KAIDAH-KAIDAH PENTING DALAM MU'AMALAH
Segala
puji bagi Alloh Ta'ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, dan yang
telah mengutus Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم dengan al-Qur'an dan sunnahnya, sehingga
tegaklah Islam ini dengan berbagai pokok dan landasan serta kaidah-kaidah dalam
segala aspeknya.
Sungguh
merupakan ciri khas agama Islam yang sempurna ini di antaranya, Islam
menjelaskan segala apa yang berkaitan dengan manusia, baik dalam masalah ibadah
ataupun mu'amalah/ kehidupan sehari-hari. Maka apa yang dikatakan sebagian
manusia bahwa Islam ini hanya mengurusi masalah akhirat saja adalah satu syubhat
yang sangat lemah dan telah dibantah oleh Alloh dalam al-Qur'an-Nya. Salah satu
buktinya, satu ayat yang paling panjang dalam al-Qur'an ternyata membahas
masalah hutang piutang di antara manusia (lihat QS. al-Baqarah: 282).[1]
Ini merupakan bukti bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dibanding
agama-agama yang lainnya. Maka dari sanalah di ambil berbagai hukum dan
ketentuan yang pasti akan sesuai pada setiap zaman dan setiap tempat, sampai
masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah pun
sebenarnya bisa digali hukumnya dari nash-nash yang telah ada, sehingga tidak
ada perkataan bahwa hukum-hukum Islam itu kaku/kolot dan tidak sesuai dengan
zaman. Maka bagi seorang yang menginginkan kebenaran dalam mengurusi kehidupan
sehari-harinya, hendaknya mempelajari kembali dan memahami dengan benar
al-Qur'an dan as-Sunnah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya,
terutama masalah-masalah mu'amalah baru (bukan ibadah) yang belum pernah terjadi
pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, yang membutuhkan
pemikiran dan penerapan dalil serta penggalian perkataan dan pendapat para ulama
untuk diterapkan dalam masalah tersebut.
Sehubungan
banyaknya pertanyaan yang berkaitan dengan fiqh mu'amalah (seperti jual beli,
pegadaian, sewa-menyewa, wasiat, dan lainnya), maka pada edisi kali ini sebelum
kami menjelaskan permasalahan-permasalahan yang rinci tentang fiqh mu'amalah,
baik dan perlu diketahui beberapa kaidah penting sebelum kita melakukan satu
transaksi seperti yang kita sebutkan dalam contoh di atas. Kaidah-kaidah ini
amatlah penting sebagai tolok ukur sah dan tidaknya suatu transaksi mu'amalah
dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga mudah bagi kita menerapkan kaidah
ini pada transaksi apa saja terutama masalah-masalah baru yang tidak ada nash
dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Di antara kaidah-kaidah itu:[2]
1. Teks Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ
إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ
مِنْهُ شَيْئاً فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ
لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ
إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا
مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيراً أَو كَبِيراً إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ
تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ
فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli. dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah. Allah mengajarmu. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.
Al-Baqarah[2]: 282) ~Ibnu Majjah
2. Kaidah-kaidah yang kami sebutkan ini sebagian besar dinukil dari
al-Hawafiz at-Tijariyah at-Taswiqiyah wa Ahkamuha fil Fiqh al-Islami oleh
DR Khalid bin Abdullah al-Mushlih, dan kami tambahkan beberapa keterangannya
dari al-Qawaid al-Fiqhiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syarahnya oleh
DR. Sami ash-Shuqair (masih dalam manuskrip), dan juga kami tambahkan beberapa
keterangan dan kitab Taisirul Allam dan Taudhihul Ahkam oleh Syaikh
al-Bassam.
1.
ASAL HUKUM MUAMALAH ADALAH HALAL DAN DIBOLEHKAN
Asal
hukum mu'amalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, dan lain sebagainya.
adalah halal dan dibolehkan sebagaimana asal hukum segala sesuatu yang ada di
bumi itu halal dan dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini adalah
pendapat jumhur ulama, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i, madzhab Hanbali, dan
sebagian besar ulama madzhab Hanafi, bahkan Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan, "Sebagaian ulama mengatakan ini
adalah kesepakatan para ulama."[1]
Dalil Kaidah
a. Dalil Umum, firman Alloh Ta'ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ
جَمِيعاً
Dialah (Alloh) yang menciptakan semua apa yang ada di muka bumi ini
untuk kalian. (QS. al-Baqarah: 29)
b. Dalil Khusus, seperti firman Alloh Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ
بِالْعُقُودِ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS.
al-Ma'idah: 1)
Ayat ini mencakup semua akad perjanjian, baik itu perjanjian manusia kepada Alloh atau sesama makhluknya.
Alloh memerintahkan supaya manusia memenuhi akad-akad itu semuanya, dan ini
menunjukkan bahwa pada asalnya hukum mu'amalah adalah boleh dan halal,
seandainya akad-akad itu hukumnya haram, pasti Alloh tidak akan memerintahkan
manusia untuk memenuhinya.
Juga firman Alloh عزّوجلّ yang
lain:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
al-Baqarah: 275)
Dalam ayat ini Alloh menghalalkan berbagai macam jual beli dan
perdagangan karena di dalamnya ada maslahat manusia secara umum dan mengharamkan
riba karena di dalamnya terdapat kezhaliman, dan makan harta orang lain dengan
cara batil. Ini menunjukkan bahwa asal hukum dalam mu'amalah halal dan
dibolehkan selagi tidak ada di dalamnya kezhaliman dan makan harta orang lain
dengan cara batil.[2]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari al-Qur'an yang semakna dengan
di atas sebagaimana pula hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang menjelaskan bahwa
segala sesuatu yang tidak disebutkan halal dan haramnya maka hal itu termasuk
halal dan dibolehkan.
1. Lihat al-Asybah wan Nadza'ir hal. 66, al-Kharsyi ‘ala
Mukhtashar Khalil 5/149, Syarh al-Minhaj lil Baidhawi 2,751, Syarh
Mukhtashar Raudhah 1/399, I'lam al-Muwaqqi'in 1/344, dan Jami'
al-Ulum wal Hikam 2/166.
2. Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah
20/349.
2. HARUS BERLAKU ADIL DAN TIDAK ZHALIM
Adil dan zhalim adalah dua kata yang saling bertolak belakang. Oleh
karena itulah, Alloh memerintahkan berbuat adil dan mengharamkan perbuatan
zhalim. Alloh عزّوجلّ berfirman dalam
perintah-Nya berbuat adil:
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Berbuatlah adil kalian, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
(QS. al-Ma'idah: 8)
Dalam satu hadits qudsi, Alloh عزّوجلّ
berfirman:
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي
وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku dan
Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian. (HR. Muslim 2577 dari riwayat
Abu Dzar رضي الله عنه)
Telah kita maklumi bersama, zhalim adalah perbuatan yang tercela.
Bahkan semua agama dan syari'at yang ada di muka bumi pun mengharamkan perbuatan
zhalim dan menyeru berlaku adil, sebagaimana Alloh
berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا
مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
timbangan (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadid:
25)
Dan tatkala di dalam perdagangan, jual beli, dan lainnya terdapat
pintu-pintu yang terbuka lebar untuk masuknya perbuatan zhalim, maka keharaman
berbuat zhalim dan kewajiban berlaku adil adalah termasuk tujuan pokok
ditegakkan syari'at Islam ini.[1] Banyak sekali kita jumpai
dalil-dalil baik itu dalam al-Qur'an atau as-Sunnah yang memerintahkan manusia
berbuat adil dan melarang berbuat zhalim serta keharaman makan harta manusia
dengan cara yang batil, seperti firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ
Janganlah kalian makan harta sebagian kalian dengan jalan yang batil.
(QS. al-Baqarah: 188)
Maka dari dalil-dalil di atas, jelaslah bagi kita bahwa kezhaliman
itu haram hukumnya dan berlaku adil itu wajib dalam segala bentuk mu'amalah baik
itu perdagangan, jual beli, gadai, hutang piutang, dan
lain-lainnya.
1. Lihat Badai' at-Tafsir al-Jami' li Tafsir Ibnil Qayyim
4/91
3. TIDAK ADA UNSUR PENIPUAN/SPEKULASI
Unsur penipuan/spekulasi sangat dilarang dalam asas syari'at Islam
dalam fiqh mu'amalah seperti jual beli dan seluruh transaksi kepemilikan, atau
hak-hak yang lain. Hal ini dimaksudkan agar tegak kestabilan dan kemaslahatan
manusia, terjaga hak-hak dan harta-harta mereka, serta terselesaikannya
pertikaian dan perdebatan di antara manusia.[1]
Kaidah ini didasari oleh hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah رضي الله عنه, beliau
berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang jual beli dengan
unsur penipuan. (HR. Muslim, Kitab al-Buyu' 1513)
Dalam hadits ini tercakup beberapa bentuk transaksi jual beli yang
diharamkan yang di dalamnya ada unsur penipuan/spekulasi seperti jual beli anak
hewan yang masih dalam kandungan, jual beli sesuatu yang tidak dimiliki, jual
beli buah-buahan di atas pohon yang belum siap dipanen, jual beli sesuatu yang
sedang hilang, dan sebagai-nya yang di dalamnya ada unsur
spekulasi/ketidakpastian pada salah satu pihak.[2]
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa larangan adanya unsur tipuan ini
tidak secara mutlak mencakup segala tipuan/spekulasi pada masalah-masalah yang
sekecil-kecilnya yang tipuan ini tidak ada unsur kesengajaan, atau mau tidak mau
harus terjadi dalam suatu transaksi walau sekecil apa pun, karena setiap
transaksi tidak akan lepas dari tipuan yang sifatnya sangat kecil. Suatu contoh
seorang yang membeli suatu barang dan telah terpenuhi syarat dan rukun jual
beli, sedangkan si pembeli tidak tahu apakah barang itu bisa tahan sampai
setahun atau kurang dari itu, atau dia tidak tahu terbuat dari apa barang
tersebut; ini adalah suatu tipuan yang mesti ada dalam jual beli, akan tetapi
tipuan seperti ini tidak dianggap dalam aturan jual beli dalam
Islam.
Oleh karena itu, para ulama memberikan kriteria-kriteria unsur
tipuan/spekulasi yang dibolehkan yang tidak mempengaruhi sahnya suatu transaksi
yang dilakukan, di antaranya:
1. Lihat Hasyiyah ar-Raudh an-Nadhir 3/241.
2. Lihat al-Mu'lim bi Fawa'id al-Muslim
2/244-245.
a. Hendaknya spekulasi itu tergolong sedikit dan mesti terjadi tanpa
adanya unsur kesengajaan
Para ulama telah sepakat bahwa sedikitnya tipuan/spekulasi yang mesti
terjadi tanpa unsur kesengajaan dalam suatu transaksi tidak menggugurkan sahnya
transaksi tersebut.[1] Sebagai contoh, apabila seorang
menyewa satu kamar mandi, jelas pemilik kamar mandi tidak tahu berapa banyak air
digunakan si penyewa atau berapa lama dia berada di kamar mandi; maka spekulasi
ini sama sekali tidak mempengaruhi sahnya transaksi
tersebut.
b. Spekulasi itu tidak bisa dielakkan kecuali dengan adanya
kesulitan
Para ulama bersepakat apabila dalam transaksi ada unsur spekulasi
yang tidak bisa dielakkan kecuali dengan adanya kesulitan, seperti seorang yang
membeli satu karung buah mangga dan ternyata ada satu atau dua dari buah mangga
itu yang belum masak, maka ini sama sekali tidak mempengaruhi sahnya jual beli
tersebut, karena hal ini tidak mungkin atau sulit sekali dielakkan.[2]
c. Apabila ketidakpastian itu termasuk kebutuhan manusia secara
umum
Apabila manusia secara umum membutuhkan suatu transaksi yang di
dalamnya ada spekulasi/ ketidakpastian yang harus terjadi, maka hal ini tidak
mempengaruhi sahnya transaksi tersebut. Sebagai contoh dan sekaligus sebagai
dalilnya, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم melarang jual beli
buah-buahan yang ada di pohonnya yang belum matang,[3] kemudian beliau memberi rukhshah
(keringanan) bolehnya membeli buah yang ada di pohon yang sudah matang kemudian
dibiarkan sampai benar-benar siap dipanen. Maka seperti ini dibolehkan karena
berhubungan dengan kebutuhan manusia secara umum walaupun di dalamnya ada unsur
ketidakpastiannya, misalnya sebagian dari buah-buahan tadi ada yang tidak matang
waktu dipanen atau masih muda ketika dipanen sehingga tidak layak dimakan dan
sebagainya.[4]
d. Apabila spekulasi itu sekedar cabang permasalahan, sedang pokok
permasalahannya bukan murni spekulasi
Dalam satu kaidah fiqih "Kadang-kadang sesuatu itu dibolehkan
kalau sekedar cabang atau pengikut saja, akan tetapi tidak dibolehkan kalau
dijadikan pokok atau asal yang disendirikan".[5] Sebagai contoh, dibolehkan
menjual binatang yang sedang hamil walaupun tidak diketahui berapa ekor yang ada
dalam perut binatang tersebut, sedangkan haram hukumnya menjual isi perut
binatang yang sedang hamil saja tanpa menjual induknya.
e. Apabila ketidakpastian itu terjadi pada transaksi pemberian semata
yang sifatnya bukan timbal balik, seperti sedekah, hibah, wasiat, dan
lainnya
Transaksi yang sifatnya timbal balik seperti jual beli, sewa-menyewa,
dan lain lain, tidak dibolehkan di dalamnya terjadi unsur spekulasi. Berbeda
dengan transaksi pemberian yang di dalamnya tidak ada unsur timbal baliknya,
maka tidak dilarang adanya unsur spekulasi di dalamnya. Sebagai contoh, seorang
yang mengatakan kepada temannya, "Aku sedekahkan rumahku ini buat kamu", maka
hal ini sah dan dibolehkan walaupun si penerima sedekah itu tidak tahu pasti apa
yang ada dalam rumah tersebut, berapa jumlah kamarnya, kondisinya bagus atau
buruk, masih layak dipakai atau tidak, dan sebagainya. Berbeda kalau seandainya
orang tadi menjual rumahnya kepada orang lain, maka pembeli harus tahu apa yang
ada di dalam rumah tersebut, berapa jumlah kamarnya, bagaimana kondisinya, dan
sebagainya.
1. Lihat al-Majmu' 9/258.
2. Lihat al-Majmu' 9/258.
3. HR. Bukhari kitab al-Buyu' 2194.
4. Lihat al-Majmu' 20/341 dan l'lam al-Muwaqi'in
2/6-7.
5. Lihat Manzhuma al-Qawa'id al-Fiqhiyah oleh ibnu Utsaimin no.
77.
4. TIDAK ADA UNSUR RIBA DALAM TRANSAKSI
Riba menurut istilah fuqaha terbagi menjadi dua
bagian:
a. Riba
jahiliyah/al-qardh; jenis ini kita kenal dengan riba bunga, renten, atau bunga hutang
dan yang sejenisnya.
b. Riba jual
beli; jenis riba ini tebagi menjadi dua macam yaitu riba al-fadhl
dan riba nasi'ah. Jenis riba yang ini jarang diketahui kebanyakan
manusia, khususnya para pedagang di negeri kita. Riba ini insya Alloh akan kita
jelaskan dalam kesempatan yang lain.
Dua jenis riba di atas telah diharamkan dalam al-Qur'an dan
hadits-hadits yang shahih, serta dengan kesepakatan para ulama. Alloh
عزّوجلّ
berfirman:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.
al-Baqarah: 275)
Dan Nabi kita صلى الله عليه وسلم, telah melarang praktek
riba ini dengan dengan ancaman laknatnya kepada para pelaku riba.
Sabdanya:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ
Dari Jabir رضي الله عنه ia berkata, "Rasulullah
صلى الله عليه وسلم melaknat orang yang makan
riba, orang yang memberi makan dengan hasil riba, penulisnya, dan kedua
saksinya." (HR. Bukhari 2086 dan Muslim 1598 dalam kitab
al-Musaqat)
5. TIDAK ADA UNSUR JUDI/ TARUHAN/MENGUNDI
NASIB
Imam Mawardi رحمه الله dalam kitabnya al-Hawi
al-Kabir (19/225) mengatakan bahwa yang dimaksud perjudian di sini ialah
apabila seorang melakukan transaksi yang dia tidak lepas antara untung dan
rugi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam kitabnya Majmu' Fatawa (32/237) mengatakan, "Maka
jelaslah bahwa perjudian mengandung dua mafsadat/kerusakan. (Yang pertama)
mafsadat dalam harta itu sendiri yaitu salah satu pihak yang untung akan
mengambil harta orang lain dengan cara batil. (Yang kedua) mafsadat dalam
perbuatan tersebut, di antaranya kerusakan harta itu sendiri, kerusakan hati dan
akal pelakunya, kerusakan hubungan antara sesama, dan masing-masing kerusakan
tersebut telah dilarang dengan larangan yang tersendiri."
Maka dari definisi yang telah disebutkan di atas bisa kita ambil satu
contoh; seandainya ada seseorang menyewa sebuah rumah dengan akad kontrak
perbulannya dia akan membayar ongkos sewa rumah dengan separuh penghasilannya,
maka ini termasuk perjudian karena masing-masing pelaku transaksi ini tidak
lepas dari dua hal yaitu untung atau rugi,[1] lantaran tidak dapat dipastikan
berapa penghasilan penyewa rumah tersebut setiap bulannya.
Keharaman perjudian ini telah ditegaskan oleh Alloh Ta'ala dalam
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن
يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم
مُّنتَهُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras,
perjudian, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya setan
itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran
minum minuman keras dan berjudi, serta menghalangi kamu dari ingat Alloh dan
menegakkan shalat, maka kenapa kalian tidak menghentikan (perbuatan tersebut)?
(QS. al-Ma'idah: 90-91)
Dua ayat tersebut di atas menunjukkan dengan jelas haramnya perjudian
karena Alloh menyatakan itu adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, dan
perintah supaya dijauhi. Kemudian Dia menjelaskan, perbuatan tersebut
menyebabkan timbulnya permusuhan, kebencian, mencegah dari mengingatAlloh, dan
menghalangi shalat, lantas menguatkan larangan-Nya dengan perintah supaya
menghentikan perbuatan itu. Hal ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut
dengan jelas dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Dalam satu hadits, Rasulullah صلى الله عليه وسلم
mengatakan:
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ
فَلْيَتَصَدَّقْ
Barangsiapa berkata kepada kawannya, "Marilah ke sini, aku bermain
judi denganmu", maka (kafarahnya adalah) hendaknya ia bersedekah. (HR. Bukhari,
kitab at-Tafsir 4860)
Dalam hadits ini, Nabi صلى الله عليه وسلم mengharuskan orang yang
sekedar mengajak berjudi untuk membayar kafarah berupa sedekah, maka ini
menunjukkan bahwa judi jelas-jelas haram.
Dari dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwa perjudian adalah
semua bentuk transaksi yang pelakunya tidak lepas dari untung atau rugi
disebabkan oleh ketidakjelasan dan mengundi nasib dan menimbulkan permusuhan
serta kebencian sesama manusia.[2]
1. Lihat l'lam al-Muwaqqi'in 1/387.
2. Lihat Syarhus Sunnah 6/279 oleh Imam
al-Baghawi.
6. IJAB QABUL DALAM TRANSAKSI TIDAK HARUS DENGAN LAFAZH
TERTENTU
Sebagian fuqaha mensyaratkan sahnya suatu transaksi harus disertai
ungkapan berupa ijab dari pihak pertama, dan qabul dari pihak kedua. Sebagai
contoh, mereka mengharuskan bahwa jual beli tidak sah kecuali si penjual
mengatakan (ijab) "Aku jual barang ini" dan pembeli menjawab (qabul)
"Aku beli barang ini". Maka suatu transaksi jual beli tidak sah kecuali
harus disertai dengan ijab dan qabul seperti ini (atau
semisalnya).
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa ijab
dan qabul tidak harus dengan lafazh/kalimat-kalimat tertentu, bahkan segala
transaksi akan sah dengan ijab qabul berbentuk apa saja, baik perkataan,
perbuatan, atau dengan sikap yang menunjukkan kerelaan masing-masing pelaku
transaksi. Oleh sebab itu, seandainya penjual mengatakan "Ambillah barangku
ini!" kemudian pembeli menjawab "Baiklah", maka sahlah jual beli
tersebut. Atau seandainya penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli, kemudian
pembeli menyerahkan uang dengan harga yang disepakati, kemudian keduanya tidak
mengucapkan sepatah kata apa pun, maka sahlah jual beli tersebut. Hal ini
dianggap sah karena yang menjadi syarat adalah kerelaan dan ridha kedua belah
pihak, sebagaimana firman Alloh عزّوجلّ:
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Kecuali harta perniagaan dengan sama rela di antara kalian. (QS.
an-Nisa': 29)
Kemudian yang mendasari pendapat ini, di antaranya karena tidak ada
satu pun dalil menunjukkan bahwa suatu transaksi tidak sah kecuali dengan ijab
dan qabul dengan perkataan-perkataan tertentu, sedangkan hukum asal dari segala
transaksi dan mu'amalah adalah halal dan dibolehkan sebagaimana dalam kaidah
yang telah disebutkan di atas.
IBRAH
Dari penjelasan di atas, dapat kita ambil ibrah bahwa praktek-praktek
jual beli dengan menggunakan mesin-mesin modern, yang mana pembeli cukup
memasukkan beberapa uangnya kemudian keluarlah barang yang diinginkan. Transaksi
seperti ini sah walaupun tidak terdapat ijab dan qabul, dan syarat kerelaan dari
kedua belah pihak telah terpenuhi, adapun pihak penjual di sini bentuk
kerelaannya adalah dengan meletakkan mesin tersebut di tempat-tempat yang
diinginkan, dan kerelaan si pembeli di sini adalah dengan memasukkan uangnya ke
mesin tersebut, maka terpenuhilah syarat rela sama rela dari kedua belah
pihak.[1]
Inilah beberapa kaidah penting untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu transaksi mu'amalah. Sehingga diharapkan akan memudahkan kita
menerapkannya pada bentuk-bentuk transaksi mu'amalah yang lainnya, terutama
transaksi-transaksi baru yang tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah
صلى الله عليه وسلم dan tidak terdapat nash
dalil, baik dalam al-Qur'an atau hadits-hadits yang shahih. Mudah-mudahan
bermanfaat. Allohu A 'lam.[]
1. Lihat ar-Raudhah an-Nadiyah oleh Shiddiq Hasan Khan dalam
muqadimah kitab al-Buyu'.
Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM خفظه الله
Labels:
Fiqh
Keine Kommentare: