HASRAT JIWA YANG TERCELA
اَلْـحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
النَّبِـيِّ الْـمُصْطَفَى وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، أَمَّ
بَعْدُ:
Terkadang
seoran muslim teperdaya oleh ajakan jiwanya yang tercela, sehingga dengan sadar
atau tidak sadar dia telah keluar dari rel syar'i. Bagaimanakah hakikat hasrat
yang tercela tersebut? Sudahkah kita menyadari dan mawas diri terhadapnya?
Temuilah jawabannya dalam pembahasan berikut
ini.
URGENSI
BERSIH JIWA1
Sesungguhnya
mendidik jiwa dan membersihkannya adalah perkara penting yang banyak dilalaikan
oleh manusia. Hingga orang-orang baik yang telah menempuh jalan hidayah, jalan
dakwah, dan kebaikan pun banyak melalaikannya karena emosi dan hasrat jiwa
terkadang mengalahkan ilmu yang telah dimiliki. Kalau sudah begitu maka
perasaan, hasrat, dan keinginan yang jelek terkadang dituruti tanpa terasa.
Tentunya hal ini tidak boleh terjadi bagi yang telah menimba ilmu dan juga bagi
orang awam semuanya. Agar perasaan riya', ingin tenar, dan seabrek hasrat
tercela lainnya tidak menjadi bumerang dan petaka bagi
pelakunya.
Imam
Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan,
"Amalan-amalan hati adalah pokok dari semua perkara, sedangkan amalan anggota
badan adalah sebagai pengikut, pelengkap, dan penyempurnanya. Niat dalam hati
ibarat roh dalam jasad, sedangkan amal perbuatan ibarat jasadnya. Apabila roh
berpisah dari jasad maka akan membawa kepada kematian. Demikian pula amal
perbuatan jika tidak diiringi dengan niat maka amalannya sia-sia belaka. Oleh
karena itu, mengetahui hukum-hukum hati lebih utama daripada mengetahui
hukum-hukum anggota badan, karena hati adalah asasnya, sedangkan anggota badan
adalah cabang darinya."
1.
Penulis
banyak mengambil manfaat dari risalah Huzhuzhun Nafs oleh Abdul Malik
al-Qashim dengan tambahan referensi penting lainnya dari
penulis.
BENTENG
DIRI DARI HASRAT YANG TERCELA
Untuk
menepis hasrat jiwa yang jelek dan tercela harus dengan upaya dan usaha yang
ekstra kuat. Yaitu dengan cara menanamkan niat ikhlas yang kokoh dalam diri.
Ikhlas perkaranya tidak samar bagi kita, namun praktiknya begitu sulit bahkan
tanpa sadar kita sendiri malah terjatuh dalam perkara yang merusak keikhlasan
seperti riya'. Padahal ikhlas merupakan hakikat agama Islam, inti peribadatan
seorang hamba, syarat diterimanya amal, dan dakwahnya para rasul. Allah
عزّوجلّ menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS.
al-Bayyinah [98]: 5)
Allah
سبحانه و تعالى juga berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk [67]:
2)
Imam
Fudhail bin Iyadh رحمه الله tatkala menafsirkan ayat Siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya beliau mengatakan, "Maksudnya ialah yang paling ikhlas dan paling
benar." Kemudian ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling
benar, beliau menjawab, "Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi tidak benar
maka tidak diterima, demikian pula apabila benar tetapi tidak ikhlas maka tidak
diterima pula, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Orang yang ikhlas adalah
yang beramal semata-mata karena Allah سبحانه و تعالى, sedangkan yang benar adalah orang yang mencontoh Nabi
صلى الله عليه وسلم dalam beramal. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya):
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat
kepada Rabbnya."1
Ketahuilah
wahai saudaraku, bahwa sebab orang mengerjakan riya' itu intinya kembali pada
tiga perkara:
Pertama:
Senang kepada pujian dan sanjungan dari manusia.
Kedua:
Lari dari celaan dan cemoohan.
Ketiga:
Tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia berupa harta, kedudukan, dan
lain-lain.2
Penyakit
ini sangat berbahaya bagi seorang manusia, bahkan bisa menjadi sebab su'ul
khatimah jika keadaannya terus demikian, karena lahirnya berbeda dengan apa yang
ada di dalam batinnya; kita berlindung kepada Allah سبحانه و تعالى darinya.
Ibnu
Taimiyah رحمه الله mengatakan, "Sesungguhnya perkara ikhlas merupakan amalan hati
yang paling penting dan termasuk dalam keimanan. Ikhlas sangat tinggi
kedudukannya, bahkan amalan hati secara umum lebih penting dan lebih besar
perkaranya daripada amalan anggota badan. Hendaknya seorang muslim tidak tertipu
bahwasanya amalan ketaatan tanpa diiringi rasa ikhlas dan niat yang jujur kepada
Allah tidak ada nilai dan pahalanya. Bahkan pelakunya berhak mendapat ancaman
yang keras, sekalipun amalan ketaatan yang ia kerjakan amalan yang tinggi
seperti sedekah dan jihad di jalan Allah dan selainnya."3
1.
Madarijus Salikin
2/93
2.
Huzhuzhun
Nafs
hlm. 8
3.
Huzhuzhun
Nafs
hlm. 2-3
BENTUK-BENTUK
HASRAT JIWA YANG TERCELA
1.
Gila pujian dan sanjungan
Maka
engkau akan melihat orang yang seperti ini merasa senang jika ada orang yang
memujinya. Jiwanya akan melayang dan merasa tinggi dengan pujian. Relung hatinya
selalu terpenuhi dengan keinginan untuk mendapat pujian manusia. Dirinya selalu
berusaha mencari muka di hadapan manusia walaupun harus berkorban dengan
harta.
Husain
bin Ziyad رحمه الله berkata, "Setan tidak akan membiarkan manusia hingga dia mampu
menipunya dari segala penjuru. Setan akan membujuknya agar mau membeberkan
amalan yang ia kerjakan."1
Orang
semacam ini, jika tersanjung dengan pujian dan merasa nyaman, ibaratnya berada
di sebuah tepi lautan yang akan membinasakannya. Maka tidak kita ragukan lagi
bahwa perbuatan tersebut termasuk bentuk riya' yang
dilarang.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Apabila seorang hamba ikhlas semata-mata karena Allah
عزّوجلّ, Allah سبحانه و تعالى akan memilih, menghidupkan hati, dan menyelamatkannya, hingga
dia berpaling dari hal-hal yang dapat merusak keikhlasan, berupa kejelekan dan
perbuatan yang keji. Berbeda dengan hati yang tidak ikhlas karena Allah
عزّوجلّ, sesungguhnya ia senantiasa berkeinginan, berkehendak dan
kecintaan yang mutlak. Senang dengan sesuatu yang menyenangkan hati, menekuni
apa yang dicintai, bagaikan ranting yang tertiup angin maka ia akan condong ke
arahnya. Kadang kala menariknya gambar-gambar yang diharamkan dan yang tidak
diharamkan, ia bagaikan seorang budak dan tawanan, andai ada orang yang
mengambilnya untuk dijadikan budak dan pembantu maka sungguh ia budak yang
cacat, hina dan kurang. Kadang pula menariknya kepemimpinan, dan kedudukan,
sebuah kalimat membuatnya ridha dan benci. Orang yang memuji memperbudaknya
sekalipun dengan kebatilan, ia memusuhi orang yang mencelanya sekalipun ia
berada dalam kebenaran, kadang kala dinar dan dirham memperbudaknya pula atau
perkara-perkara lain yang menjadikan hati bagaikan seorang budak, hati senang
kepada-nya, maka ia pun menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah, mengikuti
hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah عزّوجلّ."2
1.
Idem
hlm. 3
2.
Majmu’
Fatawa
10/216
2.
Banyak menceritakan kebaikan amalannya
Orang
semacam ini selalu berhasrat untuk menceritakan amalan yang telah ia kerjakan
dari kepayahan, berat dan susahnya. Sekilas, orang seperti ini cinta agama dan
amalan kebajikan, padahal yang mengurat dalam hati adalah keinginan menonjolkan
amalannya di depan orang lain, berhasrat untuk mendapatkan hati manusia,
kedudukan yang mulia, dan pujian yang banyak.
Imam
al-Qurthubi رحمه الله mengatakan, "Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia
dengan ibadah dan asal niatnya adalah mencari kedudukan di dalam hati
manusia."1
1.
Tafsir
al-Qurthubi
20/212
3.
Menyandarkan pekerjaan kelompok pada dirinya
Engkau
akan melihat bahwa orang yang seperti ini hasrat dan keinginannya adalah
menonjolkan diri di hadapan ketua, mudir, atau lainnya bahwa dirinya
adalah orang yang telah melakukan pekerjaan semuanya, ingin dilihat bahwa dia
adalah orang yang punya ide cemerlang hingga terwujud pekerjaan. Hasrat seperti
ini kadang-kadang membawanya sampai pada perbuatan mengaku-aku telah mengerjakan
sesuatu padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sangat tepat gambaran al-Qur'an
akan orang semacam ini dalam firman-Nya:
لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن
يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ
الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah
sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah
mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum
mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan
bagi mereka siksa yang pedih. (QS. Ali 'Imran [3]:
188)
4.
Menampakkan sikap tawadhu'
Semisal
dengan menampakkan badan yang kurus dan pucat, agar orang menyangkanya se-bagai
ahli ijtihad dan ibadah, orang yang selalu sedih memikirkan agama dan takut
akhirat. Seperti ini pula orang yang pura-pura berbicara dengan suara yang
serak, mata sayup, badan seolah-olah lemas agar menunjukkan kepada manusia bahwa
dia orang yang banyak puasa dan ibadah!!
Imam
Ibnul Jauzi رحمه الله mengatakan,
"Alangkah sedikitnya orang yang beramal ikhlas karena Allah عزّوجلّ. Karena kebanyakan manusia cinta untuk menampakkan ibadahnya.
Ketahuilah, meninggalkan pandangan manusia dan menghilangkan hasrat mendapat
hati dari manusia dengan amalan, dan membersihkan niat serta menutup keadaan
dialah orang yang terangkat kedudukannya."1
1.
Shaidul
Khathir
1/249
5.
'Ujub (bangga diri)
'Ujub
termasuk kotoran yang dapat merusak amalan seorang hamba, menafikan keikhlasan
dan membatalkannya, mendatangkan kerendahan di sisi Allah menjauhkan seseorang
dari introspeksi (mawas diri), membutakan mata hati hingga lupa terhadap aib dan
kekurangan sendiri.
Berkata
Abdullah Ibnul Mubarak رحمه الله, "'Ujub adalah engkau merasa pada irimu ada sesuatu yang tidak
dimiliki oleh orang lain."1
Berkata
Imam Qarrafi رحمه الله, "'Ujub adalah engkau memperlihatkan ibadah dan membanggakannya
di hadapan orang lain.”2
Rasulullah
bersabda tentang bahayanya 'ujub:
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهُـوَى مُـتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ
الْـمَرْءِ بِنَهْسِهِ
"Ada
tiga perkara yang membinasakan: kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti
dan bangganya seorang hamba terhadap dirinya sendiri."3
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله "Riya' termasuk syirik terhadap makhluk, sedangkan 'ujub
termasuk syirik terhadap diri sendiri dan inilah keadaan orang yang sombong.
Maka orang yang riya' tidak merealisasikan ayat Allah عزّوجلّ Hanya
kepada-Mu aku beribadah,
sedangkan orang yang 'ujub tidak merealisasikan ayat Allah سبحانه و تعالى Hanya
kepada-Mu kami meminta tolong.
Maka barangsiapa yang merealisasikan ayat Hanya kepada-Mu kami beribadah
akan keluar dan selamat dari riya', dan orang yang merealisasikan ayat Hanya
kepada-Mu kami meminta tolong akan keluar dan selamat dari 'ujub."4
1.
Siyar
A'lam Nubala'
8/407
2.
Ma'alim
fis Suluk
hlm. 94
3.
HR.
Thabrani dalam al-Ausath 5584, Baihaqi dalam Syu'abul Iman 2/382,
dihasankan al-AIbani dalam ash-Shahihah: 1802.
4.
Majmu’
Fatawa
10/277
6.
Menjelekkan
orang lain agar dirinya terpuji
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله "Di antara sebagian manusia ada yang memoles ghibah
(gunjingan) dalam bentuk yang indah dan beragam. Kadangkala karena alasan agama
dan kebaikan ia berkata: 'Saya tidak menyebutkan orang kecuali kebaikan, saya
tidak suka ghibah dan dusta, hanya saja saya mengabarkan kepada kalian keadaan
yang sebenarnya, demi Allah عزّوجلّ dia orang yang baik tetapi sayang dia begini dan begitu.' Tujuan
dari hal ini tiada lain adalah memojokkannya, beralasan demi kebaikan dan agama.
Sebagian yang lain berbuat ghibah karena hasad. Maka orang yang semacam ini
telah mengumpulkan dua perkara yang sangat keji. Sebagian yang lain lagi berbuat
ghibah dalam bentuk kekaguman. Semisal dia berkata: 'Saya kagum dengan dia,
tetapi bagaimana mungkin dia tidak melakukan ini dan itu.' Atau ia berkata:
'Saya heran dengan dia, bagaimana bisa ia terjatuh dalam perkara semacam ini!'
Melakukan ghibah dengan bentuk keheranan dan kagum, inilah penyakit hati yang
paling besar dan penipuan terhadap Allah سبحانه و تعالى serta
para makhluk-Nya."1
1.
Majmu’
Fatawa
28/237-238 — secara ringkas
7.
Merendahkan diri di hadapan manusia agar mendapat
pujian
Adakalanya
seseorang merendahkan diri dan mencela dirinya sendiri di hadapan orang banyak.
Dengan begitu dia berharap agar manusia menilainya sebagai orang yang rendah
diri sehingga terangkatlah pamornya, yang kemudian mereka memujinya. Perkara
semacam ini termasuk pintu-pintu riya' yang sangat halus.
Mutharrif
bin Abdullah رحمه الله mengatakan, "Cukuplah seseorang dikatakan memuji dirinya dengan
mencela dirinya sendiri pada khalayak ramai. Seolah-olah dia menghendaki
kebaikan padahal di sisi Allah merupakan kejahilan."1
1.
Ma'alim
fis Suluk
hal.83
8.
Menampakkan diri seolah-olah orang yang sibuk
Untuk
menonjolkan diri, Anda akan dapati sebagian orang mengaku sebagai orang yang
sibuk. Pengakuannya ini dia jadikan tameng untuk menolak tugas atau
amanat—sekalipun itu hanya sebuah amalan ringan—sehingga pamornya terangkat di
mata manusia, bahkan kabarnya sebagai orang sibuk tersebar di khalayak manusia.
Orang yang semacam ini bisa jadi niatnya hanya ingin riya' atau hanya dusta
belaka. Termasuk cerita yang menggelikan berkaitan dengan hal ini, diceritakan
ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita. Ketika lamaran, lald-laki
tersebut berkata kepada calon istrinya: "Saya adalah orang yang sibuk dalam
medan dakwah dan kegiatan lainnya, bisa jadi saya tidak punya waktu untuk
memberikan sebagian hak anti sebagai istri nanti." Maka wanita itu pun
menolak lamarannya seraya berkata, "Bisa jadi orang ini hanya dusta belaka atau
orang yang riya'. Dusta karena pengakuannya atau riya' karena ingin martabatnya
naik di mataku, karena bagaimana dia bisa demikian, mana dirinya (dibandingkan)
dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, mana dirinya (dibandingkan) dengan para ulama yang tetap
bekerja?!!"1
1.
Huzhuzhun
Nafs
hlm. 7
JANGAN
TERTIPU DENGAN AMALAN ANDA!
Saudaraku,
seluruh amalanmu yang telah engkau kerjakan adalah sedikit di sisi Allah
سبحانه و تعالى meski menurut pandanganmu sebesar gunung. Tanamkan dalam dirimu
perasaan takut dan harap. Ingatlah ucapan Ibnu Auf رحمه الله, "Janganlah engkau merasa percaya diri dengan banyaknya amalan
karena sesungguhnya engkau tidak tahu apakah amalanmu diterima ataukah tidak.
Amalanmu tidak engkau ketahui hakikatnya."1
Wahai
saudaraku, jagalah amalanmu dengan keikhlasan, sembunyikanlah kebaikanmu
sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekanmu. Berbahagialah dengan kebaikan
yang besar jika engkau telah berbuat ikhlas karena Allah Ta’ala
semata.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Satu jenis amalan terkadang seorang hamba
mengerjakannya dengan sempurna, ikhlas karena Allah سبحانه و تعالى, maka Allah عزّوجلّ mengampuni dosanya sampai dosa besar sekalipun, sebagaimana
hadits bithagah (kartu). Ini adalah keadaan orang yang mengucapkan
kalimat tauhid dengan ikhlas. Karena para penduduk neraka yang mengerjakan dosa
besar mereka juga mengucapkan kalimat tauhid, tetapi ucapan mereka tidak bisa
mengalahkan dosa dan kejelekan mereka, berbeda dengan pemilik bithaqah yang
ucapannya bisa mengalahkan amalan-amalan jelek. Demikian pula hadits yang
bercerita seorang wanita pelacur yang memberi minum seekor anjing, Allah
سبحانه و تعالى mengampuni dosanya disebabkan perbuatannya. Wanita yang memberi
minum anjing ini melakukannya dengan keimanan yang ikhlas dari lubuk hatinya,
sehingga Allah عزّوجلّ mengampuninya,
karena tidak setiap wanita pelacur yang memberi minum anjing mereka juga akan
diampuni. Maka amalan itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan iman dan
pengagungan yang ada di dalam hati."2
1.
Jami’ul
Ulum wal Hikam
1/174
2.
Minhajus
Sunnah
6/218
MUTIARA
HIKMAH SALAFUSH SHALIH
1.
Ahmad
bin Qudamah رحمه الله berkata, "Ketahuilah, bahwasanya Allah عزّوجلّ telah memberikan nikmat, berbuat baik dan membaguskan amalanmu,
maka tidaklah layak bagi seseorang untuk bangga terhadap amalannya, tidak pula
orang yang alim terhadap ilmunya, karena semua itu keutamaan dari Allah
سبحانه و تعالى semata."1
2.
Berkata
Sahabat yang mulia Zubair bin Awwam رضي الله عنه, "Barangsiapa di antara kalian yang mampu merahasiakan amalannya
yang shalih maka hendaklah ia mengerjakannya."2
3.
Semoga
Allah سبحانه و تعالى merahmati Sahabat yang mulia Umar bin Khaththab رضي الله عنه tatkala
berkata, "Barangsiapa yang niatnya ikhlas di dalam kebenaran maka Allah akan
cukupkan di antara manusia, dan barangsiapa yang berhias dengan apa yang tidak
ia miliki, maka Allah عزّوجلّ akan jelekkan."3
4.
Hasan
al-Bashri رحمه الله mengatakan, "Semoga Allah سبحانه و تعالى merahmati orang yang tidak cemburu dengan banyaknya orang yang
melihat terhadap seseorang. Wahai anak Adam, engkau akan mati seorang diri,
engkau akan masuk liang kubur seorang diri, engkau akan dibangkitkan seorang
diri, engkau akan dihisab seorang diri."4 []
1.
Mukhtashar
Minhaj al-Qashidin,
hal. 257
2.
Ma'alim
fis Suluk
Hal.88
3.
Al-Ikhlash
wa Syirk Ashghar
hlm. 16
4.
Hilyah
al-Auliya'
1/276
Ustadz Abu Unaisah Syahrul Fatwa bin
Lukman خفظه الله
Labels:
Nasihat
Keine Kommentare: