Muharram (suro) Bulan Keramat?
1. MUHARRAM ADALAH BULAN YANG MULIA
Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah[9]: 36)
Imam
Ath-Thabari rahimahullah berkata : “Bulan itu ada dua belas, empat
diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu
mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan
tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh
ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhor,
dan tiga bulan berurutan, yaitu Dulqqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini
nyatalah khabat-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah Sholallahu 'alaihi wassalam”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa
hadits, diantaranya, Rasulullah Sholallahu 'alaihi wassalam bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram” Dan ini merupakan perkataan mayoritas ahli tafsir (Jami’ul Bayan 10/124-125)
Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Pada ayat ini terdapat delapan
permasalahan. Yang keempat : Bulan haram yang disebutkan dalam ayat adalah
Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang terletak antara Jumadal Akhir
dan Sya’ban. Dinamakan Rajab Mudhor, karena Robi’ah bin Nazar, mereka
mengharamkan bulan Rajab itu sendiri”. Kedelapan : “Allah menyebut secara khusus
empat bulan ini dan melarang perbuatan dzolim pada bulan-bulan tersebut sebagai
pemuliaan, walaupun perbuatan dzolim itu juga dilarang pada setiap waktu,
seperti firman Allah.
“Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)
Ini
menurut mayoriyas ahli tafsir Maksudnya janganlah kalian berbuat kedholiman pada
empat bulan tersebut. (Al-Jami Li Ahkamil Qur’an
4/85-87)
Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahه berkata : “Empat bulan tersebut adalah
Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram. Dinamakan haram karena kemuliaan yang
lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut” (Tatsiru
Karimir Rohmah Fi Tafsiri Kalamil Mannan
hal, 296)
Imam
Al-Baghawi rahimahullah berkata : “Janganlah kalian berbuat dzalim
pada semua bulan (dua belas bulan) tersebut dengan melakukan kemaksiatan dan
melalaikan kataatan”. Ada yang berpendapat bahwa kalimat “fiihinna”
maksudnya adalah empat bulan haram tersebut. Qotadah berkata : “Amalan shalih
pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dholim di dalamnya
merupakan kedholiman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun
yang namanya kedholiman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”. Ibnu Abbas rhodiallahuanhuma berkata : “Janganlah kalian berbuat dholim
pada diri kalian, yang dimaksud adalah menghalalkan sesuatu yang haram dan
melakukan penyerangan”. Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata : “Janganlah kalian
menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti perbuatan
orang-orang musyrik yaitu mengundur-undurkan bulan haram (yaitu pada bulan
Safar)’ (Ma’alimut
Tanzil
4/44-45)
Imam
Bukhari ketika menafsirkan ayat di atas (At-Taubah: 36) membawakan suatu
hadits, “Dari
Abu Bakrah rhodiallahuanhu dari Nabi Sholallahu 'alaihi wassalam, bersabda :
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban” (HR. Bukhari : 4662)
Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan :
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa empat bulan haram seperti termaktub dalam
hadits, tetapi mereka berselisih cara mengurutkannya. Sekelompok penduduk Kufah
dan Arab mengurutkan : Muharram, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, agar empat
bulan tersebut terkumpul dalam satu tahun. Ulama Madinah, Basrah dan mayoritas
ulama mengurutkan, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, tiga berurutan
dan satu bulan tersendiri (Rajab). Inilah pendapat yang benar sebagaimana
tertera dalam hadits-hadits yang shahih, diantaranya hadits yang sedang kita
perbincangkan.
Oleh
karenanya hal ini lebih sesuai (memudahkan) manusia untuk melakkan thawaf pada
semua buan haram tersebut. (Syarah
Muslim
10/319-320)
Termasuk
kemuliaan bulan-bulan haram adalah dilarangnya peperangan pada bulan tersebut.
Hanya saja larangan ini di-mansukh (dihapus) hukumnya menurut jumhur ulama.
Karena di dalam Islam peperangan itu terbagi menjadi dua, diijinkan dan
dilarang. Peperangan yang dijinkan dibolehkan bila adanya sebab. Sedangkan
peperangan yang haram itu dilarang kapan saja. Maka tidak ada lagi keistimewaan
bagi bulan-bulan haram kecuali sebatas kemulyaan yang sudah ditentukan pada
hari-hari sebelumnya yaitu terbatas pada waktu-waktu yang
utama.
Imam
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan : “Sesungguhnya Allah membuka
tahun dengan bulan haram dan menutupnya juga dengan bulan yang haram. Tidak ada
bulan yang paling mulya disisi Allah setelah Ramadhan (selain bulan-bulan haram
ini, -pen)”.
Pada
bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar
dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana
Allah telah menyelamatkan Musa 'alaihi wassalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan
kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi
sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. (Durusun
‘Aamun,
Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)
DISYARIATKAN
PUASA ASYURA
Berdasarkan
hadits-hadist berikut ini:
“Dahulu Rasulullah Sholallahu 'alaihi wassalam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” (HR. Bukhari 2001)
Tatkala Nabi Sholallahu 'alaihi wassalam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Mereka mengatakan :
”Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah”. Nabi Sholallahu 'alaihi wassalam bersabda ; “Saya lebih berhak atas Musa dari pada mereka”, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu” (HR. Bukhari 3397)
Labels:
Nasihat
Keine Kommentare: