Anshari adalah orang jujur dan ayahnya dapat dipercaya. Ali bin Zaid adalah orang yang jujur, hanya saja terkadang ia menyandarkan kepada Rasulullah saw. riwayat yang juga diriwayatkan orang lain. Saya mendengar Muhammad bin Basyar berkata bahwa Abu al-Walid berkata, 'Syu'bah bin Hajjaj berkata bahwa dia diberitahu oleh Ali bin Zaid dan Ali bin Zaid adalah orang yang suka menyandarkan riwayat kepada Rasulullah saw.'"Imam Tirmidzi berkata, "Hanya hadits ini yang diketahui sebagai riwayat Sa'id bin al-Musayyab dari Anas bin Malik r.a. Dan Abad al-Manqari telah meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, dari. Anas bin Malik r.a. dan di dalamnya tidak disebutkan bahwa ini dari Sa'id bin al-Musayyab. Saya sudah menyampaikan hadits ini kepada Muhammad bin Ismail namun dia tidak mengetahuinya. Dia juga tidak mengetahui bahwa hadits ini adalah riwayat Sa'id bin al-Musayyab dari Anas, tidak juga yang lain. Anas meninggal pada tahun 93 H dan Sa'id bin al-Musayyab pada tahun 95 H, dua tahun setelah kematian Anas."
Saya berpendapat bahwa hadits ini memiliki beberapa hadits pendukung. Di antaranya hadits yang diriwayatkan ad-Darimi Abdullah dari Muhammad bin Uyainah dari Marwan bin Mu'awiyah al-Fazari, dari Katsir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal bin al-Harits,"Ketahuilah, wahai Bilal!" Maka Bilal berkata, "Apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab,
"Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah dimatikan sesudahku, maka dia memiliki pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat bid'ah sesat yang tidak diridhai Allah dan Rasul- Nya, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang menga-malkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)Hadits ini diriwayatkan Imam Tirmidzi dan ia berkata bahwa ini adalah hadits hasan. Dia juga berkata bahwa Muhammad bin Uyainah adalah orang Syam dan Katsir bin Abdullah adalah anak Amru bin Auf al-Muzani. Di kalangan ahli hadits ada tiga pendapat mengenai riwayat Katsir bin Abdullah; ada yang menshahihkannya dan ada pula yang menghasankannya, keduanya terdapat dalam Sunan Tirmidzi. Ada juga yang menganggapnya lemah dan tidak menjadi hujjah, seperti Imam Ahmad dan Iain-lain. Akan tetapi, asal hadits ini adalah kuat dari berbagai jalur seperti hadits,
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya."(HR Muslim)
"Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebajikan, maka baginyapahala seperti pahala orang melakukannya." (HR Muslim dan Tirmidzi)Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan selainnya. Asal hadits ini adalah mahfuudz dari Nabi saw. Jadi hadits yang lemah jika menjadi pendukung tidaklah berdampak negatif.
Enam puluh. Sesungguhnya Nabi saw. memuji para penuntut ilmu. Hal ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan apa yang mereka cari. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Sufyan bin Waqi', dari Abu Daud al-Hafri, dari Sufyan, dari Abi Harun bahwa dia pernah mendatangi Abu Sa'id, lalu Abu Sa'id berkata,
"Selamat datang kepada orang-orang yang dipuji Rasulullah saw., sesungguhnya beliau pernah bersabda,
"Sesungguhnya orang-orang mengikuti kalian dan sesungguhnya orang-orang mendatangi kalian dari segala penjuru bumi ingin memahami agama. Apabila mereka mendatangi kamu, maka pujilah mereka." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Qutaibah, dari Ruh bin Qais, dari Abu Harun al-Abdi, dari Abi Sa'id al-Khudri bahwa Nabi saw. bersabda,
"Akan datang kepada kalian orang-orang dari Timur untuk belajar. Apabila mereka mendatangi kalian, maka pujilah mereka."Ketika Abu Sa'id al-Khudri melihat kami datang kepadanya, ia berkata,
"Selamat datang wahai orang-orang yang dipuji Rasulullah saw." Imam Tirmidzi berkata,
"Hadits ini tidak kami ketahui kecuali dari riwayat Abu Harun al-Abdi, dari Abu Sa'id al-Khudri." Abu Bakr al-Aththar meriwayatkan dari Ali bin al-Madini, dari Yahya bin Sa'id bahwa ia berkata, "Syu'bah mengatakan bahwa Abu Harun al-Abdi adalah perawi yang lemah." Yahya bin Sa'id berkata, "Ibnu Auf masih terus meriwayatkan dari Abi Harun hingga meninggal dan nama Abu Harun adalah Imarah bin Juwain."Enam puluh satu. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abu Daud, dari Abdullah bin Sanhabirah, dari Sanhabirah, bahwa Nabi saw. bersabda,
"Menuntut ilmu adalah kafarah (penghapus) bagi dosa-dosa yang telah lalu orang yang melakukannya." (HR Tirmidzi)Asal tentang hal ini tidak saya dapatkan kecuali dari hadits ini. Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena Abu Daud adalah Nafi al-A'ma dan dia tidak terpercaya. Akan tetapi, sebelumnya telah disebutkan hadits yang menerangkan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi akan memintakan ampunan bagi orang yang berilmu. Juga telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan Abu Sufyan ats-Tsauri, dari Abdulkarim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, "Sesungguhnya seorang malaikat ditugaskan menjaga orang yang menuntut ilmu, hingga ia kembali dan dosanya telah diampuni." Di antaranya juga adalah sebuah yang diriwayatkan dari Qathr bin Khalifah, dari Abu Thufail, dari Ali r.a. bahwa Nabi saw. bersabda,
"Seorang hamba yang memakai sandal, khaff dan memakai pakaian untuk pergi mencari ilmu, maka diampuni dosa-dosanya sejak dia melangkah dari pintu rumahnya."Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dan disandarkan kepada Rasulullah saw. Ibnu Adi berkata,
"Tidak ada yang meriwayatkannya dari Qathr selain Ismail bin Yahya at-Tamimi." Saya katakan bahwa Ismail bin Yahya telah meriwayatkannya dari Sufyan ats-Tsauri, dari Muhammad bin Ayyub al-Jurjani, dari Mujalid dari asy- Sya'bi, dari al-Aswad, dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang memakai sandal untuk mempelajari kebajikan, maka dia diampuni sebelum melangkah pergi."44Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi dari Qathr bin Abi ath-Thufail, dari Ali r.a..
Walaupun sanad-sanad di atas tidak dapat menjadi hujjah (dasar hukum) secara sendirinya, tetapi menuntut ilmu adalah kebaikan yang paling utama, dan kebaikan menghapuskan dosa-dosa perbuatan buruk. Maka, sangat layak jika menuntut ilmu untuk mencari ridha Allah SWT itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu. Dalam sebuah hadits juga telah disebutkan bahwa melakukan kebajikan setelah melakukan keburukan dapat menghapuskan keburukan tersebut. Maka, tentunya melakukan kebaikan yang paling utama dan ketaatan paling tinggi lebih dapat
menghapuskan keburukan tersebut. Maka inilah yang kita pegang, bukan hadits Abu Daud. Wallaahu wa a'lam.
"Dalam sanadnya ada juga Ismail bin Yahya at-Tamimi.Diriwayatkan dari Umar bin al-Khathab r.a. bahwa ia berkata,
"Seorang lelaki yang menipunyai dosa sebesar gunung Tihamah keluar dari rumahnya. Ketika dia mendengarkan ilmu dia merasa takut dan mengingat dosa-dosanya lalu bertaobat. Kemudian dia pulang ke rumahnya tanpa dosa lagi. Oleh karena itu, janganlah kalian memisahkan diri dari majelis ulama!"Enam puluh dua. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya. dari Abdullah bin Amru bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. masuk ke masjid dan mendapati ada dua majelis dalam masjid. Satu majelis mempelajari agama tapi yang lain berdoa dan memohon kepada Allah SWT. Rasulullah bersabda,
"Masing- masing dari kedua majelis itu adalah baik. Majelis ini berdoa kepada Allah dan majelis yang itu belajar dan mengajar orang bodoh. Maka, majelis yang kedua ini adalah lebih baik karena mengajar dan untuk itulah aku diutus." Lalu Rasulullah saw. duduk bersama dengan kelompok yang sedang belajar.45Enam puluh tiga. Allah SWT membanggakan kepada para malaikat-Nya orang-orang yang mengkaji ilmu dan mengingat-Nya serta memuji-Nya karena apa yang Dia karuniakan kepada mereka. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muhammad bin Basyar, dari Marhum bin Abdul-Aziz al-Aththar, dari Abu Na'amah dari Abu Utsman, dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Mu'awiyah keluar ke mesjid dan bertanya,
"Mengapa kalian duduk di sini?" Mereka menjawab, "Kami duduk di sini mengingat Allah Azza wa Jalla." Muawiyah berkata lagi, "Demi Allah, benarkah hanya untuk itu kalian duduk di sini?" Mereka menjawab, "Demi Allah, tidak ada yang membuat kami duduk di sini kecuali mengingat-Nya." Muawiyah berkata lagi, "Ketahuilah, bukannya saya menyumpahi -kalian karena tidak percaya, tetapi Rasulullah pernah pergi menuju majelis para sahabat beliau seraya berkata, 'Apa yang membuat kalian duduk di sini?' Para sahabat menjawab, 'Kami duduk di sini untuk mengingat Allah SWT dan memuji-Nya atas petunjuk-Nya kepada kami menuju Islam serta karena Dia mengutus Anda kepada kami.'Lalu Rasulullah saw. bersabda, 'Demi Allah, benarkah hanya untuk itu kalian duduk di sini.' Mereka menjawab, 'Demi Allah, kami tidak duduk kecuali untuk itu.' Maka beliau bersabda, 'Saya menyumpahi kalian bukannya tidak percaya, tetapi Jibril telah mendatangiku dan mengabariku bahwa Allah SWT membanggakan kalian di hadapan para malaikat.'"46
45 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/87). Al-Bushairi dalam Mishbaah az-Zujaajah (1/97) mengatakan,
"Dalam sanad ini adalah Bakr, Daud dan Abdurrahman. Mereka ini adalah perawi lemah." Hadits ini dilemahkan
al-Hafizh al-Iraqi dalam-TakhriijIhyaa' 'Ulumiddiin (1/10) dan al-Albani dalam Silsilah adh-Dhaifah (1/22).
46 Diriwayatkan Muslim, at-Tirmidzi (3379) dan an-Nasa'i (VIII/249).
Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasangharib yang tidak saya ketahui kecuali dari jalur ini. Abu Na'amah as-Sa'adi namanya adalah Amru bin Isa, dan Abu Utsman an-Nahdi namanya adalah Abdurrahman bin Mai." Para sahabat kala itu duduk memuji Allah dengan mengingat sifat-Nya dan
nikmat-Nya. Mereka mengingat kebaikan Islam dan mengingat karunia Allah yang sangat besar karena memberi mereka petunjuk kepada Islam dan dengan diutusnya Rasulullah saw. kepada mereka. Pengetahuan tentang semua ini merupakan pengetahuan yang paling mulia dan tidak akan ada yang memperhatikannya kecuali orang-orang yang mendalam ilmunya. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, agama dan Rasul-Nya. Semuanya itu disukai, dimuliakan, dan mendatangkan rasa gembira. Wajarlah apabila orang-orang
yang memiliki pengetahuan tentang semua ini dibanggakan oleh Allah kepada para malaikat. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw. memberitahu seseorang yang suka membaca surah al-Ikhlash dan berkata, "Saya menyukainya karena ia merupakan sifat Yang Maha Pengasih Azza wa Jalla." Rasulullah berkata kepada orang itu,
"Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga." (HR Bukhari dan Muslim)Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada para sahabat agar memberitahukan orang yang suka membaca surah al-Ikhlash tersebut, "Beritahu dia, sesungguhnya Allah mencintainya." Ini menunjukkan bahwa orang yang mencintai sifat-sifat Allah SWT, maka Allah SWT mencintainya dan memasukkannya ke dalam surga. Golongan Jahmiah47 adalah orang-orang yang paling tidak setuju akan sifat-sifat tersebut bagi Allah SWT. Mereka mencela orang yang menyebut, membaca, mengumpulkan, dan menghafal sifat-sifat Allah. Karena itulah, mereka dibenci dan dicerca umat dan para ulama. Allah SWT lebih marah dan murka kepada mereka sebagai balasan yang setimpal.
47Al-Jahmiah adalah kelompok yang dinisbahkan kepada Jahm bin Shafwan as-Samarqandi. Dia yang menyatakan tidak adanya sifat-sifat Allah SWT. Lihat ath-Thahawiyah (him. 522) dan al-Farq baina al~Firaq karya al-Baghdadi (him. 211).
Enam puluh empat. Sesungguhnya kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT adalah posisi kerasulan dan kenabian. Allah SWT memilih dari para malaikat dan dari manusia beberapa utusan. Sudah barang tentu mereka menjadi hamba paling mulia di sisi-Nya, karena mereka adalah perantara antara Dia dan hamba-hamba-Nya. Mereka menyampaikan risalah, memperkenalkan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum-Nya, keridhaan-Nya, dan pahala serta siksaan kepada hamba-hamba-Nya. Allah SWT mengkhususkan mereka dengan
wahyu dan kemurahan-Nya, serta memilih mereka untuk mengemban risalah-Nya kepada hamba-hamba. Juga menjadikan mereka sebagai makhluk yang paling bersih jiwanya, paling mulia akhlaknya, paling sempurna ilmu dan amalnya, paling indah parasnya, paling diterima oleh manusia. Allah membersihkan mereka dari sifat bodoh, tuli, cacat, dan dari segala sifat yang hina. Allah SWT menjadikan derajat yang paling tinggi sesudah mereka derajat kekhalifahan dan penggantian mereka atas umat. Mereka menggantikan para rasul dalam cara hidup, dalam menasehati umat, memberikan petunjuk kepada orang sesat, mengajar orang-orang bodoh, menolong orang yang dizalimi, memerintahkan umat melakukan kebaikan, dan melarang kemungkaran. Juga menyeru orang-orang yang menyambut ajakan menuju Allah dengan penuh kebijaksanaan, memberi nasehat dengan baik kepada orang-orang yang enggan dan lalai, serta mendebat mereka yang menentang tuntunan risalah. Inilah sikap para rasul dan para pewaris Nabi saw.. Allah SWT berfirman,
"Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata. '(Yusuf: 108)Ada dua pendapat tentang makna ayat ini.
Pertama, saya dan orang yang mengikutiku berada di atas bukti yang nyata dan saya mengajak kalian kepada Allah.
Kedua, saya mengajak kepada Allah dengan bukti nyata. Namun kedua makna tersebut saling terkait, sebab tidak menjadi pengikut yang hakiki kecuali orang yang menyeru ke jalan Allah dengan argumentasi yang jelas sebagaimana yang dilakukan orang yang diikuti, Muhammad saw.. Mereka itu sungguh-sungguh penerus dan pewaris para nabi bagi manusia. Mereka adalah orang-orang berilmu yang menunaikan, mengajarkan, dan
menyampaikan apa yang dibawa Nabi saw. dengan penuh kesbaran. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan para pengikut nabi-nabi yang paling utama. Pemimpin dan imam mereka adalah ash-Shiddiq, Abu Bakar r.a.. Allah SWT berfirman,
Kedua, saya mengajak kepada Allah dengan bukti nyata. Namun kedua makna tersebut saling terkait, sebab tidak menjadi pengikut yang hakiki kecuali orang yang menyeru ke jalan Allah dengan argumentasi yang jelas sebagaimana yang dilakukan orang yang diikuti, Muhammad saw.. Mereka itu sungguh-sungguh penerus dan pewaris para nabi bagi manusia. Mereka adalah orang-orang berilmu yang menunaikan, mengajarkan, dan
menyampaikan apa yang dibawa Nabi saw. dengan penuh kesbaran. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan para pengikut nabi-nabi yang paling utama. Pemimpin dan imam mereka adalah ash-Shiddiq, Abu Bakar r.a.. Allah SWT berfirman,
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama- sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, ash-shiddiqiin (orang-orang yang keimanannya dijamin selamat), orang-orang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman baik yang sebaik- baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui." (an-Nisa': 69-70)Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan tingkatan-tingkatan orang-orang yang berbahagia. Tingkatan tersebut ada empat, dan Allah memulai dengan mereka yang berada di tingkatan tertinggi. Keempat golongan inilah para penghuni surga. Semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk dari golongan ini.
Enam puluh lima. Manusia berbeda dengan binatang adalah karena keutamaan ilmu dan kemampuan berbicara. Selain karena kedua hal tersebut manusia, tidak ada bedanya dengan binatang. Bahkan, binatang melebihi manusia. Binatang lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak jumlah dan keturunan serta lebih panjang umurnya. Apabila manusia tidak memiliki ilmu, maka yang ada pada dirinya adalah hal-hal yang sama-sama dimiliki oleh binatang, yaitu sifat kebinatangan semata. Jika demikian adanya, maka dia tidak memiliki kelebihan lagi di atas binatang, bahkan bisa jadi lebih buruk lagi. Allah SWT berfirman tentang golongan ini,
Dalam Al-Qur'an ada tiga ayat yang berhubungan dengan hal ini.
"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (al-Anfaal: 22)Dan mereka itu adalah orang-orang yang bodoh.
"Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (al-Anfaal: 23)Artinya, di dalam diri mereka tidak ada tempat untuk menerima kebaikan, karena seandainya dalam diri mereka masih ada tempat untuk menerima kebaikan, pasti Allah SWT akan membuat mereka memahaminya. Maksud mendengar dalam ayat sini adalah mendengar dengan pemahaman. Sebab, mendengar suara semata sudah terjadi pada mereka dan inilah yang akan membuat mereka menerima siksa Allah. Allah SWT berfirman,
"janganlah kamu menjadi seperti orang yang mengatakan, 'Kami mendengar,' padahal mereka tidak mendengar." (al-Anfaal: 21)
"Dan perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (al-Baqarah: 171)Ada dua kemungkinan dalam makna ayat terakhir ini. Pertama: perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang dan binatang itu hanya mendengar suara semata. Kedua: perumpamaan orang-orang kafir ketika diseru adalah seperti binatang yang dipanggil, ia tidak mendengar kecuali suara panggilan saja. Kedua pendapat tersebut adalah koheren,bahkan satu, meskipun makna kedua lebih dekat dengan lafal dan lebih tepat dalam maknanya. Berdasarkan hal ini, maka seruan bagi mereka hanya seperti suara panggilan bagi binatang, tanpa ada hasil lainnya yang lebih utama. Maka dalam diri orang-orang tersebut belum terwujud hakikat manusia yang membedakan mereka dari binatang. Dan yang dimaksud dengan pendengaran dalam ayat-ayat di atas adalah mengenali suara dan memahami maknanya, artinya menerima dan memenuhi panggilan itu.
Dalam Al-Qur'an ada tiga ayat yang berhubungan dengan hal ini.
Pertama, firman Allah SWT,
semua suara. Telah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw. dan kala itu saya berada di samping rumah namun sebagian ucapannya tidak dapat saya dengar. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, 'Sesungguhnya Allah telah mendengarkan perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.'
Kedua, mendengar dengan memahami. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Allah telah mendengarkan perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (al-Mujadalah: 1)Ayat ini sangat tegas dalam menetapkan sifat mendengar bagi Allah SWT. Dalam ayat ini disebutkan bentuk madhi (lampau), mudhari' (sekarang dan mendatang)serta isim/a 'il (bentuk kata pelaku) dari kata mendengar, yaitu Aisyah r.a. pernah berkata, "Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi
semua suara. Telah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw. dan kala itu saya berada di samping rumah namun sebagian ucapannya tidak dapat saya dengar. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat, 'Sesungguhnya Allah telah mendengarkan perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.'
Kedua, mendengar dengan memahami. Allah SWT berfirman,
"Kalau Allah mengetahui kebaikan yang ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (al-Anfaal: 23)
Artinya, membuat mereka dapat memahami. Dan firman-Nya,
"Dan seandainya Allah menjadikan mereka mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari yang mereka dengar itu).''(al-Anfaal: 23)Hal ini karena di dalam hati mereka ada sifat sombong dan keengganan menerima kebenaran. Maka dalam diri mereka ada dua cacat. Pertama; mereka tidak memahami kebenaran karena kebodohannya, kedua; seandainya mereka paham, niscaya mereka enggan menerima kebenaran itu karena kesombongan mereka. Inilah puncak cacat dan kekurangan.
Ketiga, mendengar dengan yang menerima dan memenuhi panggilan, seperti dalam firman Allah SWT,
"Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka. Dan, tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu. Sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka." (at-Taubah: 47)Artinya, menerima dan memenuhi ajakan. Di antaranya juga firman Allah SWT,
"Amat suka mendengar berita-berita bohong." (al-Maa idah: 41)Artinya, mereka menerima dan memenuhinya. Juga seperti ucapan seseorang yang sedang menunaikan shalat, (mudah-mudahan Allah mendengarkan orang yang memujinya). Artinya, mudah-mudahan Allah menjawab pujian dan doa orang yang memuji dan memohon kepada-Nya. Dan sabda Nabi saw.,
"jika imam berkata, 'Sami'al-Lahu liman hamidah', 'semoga Allah mendengar orang yang memujiNya', maka berkatalah, 'Rabbana' wa lakal-hamdu/ 'Tuhan kami, hanya kepada-Mu kami memuji', niscaya Allah SWT mendengarnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, niscaya Allah akan menjawabnya. Inti dari poin ini bahwa manusia apabila tidak memiliki ilmu yang memperbaiki kehidupan dunia dan akhiratnya, maka binatang lebih baik daripada dirinya. Karena di akhirat kelak binatang akan selamat dan tidak akan disiksa, tidak seperti manusia-manusia yang bodoh.
Enam puluh enam. Ilmu merupakan pemutus dan penentu bagi hal-hal lain, dan tidak ada yang dapat menjadi pemutus baginya. Ini disebabkan segala sesuatu yang diperselisihkan, baik keberadaannya, bagus dan rusaknya, manfaat dan bahayanya, kelebihan dan kekurangannya, kesempurnaan dan ketidak-sempurnaannya, dipuji atau dicela, derajat kebaikannya, dekat dan jauhnya, sesuatu yang membuat seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan atau tidak, semua itu diputuskan dan ditentukan oleh ilmu. Apabila ilmu sudah memutuskannya, maka semua perselisihan selesai dan keputusan itu wajib diikuti. Ilmu adalah pengatur bagi kekuasaan, politik, harta benda, dan gerakan pena. Kekuasaan yang tidak didukung oleh ilmu tidak akan bertahan, senjata tanpa ilmu akan menjadi alat pemusnah liar, pena tanpa ilmu menjadi gerakan yang sia-sia. Ilmulah yang menguasai semua itu, tidak ada satu pun dari hal itu yang menguasainya.
Orang-orang berbeda pendapat mengenai apakah tinta pena ulama lebih utama dari darah syuhada, ataukah sebaliknya. Masing-masing pendapat ini didukung oleh argumentasi. Perselisihan ini sendiri merupakan bukti keutamaan dan martabat ilmu. Pemutus dalam masalah ini juga adalah ilmu, karena dengannya dan berdasarkan padanya hal itu diputuskan. Maka, yang diutamakan di antara keduanya adalah orang yang menurut ilmu memiliki keutamaan. Apabila ada pertanyaan,
"Bagaimana ilmu menerima hukum untuk dirinya sendiri?"
Jawabnya, ini juga merupakan tanda keutamaan, ketinggian derajat, dan kemuliaan ilmu. Seorang hakim tidak boleh menetapkan hukum untuk dirinya sendiri sebab ia bisa dituduh dengan pemalsuan hukum, sedangkan ilmu tidak bisa dituduh dengan apa pun. Karena, apabila ilmu menetapkan suatu hukum, maka ia menetapkannya sejalan dengan kesaksian akal, kebenaran nalar yang dapat diterima, dan hasilnya mustahil mengandung cacat. Dan apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan adanya cacat, maka ilmu akan menjauh darinya dan martabatnya pun akan jatuh. Ilmu adalah saksi yang bersih dan adil. Ia adalah hakim yang tidak zalim dan akan selalu diikuti. Seseorang bertanya kembali,
"Jadi mana yang lebih utama antara tinta pena ulama dan darah para syuhada?"
Maka, kami jawab bahwa dalam permasalahan ini banyak terjadi perbedaan dan permasalahannya akan melebar, karena masing-masing pihak mengemukakan argumentasinya. Adapun hal yang dapat menyelesaikan pertentangan ini dan membawa masalah ini kepada kesepakatan bersama adalah membicarakan jenis-jenis tingkatan kesempurnaan, kemudian menganalisa mana yang paling utama dari kedua hal ini. Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh pendapat yang benar dan dari situlah terjadi penyelesaian masalah. Adapun tingkatan manusia dalam bingkai kesempurnaan ada empat, yaitu para nabi, orang-orang yang teguh keyakinannya (ash-shiddiiqiin), orang-orang yang syahid (asy-syuhadaa'), dan orang-orang yang saleh (ash-Shalihiin). Allah SWT telah menyebutkan keempat hal ini dalam firman-Nya,
orang yang saleh (ash-Sholihiin). Yang tertinggi dari derajat ini adalah para nabi dan para rasul, kemudian disusul oleh orang-orang yang teguh imannya. Para siddiqiin adalah orang-orang yang teguh dalam mengikuti para rasul. Mereka adalah golongan yang derajatnya paling tinggi sesudah para rasul. Apabila pena ulama berjalan dalam tingkatan ash-shiddiiqiin dan tintanya mengalir dengannya, maka tinta itu adalah lebih baik daripada darah seorang syahid yang tidak mencapai derajat ash-shiddiiqiin. Dan apabila darah seorang syahid mengalir dan kala itu ia dalam tingkatan ash-shiddiiqiin, maka darahnya itu lebih mulia daripada tinta ulama yang tidak mencapai derajat ash-shiddiqiin. Maka, yang terbaik adalah yang shiddiiq dari keduanya. Apabila keduanya setingkat dalam ash-shiddiqah (keyakinan), maka keduanya sama dalam derajat. Wallaahu a'lam.
Ash-shiddiiqah adalah keimanan yang sempurna terhadap apa yang dibawa Rasulullah saw., baik dalam ilmu maupun amal. Semua itu kembali kepada ilmu. Barangsiapa yang paling mengetahui apa yang dibawa Rasul dan paling sempurna keimanannya, maka dia adalah orang yang paling sempurna tingkat shiddiiqah-nya.
Jadi shiddiiqah adalah pohon yang berakarkan ilmu dan cabangnya adalah pembenaran serta buahnya adalah amal. Ini adalah ulasan yang cukup komprehensif mengenai masalah ulama dan syuhada' serta siapa yang lebih mulia.
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama- sama orang-orang yang dianugerahi nikmat Allah, yaitu nabi-nabi, orang yang shiddiqiin (orang yang amat teguh keyakinannya kepada rasul Allah), orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (an- Nisaa: 69-70)Allah SWT juga menyebutkan keempat golongan ini dalam surah al-Hadiid, di mana Allah SWT menyebutkan keimanan kepada-Nya, kepada Rasul-Nya dan menganjurkan orang-orang mukmin agar hatinya khusyu menerima kitab dan wahyu-Nya. Kemudian Allah menyebutkan tingkatan manusia, yaitu yang menderita dan yang bahagia. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak. Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang shiddiqiin dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang kafir dan mendustakan ay at Kami, mereka itulah penghuni neraka." (al-Hadiid: 18-19)Sebelum ayat ini Allah SWT menyinggung tentang orang-orang munafik, dan ayat ini mencakup orang menderita dan orang bahagia. Jadi ayat-ayat di atas menyebutkan empat tingkatan manusia, yaitu para rasul, orang-orang yang teguh keyakinannya (ash-shiddiiqiin), orang-orang yang syahid (asy-syuhadaa') dan orang-
orang yang saleh (ash-Sholihiin). Yang tertinggi dari derajat ini adalah para nabi dan para rasul, kemudian disusul oleh orang-orang yang teguh imannya. Para siddiqiin adalah orang-orang yang teguh dalam mengikuti para rasul. Mereka adalah golongan yang derajatnya paling tinggi sesudah para rasul. Apabila pena ulama berjalan dalam tingkatan ash-shiddiiqiin dan tintanya mengalir dengannya, maka tinta itu adalah lebih baik daripada darah seorang syahid yang tidak mencapai derajat ash-shiddiiqiin. Dan apabila darah seorang syahid mengalir dan kala itu ia dalam tingkatan ash-shiddiiqiin, maka darahnya itu lebih mulia daripada tinta ulama yang tidak mencapai derajat ash-shiddiqiin. Maka, yang terbaik adalah yang shiddiiq dari keduanya. Apabila keduanya setingkat dalam ash-shiddiqah (keyakinan), maka keduanya sama dalam derajat. Wallaahu a'lam.
Ash-shiddiiqah adalah keimanan yang sempurna terhadap apa yang dibawa Rasulullah saw., baik dalam ilmu maupun amal. Semua itu kembali kepada ilmu. Barangsiapa yang paling mengetahui apa yang dibawa Rasul dan paling sempurna keimanannya, maka dia adalah orang yang paling sempurna tingkat shiddiiqah-nya.
Jadi shiddiiqah adalah pohon yang berakarkan ilmu dan cabangnya adalah pembenaran serta buahnya adalah amal. Ini adalah ulasan yang cukup komprehensif mengenai masalah ulama dan syuhada' serta siapa yang lebih mulia.
Enam puluh tujuh. Hadits-hadits Nabi saw. secara mutawatir mengabarkan bahwa amal perbuatan yang paling mulia adalah iman kepada Allah SWT. Karena Iman adalah penghulu segala perkara, dan amal perbuatan datang sesudahnya sesuai dengan tingkatan dan posisinya. Iman kepada Allah memiliki dua rukun.
Pertama, mengetahui dan mengerti apa yang dibawa Rasulullah saw.
Kedua, membenarkannya dengan ucapan dan perbuatan. Perbuatan dan pembenaran tanpa ilmu adalah mustahil, karena pembenaran adalah cabang dari pengetahuan terhadap apa yang dibenarkan. Dengan demikian, ilmu bagi iman laksana ruh bagi jasad. Pohon iman tidak dapat tegak kecuali di atas landasan ilmu dan pengetahuan. Jadi ilmu adalah sesuatu yang paling mulia dan anugerah yang paling berharga.
Enam puluh delapan. Sesungguhnya semua sifat kesempurnaan pada Zat Allah SWT berpulang kepada al-Ilmu (pengetahuan), al-Qudrah dan iraadah (will). Iraadah merupakan cabang dari al-ilmu, karena al-iraadah itu membutuhkan adanya kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, al-iraadah ini membutuhkan al-ilmu (pengetahuan) tentang zat dan hakikat sesuatu. Dan al-qudrah sendiri tidak akan mempunyai pengaruh kecuali melalui al-iraadah. Sedangkan, al-'ilm dalam keterkaitannya dengan obyek tidak membutuhkan salah satu dari al- iraadah dan al-qudrah, Al-iraadah dan al-qudrah, masing-masing membutuhkan al- 'ilmu dalam keterkaitannya dengan obyek. Ini semua menunjukkan keutamaan dan kemuliaan ilmu.
Pertama, mengetahui dan mengerti apa yang dibawa Rasulullah saw.
Kedua, membenarkannya dengan ucapan dan perbuatan. Perbuatan dan pembenaran tanpa ilmu adalah mustahil, karena pembenaran adalah cabang dari pengetahuan terhadap apa yang dibenarkan. Dengan demikian, ilmu bagi iman laksana ruh bagi jasad. Pohon iman tidak dapat tegak kecuali di atas landasan ilmu dan pengetahuan. Jadi ilmu adalah sesuatu yang paling mulia dan anugerah yang paling berharga.
Enam puluh delapan. Sesungguhnya semua sifat kesempurnaan pada Zat Allah SWT berpulang kepada al-Ilmu (pengetahuan), al-Qudrah dan iraadah (will). Iraadah merupakan cabang dari al-ilmu, karena al-iraadah itu membutuhkan adanya kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, al-iraadah ini membutuhkan al-ilmu (pengetahuan) tentang zat dan hakikat sesuatu. Dan al-qudrah sendiri tidak akan mempunyai pengaruh kecuali melalui al-iraadah. Sedangkan, al-'ilm dalam keterkaitannya dengan obyek tidak membutuhkan salah satu dari al- iraadah dan al-qudrah, Al-iraadah dan al-qudrah, masing-masing membutuhkan al- 'ilmu dalam keterkaitannya dengan obyek. Ini semua menunjukkan keutamaan dan kemuliaan ilmu.
Enam puluh sembilan. Sifat al- 'Ilmu merupakan sifat yang paling umum dan paling luas obyeknya. Ilmu terkait dengan yang wajib dan yang mungkin terjadi, yang mustahil dan yang bisa terjadi, serta yang ada dan yang tidak ada. Zat Allah SWT suci, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya diketahui dengan ilmu. Hamba-hamba-Nya mengetahui sifat-sifat dan nama-nama-Nya melalui apa yang Dia ajarkan. Sedangkan, sifat Qudrah dan Iradah memiliki obyek yang khusus. Sifat Qudrah hanya berhubungan dengan hal yang mungkin terjadi, tidak dengan hal yang mustahil dan wajib terjadi. Dari sisi ini sifat Qudrah lebih khusus daripada ilmu dan lebih umum dari sifat al-Iraadah. Sedangkan Iraadah hanya berhubungan dengan sebagian yang mungkin, yaitu hal yang ingin Allah SWT ciptakan. Dengan demikian, ilmu adalah lebih luas, lebih umum, dan lebih menyeluruh baik esensinya maupun objeknya.
Tujuh puluh. Allah SWT memberitahukan bahwa Dia menjadikan orang-orang yang berilmu sebagai para pemimpin yang memberi petunjuk atas perintah-Nya dan menjadi imam bagi orang-orang sesudah mereka. Allah SWT berfirman,
Tujuh puluh satu. Kebutuhan manusia akan ilmu adalah darurat/penting melampaui kebutuhan tubuh kepada makanan, karena tubuh membutuhkan makanan sekali atau dua kali saja dalam sehari. Sedangkan, kebutuhan manusia kepada ilmu adalah sebanyak jumlah nafas mereka, karena dalam setiap tarikan nafas manusia membutuhkan ilmu yang menyertai keimanan. Jika satu tarikan nafas saja berpisah dari keimanan, maka mereka berada di ambang kebinasaan. Tidak ada jalan memperoleh keimanan kecuali dengan ilmu. Dengan demikian, kebutuhan manusia kepada ilmu melampaui kebutuhannya kepada makanan dan minuman.
Imam Ahmad telah menyebutkan penjelasan yang senada dengan ini dan berkata, "Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena dalam sehari dia hanya membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali. Sedangkan dia membutuhkan ilmu setiap saat."
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (as-Sajdah: 24)Dalam tempat lain Allah SWT berfirman,
"Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati. Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.' (al-Furqaan: 74)Artinya, jadikanlah kami imam yang menjadi panutan bagi orang-orang sesudah kami. Allah SWT. memberitakan bahwa ketinggian derajat dalam agama diperoleh melalui kesabaran dan keyakinan penuh, dan itulah tingkatan ash-shiddiqiin yang paling tinggi. Keyakinan adalah kesempurnaan dan tujuan keimanan. Dengan kesempurnaan derajat ilmu, ketinggian derajat dalam agama akan terwujud. Allah SWT melimpahkannya kepada orang-orang yang Dia kehendaki.
Tujuh puluh satu. Kebutuhan manusia akan ilmu adalah darurat/penting melampaui kebutuhan tubuh kepada makanan, karena tubuh membutuhkan makanan sekali atau dua kali saja dalam sehari. Sedangkan, kebutuhan manusia kepada ilmu adalah sebanyak jumlah nafas mereka, karena dalam setiap tarikan nafas manusia membutuhkan ilmu yang menyertai keimanan. Jika satu tarikan nafas saja berpisah dari keimanan, maka mereka berada di ambang kebinasaan. Tidak ada jalan memperoleh keimanan kecuali dengan ilmu. Dengan demikian, kebutuhan manusia kepada ilmu melampaui kebutuhannya kepada makanan dan minuman.
Imam Ahmad telah menyebutkan penjelasan yang senada dengan ini dan berkata, "Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena dalam sehari dia hanya membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali. Sedangkan dia membutuhkan ilmu setiap saat."
Tujuh puluh dua. Orang berilmu lebih sedikit merasakan lelah dalam melakukan pekerjaan, tetapi ia lebih banyak mendapatkan pahala. Hal ini dapat dianalogikan dengan para pekerja dan kuli di sebuah pabrik. Mereka harus melakukan pekerjaan- pekerjaan yang berat, sedangkan seorang pengarah hanya duduk memerintah, melarang, dan menunjukkan mereka cara bekerja. Walaupun demikian, gaji pengarah tersebut memperoleh imbalan berlipat ganda daripada gaji para pekerja. Nabi saw. telah mengisyaratkan makna ini ketika beliau bersabda,
Al-Fudhail bin Iyyad berkata,
"Amal yang paling mulia adalah iman kepada Allah kemudian jihad." (HR Bukhari dan Muslim)Di dalam jihad, seseorang mengorbankan jiwa dan menanggung beban yang sangat berat. Sedangkan, iman adalah pengetahuan, amalan, dan pembenaran dari hati. Walaupun demikian, iman adalah amalan yang paling mulia, padahal beban jihad jauh lebih berat dari keimanan tersebut. Hal ini disebabkan ilmu memberitahukan kadar dan derajat amal tersebut. Orang yang memiliki ilmu tidak memilih untuk dirinya kecuali pekerjaan yang terbaik. Orang yang bekerja tanpa ilmu menyangka bahwa keutamaan terdapat dalam banyaknya kesulitan. Renungkanlah tentang Abu Bakar ash-shiddiiq. Dia adalah orang yang terbaik dalam umat ini, padahal kita ketahui ada orang yang lebih banyak amalan, lebih banyak menunaikan haji, berpuasa, shalat dan membaca Al-Qur'an daripada dia. Abu Bakr bin 'Ayyasy pernah berkata, "Abu Bakar tidak melebihi kalian dalam puasa dan shalat, tetapi dia melampaui kalian dengan sesuatu yang terpatri di dalam hatinya."48 Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam syair yang terkenal,
"Tidak ada orang yang berjalan gemulai seperti dirimu, Engkau berjalan berlahan-lahan, namun engkau tiba paling awal."Tujuh puluh tiga. Sesungguhnya ilmu itu adalah pemimpin dan pembimbing amal. Amal itu ikut dan bermakmum kepada ilmu. Setiap amal perbuatan yang tidak mengikuti ilmu, maka amal itu tidak bermanfaat bagi pelakunya, bahkan justru berbahaya bagi dirinya. Sebagaimana yang dikatakan orang-orang salaf,
"Barangsiapa yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka ibadahnya lebih banyak yang salah daripada yang benar."Segala amal perbuatan diterima dan ditolak berdasakan kesesuaian dan pertentangannya dengan ilmu. Amal yang sejalan dengan ilmulah yang diterima dan amal yang bertentangan dengannya yang ditolak. Jadi ilmu adalah timbangan dan barometer amal. Allah SWT berfirman,
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (al-Mulk: 2)
Al-Fudhail bin Iyyad berkata,
"Amal yang diterima adalah amal yang paling ikhlas
dan paling benar."
dan paling benar."
Lalu orang-orang bertanya kepadanya,
"Wahai Abu AH mengapa demikian?" Dia menjawab, "Suatu amal perbuatan meskipun dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Dan apabila amal itu benar namun tidak ikhlas, maka tidak diterima juga. Amal perbuatan tidak akan diterima hingga dilakukan
^Sebagian orang menyandarkan ucapan ini kepada Rasulullah saw. sebagaimana yang dilakukan Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya' 'Ulumiddiin (1/100). Karena itu, al-Hafizh al-Iraqi berkata dalam takhriij hadits ini, "Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam an-Nawadiir dari ucapan Abu Bakr bin Abdullah al-Muzani dan saya tidak mendapatinya sebagai hadits marfu'".
dengan ikhlas dan dengan cara yang benar." Amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah semata. Allah SWT berfirman,
Tujuh puluh empat. Orang yang beramal tanpa ilmu seperti seorang musafir tanpa petunjuk. Sehingga, dapat dimaklumi bahwa kebinasaan lebih dekat baginya daripada keselamatan. Walaupun dia bisa selamat secara kebetulan, tetapi itu jarang terjadi. Sehingga, walaupun selamat ia tidak mendapatkan pujian melainkan tercela menurut orang yang berilmu. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata,
^Sebagian orang menyandarkan ucapan ini kepada Rasulullah saw. sebagaimana yang dilakukan Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya' 'Ulumiddiin (1/100). Karena itu, al-Hafizh al-Iraqi berkata dalam takhriij hadits ini, "Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam an-Nawadiir dari ucapan Abu Bakr bin Abdullah al-Muzani dan saya tidak mendapatinya sebagai hadits marfu'".
dengan ikhlas dan dengan cara yang benar." Amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah semata. Allah SWT berfirman,
"Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Tuhannya, maka hendaknya dia mengerjakan amal baik dan tidak mensekutukan sesuatu pun dalam menyembah Tuhannya." (al-Kahfi: 11)Hanya amal yang demikianlah yang diterima Allah SWT. Yaitu, amal perbuatan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. yang dimaksudkan mencari ridha Allah semata. Seseorang tidak akan mampu menunaikan amal yang mempunyai kedua sifat itu itu kecuali dengan ilmu. Sebab, jika dia tidak mengetahui apa yang dibawa Rasulullah saw., maka dia tidak mungkin mencarinya. Dan, apabila dia tidak mengenal yang dia sembah, maka tidak mungkin dia menuju kepada-Nya. Seandainya tidak karena ilmu, tentulah amalnya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Jadi ilmu merupakan petunjuk menuju keikhlasan dan petunjuk dalam mencapai kebenaran. Allah SWT berfirman,
"Allah hanya akan menerima dan orang-orang yang bertakwa." (al-Maaidah: 27)Penafsiran yang paling tepat terhadap ayat ini adalah bahwa Allah SWT hanya menerima amal perbuatan orang yang bertakwa. Ketakwaannya dalam perbuatannya tersebut adalah melakukannya demi Allah semata dan dengan mengikuti perintah- Nya. Semua ini dapat terwujud hanya dengan ilmu. Jika kedudukan dan posisi ilmu adalah demikian adanya, maka dapat diketahui bahwa ilmu adalah sesuatu yang paling mulia dan utama. Wallaahu a'lam.
Tujuh puluh empat. Orang yang beramal tanpa ilmu seperti seorang musafir tanpa petunjuk. Sehingga, dapat dimaklumi bahwa kebinasaan lebih dekat baginya daripada keselamatan. Walaupun dia bisa selamat secara kebetulan, tetapi itu jarang terjadi. Sehingga, walaupun selamat ia tidak mendapatkan pujian melainkan tercela menurut orang yang berilmu. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata,
"Orang yang tidak mengikuti petunjuk pasti akan tersesat, dan tidak ada petunjuk jalan kecuali Sunnah yang dibawa Rasulullah saw.."Hasan al-Basri pernah berkata,
"Orang beramal tanpa ilmu laksana orang yang salah jalan. Amal perbuatan seseorang tanpa berdasarkan ilmu lebih banyak salahnya daripada benarnya. Maka, tuntutlah ilmu dengan tidak meninggalkan ibadah dan lakukanlah ibadah dengan tidak meninggalkan ilmu. Sesungguhnya ada satu kaum yang menunaikan ibadah namun mereka meninggalkan ilmu, akibatnya mereka memerangi umat Muhammad saw.. Seandainya mereka mau mencari ilmu, tentu mereka tidak melakukan apa yang telah mereka perbuat."4949 Mereka itu adalah orang-orang Khawarij. Mereka itu adalah ahli ibadah dan zuhud, tapi mereka tidak berilmu. Karena itu, mereka mentakwilkan sebagian dari ayat-ayat dalam kitab Allah di luar cara yang benar.
Mereka jatuh dalam kesesatan dan mengkafirkan pelaku perbuatan dosa besar dan menghalalkan darah serta hartanya.
Perbedaan antara posisi ilmu pada bagian ke tujuh puluh empat ini dengan yang sebelumnya adalah bahwa derajat ilmu pada bagian sebelumnya adalah sesuatu yang ditaati perintahnya, diikuti keputusannya, dan diteladani. Sedangkan, pada bagian ini ilmu adalah sebagai petunjuk dan pengarah dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Tujuh puluh lima. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih keduannya bahwa Nabi saw. bersabda,
"Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil. Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang terlihat, Engkau memutuskan perkara yang diperselisihkan hamba-hamba-Mu. Dengan izin-Mu tunjukkanlah kepadaku kebenaran dan apa yang mereka perselisihkan. Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus." (HR Muslim dan Abu Daud)Dalam beberapa kitab Sunan diriwayatkan bahwa Nabi saw. melakukan takbiratul- ihram dan membaca doa ini. Hidayah adalah mengetahui kebenaran berdasarkan keinginan sendiri dengan mengutamakannya dari hal-hal yang lain. Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang melakukan kebenaran berdasarkan keinginannya. Hidayah adalah nikmat Allah yang paling besar bagi hamba-Nya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya agar setiap siang dan malam kala menunaikan shalat lima waktu untuk meminta hidayah-Nya dalam mendapatkan jalan yang lurus. Sesungguhnya dalam setiap gerakan lahir maupun batin, seorang hamba membutuhkan pengetahuan tentang kebenaran yang diridhai Allah SWT. Apabila dia telah mengetahuinya, maka dia membutuhkan kepada Zat yang memberinya ilham untuk melakukan kebenaran tersebut. Maka, Allah SWT menciptakan keinginan di dalam hati hamba tersebut, dan iapun menunaikannya. Sudah maklum adanya bahwa apa yang tidak diketahui seorang hamba jauh lebih banyak daripada yang ia ketahui. Dan jika yang perlu diketahui manusia adalah sesuatu yang baik namun terkadang jiwanya tidak menghendakinya, ataupun jika menghendakinya dia tidak mampu menggapainya karena saking banyaknya, maka setiap saat dia sangat membutuhkan hidayah yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Dia membutuhkan hidayah yang berkaitan dengan masa lalu, karena dia perlu melakukan perhitungan (muhaasabah) terhadap dirinya. Apakah dulu ia berada dalam jalan yang benar sehingga ia harus bersyukur kepada Allah SWT dan memohon agar ditetapkan di dalamnya, ataukah ia keluar dari jalan yang benar sehingga ia harus bertaobat kepada-Nya dan memohon ampunan serta bertekad untuk tidak kembali kepadanya. Dia membutuhkan hidayah yang berkaitan dengan masa sekarang sebab ia hidup pada masanya itu di mana ia perlu mengetahui hukum dari perbuatan-perbuatannya; apakah yang ia lakukan benar atau salah. Sedangkan di masa mendatang, kebutuhannya terhadap hidayah lebih besar lagi, supaya perjalanannya nanti berada di atas jalan yang lurus. Jika kondisi seorang hamba terhadap hidayah demikian adanya, tentulah seorang hamba sangat membutuhkannya. Sedangkan ucapan yang tidak benar yang dikemukakan sebagian orang, yaitu,
"Jika kita adalah orang-orang yang mendapat hidayah, untuk apa lagi kita memintanya kepada Allah, bukankah meminta hidayah lagi tidak ada gunanya?"
Ini adalah pernyataan yang salah dan sangat jauh dari kebenaran. Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkanya tidak memahami arti hidayah dan tidak mengetahui hakikat hidayah tersebut. Karena itu, ada yang bersusah payah menjawab pernyataan di atas, dengan mengatakan bahwa maksud dari memohon hidayah setelah mendapatkannya adalah,
"Teguhkanlah dan kekalkanlah kami di dalamnya!"Orang yang mengetahui benar hakikat hidayah dan kebutuhan hamba kepadanya, akan tahu bahwa apa yang belum terwujud dalam dirinya dari hidayah itu jauh lebih banyak daripada yang telah terwujud. la tahu pula bahwa setiap waktu dia membutuhkan hidayah. Apalagi bila diingat bahwa Allahlah yang menciptakan perbuatan hati dan anggota badan manusia, karena itu setiap saat seorang hamba membutuhkan hidayah dari-Nya. Karena seandainya Allah SWT tidak menghilangkan penghalang dan penghambat yang merintangi sampainya hidayah, maka dia tidak akan mengambil manfaat dari hidayah itu dan tidak akan mampu merealisasikan tujuannya. Sebuah ketetapan tidak akan terwujud hanya dengan adanya sesuatu yang berimplikasi kepadanya, tetapi juga harus tidak ada yang menghalangi dan menghambatnya. Bisikan jahat dan hawa nafsu seorang hamba merupakan penghalang terwujudnya pengaruh hidayah. Jika Allah tidak menyingkirkan penghalang ini, maka dia tidak akan mendapatkan petunjuk yang sempurna. Oleh karena itu, kebutuhannya terhadap petunjuk Allah menyertai setiap tarikan nafasnya, ini adalah kebutuhan hamba yang paling besar. Dan dalam doa beliau, Rasulullah saw. selalu menyebutkan beberapa sifat Allah dan kerububiyahan-Nya yang sesuai dengan apa yang beliau minta. Ketika beliau memohon agar diberi petunjuk sesuai fitrah manusia ketika diciptakan, beliau bertawassul dengan sifat-Nya sebagai Pencipta langit dan bumi. Dan ketika beliau memohon agar diajarkan kebenaran dan diberi taufik, beliau menyebutkan pengetahuan Allah tentang hal yang gaib dan yang nampak. Karena sudah selayaknya seorang hamba memohon kepada Zat Yang Maha mengetahui untuk diajari dan diberi tuntunan serta petunjuk. Hal ini seperti tawasulnya seorang hamba dengan kekayaan dan kedermawanan Yang Maha Kaya agar diberi sesuatu dari harta-Nya. Juga seperti tawassulnya seorang hamba dengan keluasan ampunan Yang Maha Pengampun supaya diampuni, serta memohon kasih sayang dengan rahmat-Nya supaya dikasihi dan semacamnya. Rasulullah menyebutkan rububiyah (ketuhanan) Allah atas Jibril, Mikail dan Israfil, karena beliau memohon dari-Nya petunjuk yang menghidupkan hati. Allah telah menjadikan ketiga malaikat itu sebagai wasilah bagi kehidupan hamba. Jibril adalah pembawa wahyu yang diwahyukan Allah kepada para nabi, dan ini merupakan sebab kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sedangkan, Mikail ditugaskan mengurusi hujan yang merupakan sebab kehidupan segala sesuatu di dunia. Adapun Israfil, dia adalah malaikat yang meniup sangkakala. Dengan tiupan itu, Allah menghidupkan yang telah mati dan dihadapkan kepada Tuhan semesta alam. Hidayah memiliki empat tingkatan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an.
Pertama: hidayah yang bersifat general (umum), yaitu hidayah untuk setiap makhluk meliputi hewan dan manusia. Hidayah ini Allah SWT turunkan agar mereka mampu menunaikan tugas yang mereka emban. Allah SWT berfirman,
"Sucikanlah nama Tuhanmu yang paling tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya serta yang menentukan kadar masing-masing dan memberikan petunjuk." (al-A'laa: 1 -3)Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan empat perkara: penciptaan, penyempurnaan, penentuan qadar, dan hidayah. Allah menyempurnakan ciptaan-Nya dan mengaturnya. Lalu Dia menetapkan sebab-sebab kebaikannya dalam kehidupan. Dia juga memberinya petunjuk kepada kebaikan-kebaikan itu. Hidayah di sini adalah pengajaran, karena itu Allah SWT menyebutkan bahwa Dialah yang mencipta dan mengajari sebagaimana yang disebutkan dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Allah SWT berfirman tentang kisah Fir'aun, bahwa dia bekata kepada Musa,
"Berkata Fir'aun, 'Maka siapakah Tuhanmu berdua, wahaiMusai"Musa berkata, 'Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.'" (Thaahaa: 49-50)
Hidayah ini adalah hidayah yang paling awal dan paling umum.
Kedua: hidayah yang berupa penjelasan dan pembuktian yang menjadi argumentasi Allah bagi hamba-hamba-Nya, dan ini tidak mengharuskan adanya petunjuk secara umum. Allah SWT berfirman,
Kedua: hidayah yang berupa penjelasan dan pembuktian yang menjadi argumentasi Allah bagi hamba-hamba-Nya, dan ini tidak mengharuskan adanya petunjuk secara umum. Allah SWT berfirman,
"Dan adapun kamu Tsamud, maka mereka telah kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu." (Fushshilat: 17)Artinya, Kami telah menjelaskan, membuktikan, dan memperkenalkan kepada mereka, tetapi mereka masih tetap mengutamakan kesesatan dan kebutaan. Allah SWT berfirman,
"Dan juga kaum 'Ad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan setanmenjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan Allah, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam." (al-'Ankabuut: 38)Ini adalah tingkatan yang lebih khusus dari yang pertama dan lebih umum dari yang kedua. Ini adalah petunjuk yang berupa taufik dan ilham dari-Nya. Allah SWT berfirman,
"Allah menyeru manusia ke Dar as-Salam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendakinya ke jalan yang lurus (Islam)." (Yunus: 25)Allah SWT mengarahkan dakwah-Nya kepada makhluk-Nya secara umum dan mengkhususkan hidayah-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki." (al-Qashash: 56)
"Sesungguhnya kamu memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus." (asy- Syuuraa: 52)Jadi Allah SWT menetapkan hidayah yang berupa ajakan dan penjelasan, namun menafikan hidayah yang berupa taufik dan ilham. Nabi saw. bersabda,
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.5050 Hadits shahih yang memiliki banyak jalur periwayatan. Syaikh al-Albani menyebutkannya dalam sebuah tulisan Khutbah al-Hujjah.
Ketiga: hidayah yang dengan pasti membuat seorang hamba mendapatkan petunjuk. Allah SWT berfirman,
"jika kamu sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkannya." (an-Nahl: 37)Artinya, barangsiapa yang Allah sesatkan, maka dia tidak akan mendapat petunjuk untuk selamanya. Adapun hidayah yang berupa penjelasan dan pembuktian adalah syarat yang tidak mewajibkan diperolehnya hidayah. Jadi tidak menutup kemungkinan hidayah tidak terwujud dengan adanya penjelasan dan pembuktian tersebut. Ini berbeda dengan hidayah jenis ketiga, karena tidak mungkin dengan adanya hidayah jenis ini seseorang tidak akan memperoleh petunjuk.
Keempat: hidayah di akhirat kelak yang menunjukkan jalan ke surga dan neraka. Allah SWT berfirman,
Adapun kebahagiaan dengan adanya ilmu disebabkan keutamaan yang ada padanyadan kecocokan manusia dengannya. Sedangkan, kebodohan adalah penyakit dan kesengsaraan yang sangat menyakitkan serta memilukan jiwa. Barangsiapa yang tidak merasakan kesengsaraan dengan tidak adanya ilmu, maka ia sudah kehilangan perasaan dan jiwanya, karena orang mati tidak lagi merasakan perihnya luka. Apabila seseorang mendapatkan ilmu, maka ia telah mendapatkan apa yang sangat ia cintai. Inilah puncak kebahagiaan dan kenikmatan. Dan, kebahagiaan serta kenikamatan ini sesuai dengan apa yang diketahui berdasarkan ilmu yang diperoleh tersebut. Sehingga, dalam hal ini ilmu dan hal-hal yang diketahui dengannya sangat bervariasi tingkatannya. Pengetahuan jiwa terhadap Sang Pencipta, Sang Pemelihara, dan Sang Pengasih, serta kecintaan dan kedekatan dengan-Nya tidaklah sama dengan pengetahuan tentang keadaan, sifat, kelestarian, kerusakan, dan gerak alam.
"(Kepada malaikat diperintahkan)/Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman-teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah. Maka, tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. ' (ash- Shaffaat: 22-23)Dan perkataan penghuni surga,
"Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami jalan ke surga ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapatkan petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk." (al-A'raaf: 43)Ada dua kemungkinan dalam ayat ini, yaitu hidayah di akhirat yang menunjukkan jalan ke surga atau hidayah di dunia yang membuat manusia kelak masuk surga. Seandainya dikatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah kedua hidayah tersebut, yaitu mereka memuji Allah atas petunjuk-Nya di dunia dan petunjuk-Nya di akhirat yang menunjukkan jalan ke surga, maka ini lebih tepat dan lebih baik. Allah SWT telah membuat perumpamaan bagi orang yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengikutinya dengan sebuah perumpamaan yang sangat sesuai. Allah SWT berfirman,
"Katakanlah apakah kita akan menyeru selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak pula mendatangkan kemudharatan kepada kita. Apakah kita akan dikembalikan ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh setan dipesawangan yang menakutkan dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya ke jalan yang lurus dengan mengatakan, 'Marilah ikuti kami.' Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.'" (al-An'am:71)Tujuh puluh enam. Keutamaan dan kemuliaan sesuatu terkadang nampak dari besarnya manfaat dan ketergantungan manusia kepadanya. Atau karena hilangnya kelemahan dan keburukan, atau terkadang karena mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Semua ini tentunya karena sesuatu itu sangat mereka butuhkan, mereka cintai, dan mereka sukai. Sehingga, dengan mendapatkannya mereka merasakan kenikmatan yang tiada tara. Terkadang juga sesuatu dianggap mulia karena besarnya hasil yang diperoleh melaluinya. Yakni kemuliaan sebab dan keberadaannya yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebutuhan yang sangat berharga. Kemuliaan ilmu dari segi ini dan semisalnya berangkat dari hal-hal luar yang berkaitan dengannya. Apabila tanpa melihat hal-hal luar yang berkaitan dengannya, ilmu itu sendiri sudah mulia. Dengan demikian, ilmu menggabungkan berbagai aspek kemuliaan dan keutamaan dalam dirinya beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. Manfaat ilmu itu yang sangat umum, banyak, dan abadi. Kebutuhan kepadanya melampaui kebutuhan jasad kepada makanan bahkan di atas kebutuhan bernafas. Sebab, kerugian yang terjadi dengan hilangnya kemampuan bernafas hanyalah hilangnya kehidupan jasad. Sedangkan, kehilangan ilmu akan berakibat pada hilangnya kehidupan hati dan ruh, sehingga seorang hamba tidak bisa lepas darinya walau sekejap. Oleh karena itu, jika seseorang kehilangan ilmu, maka dia lebih buruk dari binatang. Bahkan, di sisi Allah ia lebih buruk lagi, sehingga tidak ada lagi yang lebih buruk darinya.
Adapun kebahagiaan dengan adanya ilmu disebabkan keutamaan yang ada padanyadan kecocokan manusia dengannya. Sedangkan, kebodohan adalah penyakit dan kesengsaraan yang sangat menyakitkan serta memilukan jiwa. Barangsiapa yang tidak merasakan kesengsaraan dengan tidak adanya ilmu, maka ia sudah kehilangan perasaan dan jiwanya, karena orang mati tidak lagi merasakan perihnya luka. Apabila seseorang mendapatkan ilmu, maka ia telah mendapatkan apa yang sangat ia cintai. Inilah puncak kebahagiaan dan kenikmatan. Dan, kebahagiaan serta kenikamatan ini sesuai dengan apa yang diketahui berdasarkan ilmu yang diperoleh tersebut. Sehingga, dalam hal ini ilmu dan hal-hal yang diketahui dengannya sangat bervariasi tingkatannya. Pengetahuan jiwa terhadap Sang Pencipta, Sang Pemelihara, dan Sang Pengasih, serta kecintaan dan kedekatan dengan-Nya tidaklah sama dengan pengetahuan tentang keadaan, sifat, kelestarian, kerusakan, dan gerak alam.
Tujuh puluh tujuh. Sesungguhnya kemuliaan pengetahuan (ilmu) itu sesuai dengan kemuliaan obyek yang diketahui. Maka, tidak disangsikan bahwa pengetahuan yang paling mulia dan paling agung adalah pengetahuan tentang Allah SWT, Tuhan semesta alam, Yang mendirikan langit dan bumi, Yang Maha benar, Yang mempunyai segala sifat kesempurnaan, Yang suci dari segala kekurangan, Yang tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Tidak disangsikan bahwa pengetahuan tentang nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling tinggi nilainya. Jika dibandingkan dengan segala jenis pengetahuan, maka seperti perbandingan obyek yang diketahui dengan obyek-obyek lainnya. Ilmu tentang Allah SWT adalah asas dari segala pengetahuan. Sebagaimana keberadaan segala sesuatu tergantung kepada keberadaan-Nya, Sang Maha Pencipta, maka semua jenis ilmu mengikuti ilmu tentang-Nya, dan membutuhkan-Nya untuk merealisasikan keberadaannya. Tidak disangsikan lagi bahwa pengetahuan tentang sebab awal dan penyebab utama berkonsekuensi pada pengetahuan tentang akibat dan efeknya. Keberadaan segala sesuatu selain Allah SWT, bergantung kepada-Nya, sebagaimana keberadaan
sebuah benda yang tergantung pada pembuatnya dan obyek kepada subyeknya. Maka ilmu tentang Zat,' sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah SWT berimplikasi kepada pengetahuan tentang selain Allah. Barangsiapa tidak mengenal Tuhannya, maka dia lebih tidak mengetahui segala sesuatu selain Dia. Allah SWT berfirman,
Tujuh puluh delapan. Tidak ada sesuatu yang paling indah, paling mahal, dan paling nikmat bagi hati seorang hamba serta bagi kehidupannya daripada kecintaannya kepada Sang Pencipta dan Penjaganya. Tiada yang lebih ia sukai selain selalu berzikir mengingat-Nya dan berusaha mencapai ridha-Nya. Inilah satu kesempurnaan yang tidak ada kesempurnaan lain bagi seorang hamba. Karena untuk semua itulah wahyu diturunkan, para rasul diutus, langit-bumi dan surga-neraka diciptakan. Untuk itu pula hukum-hukum syariat ditetapkan, Bait al-Haram diletakkan, dan manusia diwajibkan menziarahinya untuk mengingat-Nya sebagai tanda kecintaan dan keikhlasan kepada-Nya. Demi itu pula Allah memerintahkan jihad dan menghinakan mereka yang enggan melakukannya serta lebih mengutamakan sesuatu yang lain, sehingga di akhirat Allah menjadikan untuknya tempat kehinaan dan dikekalkan di dalamnya. Atas dasar semua itulah agama ditegakkan dan kiblat didirikan. Semua itu merupakan dasar penciptaan dan perintah. Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan ilmu, karena mencintai sesuatu merupakan cabang dari pengetahuan terhadap sesuatu itu. Dan, hamba Allah yang paling mengenal-Nya adalah orang yang paling tinggi kecintaannya kepada-Nya. Setiap orang yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dunia dan isinya, maka dia tidak akan tamak terhadapnya. Jadi ilmulah yang membuka pintu tentang semua ini, yang semuanya merupakan rahasia penciptaan dan perintah.
"Janganlah kamu menjadi seperti orang yang melupakan Allah sehingga Allah melupakan mereka tentang dirinya." (al-Hasyr: 19)Perhatikanlah ayat ini dengan seksama, maka Anda akan temukan makna yang sangat indah. Yaitu, barangsiapa yang melupakan Tuhannya, niscaya Tuhan akan membuat mereka lupa tentang dirinya sendiri. Sehingga, dia tidak mengenal hakikat diririya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan, dia lupa apa yang menjadi kebaikan dan keberuntungannya di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, dia pun menjadi rusak dan diabaikan seperti binatang. Bahkan, mungkin bintang lebih mengetahui kemashlahatannya karena mengikuti petunjuk yang diberikan Sang Pencipta kepadanya. Sedangkan, orang tersebut keluar dari fitrah penciptaannya. Sehingga, dia lupa akan Tuhannya dan Tuhan pun membuatnya lupa tentang dirinya dan tentang hal-hal yang membuat dia sempurna serta bahagia di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman,
'Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta mengikuti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (al-Kahfi: 28)Dia lalai mengingat Tuhannya, sehingga dia pun lupa akan hati dan keadaannya. Akhirnya, dia sama sekali tidak mempedulikan kemaslahatan, kesempurnaan, dan hal-hal yang membersihkan jiwa serta hatinya. Bahkan, dia kehilangan hatinya, kacau balau dan bingung, tanpa mendapatkan petunjuk sama sekali. Kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan tentang Allah SWT adalah asal segala ilmu. la adalah asas ilmu hamba tentang kebahagiaan, kesempurnaan, dan kemaslahatan dunia akhirat. Tidak adanya pengetahuan tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentang diri sendiri dan kemaslahatannya, serta apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, pengetahuan tentang Allah merupakan pangkal kebahagiaan hamba, sedangkan ketidaktahuannya tentang Allah merupakan pangkal penderitaan. Hal ini akan lebih jelas dengan pembahasan berikut ini.
Tujuh puluh delapan. Tidak ada sesuatu yang paling indah, paling mahal, dan paling nikmat bagi hati seorang hamba serta bagi kehidupannya daripada kecintaannya kepada Sang Pencipta dan Penjaganya. Tiada yang lebih ia sukai selain selalu berzikir mengingat-Nya dan berusaha mencapai ridha-Nya. Inilah satu kesempurnaan yang tidak ada kesempurnaan lain bagi seorang hamba. Karena untuk semua itulah wahyu diturunkan, para rasul diutus, langit-bumi dan surga-neraka diciptakan. Untuk itu pula hukum-hukum syariat ditetapkan, Bait al-Haram diletakkan, dan manusia diwajibkan menziarahinya untuk mengingat-Nya sebagai tanda kecintaan dan keikhlasan kepada-Nya. Demi itu pula Allah memerintahkan jihad dan menghinakan mereka yang enggan melakukannya serta lebih mengutamakan sesuatu yang lain, sehingga di akhirat Allah menjadikan untuknya tempat kehinaan dan dikekalkan di dalamnya. Atas dasar semua itulah agama ditegakkan dan kiblat didirikan. Semua itu merupakan dasar penciptaan dan perintah. Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan ilmu, karena mencintai sesuatu merupakan cabang dari pengetahuan terhadap sesuatu itu. Dan, hamba Allah yang paling mengenal-Nya adalah orang yang paling tinggi kecintaannya kepada-Nya. Setiap orang yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya. Barangsiapa yang mengetahui dunia dan isinya, maka dia tidak akan tamak terhadapnya. Jadi ilmulah yang membuka pintu tentang semua ini, yang semuanya merupakan rahasia penciptaan dan perintah.
Labels:
Keutamaan-dan-Kemuliaan-llmu
Keine Kommentare: