Catatan Kaki:
- Miftah Dar Sa’adah Ibnu Qayyim 1/236
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali رحمه الله berkata1
“Ilmu bermanfaat adalah mempelajari
Al-Qur’an dan sunnah serta
memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum
halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya.
Pertama: Dia
berusaha terlebih dahulu memilah antara hadits shahih dan lemah.
Kedua: Dia berusaha
memahami makna kandungannya. Sungguh, pada semua itu terdapat kecukupan bagi
orang yang berakal dan kesibukan bagi orang yang ingin mendapatkan ilmu
bermanfaat.
Barangsiapa mengikhlaskan hatinya untuk
mengharap wajah Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, niscaya Dia akan
menolongnya, menunjukinya, memudahkannya, dan memahamkannya. Pada saat itulah,
ilmu ini akan membuahkan buahnya yang terpenting yaitu Khsyatullah (takut kepada
Allah), sebagaimana firman Allah سبحانه و
تعالي:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hambaNya, hanyalah ulama.[QS. Al-Fathir:
28]
|
Catatan Kaki:
- Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf (hal. 26)
عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ : مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ
وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ
نَفْسَهُ
Dari Jundub bin Abdillah berkata: Rasulullah
bersabda: “Perumpamaan seorang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada manusia
tetapi melupakan dirinya seperti lampu yang menyinari manusia tetapi membakar
dirinya sendiri”.1
|
Catatan Kaki:
- HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 1/84/2, al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ Ilmu Amal 70 dan dishahihkan al-Albani
dalam Tahqiqnya
Kebiasaan Imam Zuhri رحمه الله kalau masuk rumah, maka beliau
meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau menikmati
kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia lainnya. Suatu
saat isterinya pernah berkata padanya: “Demi Allah, sungguh kitab-kitab ini
lebih berat bagiku daripada tiga isteri sainganku!!!”.1
Ibnu Qayyim رحمه
الله berkata: “Guru kami (Ibnu Taimiyyah رحمه الله) pernah bercerita padaku:
“Ketika sakit menimpaku, seorang dokter berkata padaku: Sesungguhnya bacaanmu
dan pembicaraanmu tentang ilmu akan menambah sakitmu”.
Aku menjawab: Saya tidak bisa sabar menahan
hal itu. Sekarang jawablah pertanyaanku berdasarkan ilmu pengetahuanmu: Bukankah
hati apabila senang dan kuat maka akan mampu mengusir penyakit?
Jawab sang dokter: Ya, benar.
Aku berkata lagi: Demikian pula hatiku, dia
sangat senang dengan ilmu dan aku merasakan kegembiraan dengannya.
Dokter menjawab: “Ini keluar dari cara
pengobatan kami…”. 2
|
Catatan Kaki:
- Wafayatul A’yan
Ibnu Khallikan 4/177-178
- Raudhatul Muhibbin hal. 70
Kesabaran saat menuntut ilmu sangat
diperlukan. Coba perhatikan ucapan Imam Ahmad رحمه
الله: “Aku terus mempelajari permasalahan darah haidh
selama sembilan tahun sehingga aku memahaminya”.1
Perangilah penyakit malas bila menghampirimu
dan latihlah dirimu agar terbiasa dalam ilmu. Ikrimah رحمه الله berkata:
“Ibnu Abbas رضي الله
عنهما mengikat kakiku dalam mempelajari
Al-Qur’an dan
hadits”.2
Sungguh benar ucapan seorang
penyair:
النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ
عَلَى * حُبِّ
الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ
Jiwa itu seperti anak bayi, kalau kau
biarkan
Maka dia akan suka menyusu
Dan bila engkau menyapihnya diapun akan
berhenti.
|
Catatan Kaki:
- Thabaqat Hanabilah Ibnu Abi Ya’la 1/268
- Siyar A’lam
Nubala adz-Dzahabi 5/14
Ibnu Jama’ah al-Jinani berkata:
“Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya
mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal
itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa
kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan
mengambilnya dimanapun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang
memberikan kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari
kebodohan sebagaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari dari singa, dia
tidak akan peduli siapapun orangnya yang menunjukkan jalan keluar
kepadanya”.1
|
Catatan Kaki:
- Tadzkirah Sami’
fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87
|
|
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: قَالَتِ
النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ : غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا
مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ
وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ : مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ
ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ
امْرَأَةٌ : وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ : وَاثْنَيْنِ.
Dari Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah
para wanita berkata kepada Nabi: “Kaum lelaki lebih banyak bergaul denganmu
daripada kami, maka jadikanlah suatu hari untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka
suatu hari untuk bertemu dengan mereka guna menasehati dan memerintah mereka.
Diantara sabda beliau saat itu: “Tidak ada seorang wanitapun yang ditinggal mati
oleh tiga anaknya kecuali akan menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang
wanita bertanya: “Bagaimana kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab: “Sekalipun Cuma
dua”1
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata:
“Hadits ini menunjukkan semangat para wanita
sahabat dalam mempelajari masalah-masalah agama”.2
|
Catatan Kaki:
- HR. Bukhari 101
- Fathul Bari 1/259
Ma’an bin Aus memiliki sebuah syair indah yang bisa dijadikan
pelajaran berharga bagi setiap penuntut ilmu. Syairnya sebagai
berikut:
فَيَا عَجَبًا لِمَنْ رَبَّيْتُ طِفْلاً
* أُلَقِّمُهُ
بِأَطْرَافِ الْبَنَانِ
أُعَلِّمُهُ الرِّمَايَةَ كُلَّ يَوْمٍ
* فَلَمَّا اسْتَدَّ
سَاعِدُهُ رَمَانِي
أُعَلِّمُهُ الْفُتُوَّةَ كُلَّ
وَقْتٍ * فَلَمَّا طَرَّ
شَارِبُهُ جَفَانِي
وَكَمْ عَلَّمْتُهُ نَظْمَ
الْقَوَافِيْ * فَلَمَّا
قَالَ قَافِيَةً هَجَانِي
Sungguh mengherankan, orang yang kudidik
semenjak kecil
Aku menyuapinya dengan jari
tanganku
Aku mengajarinya memanah setiap
hari
Setelah pandai, dia malah memanahku
Aku mengajarkannya bermurah hati setiap
waktu
Setelah tumbuh kumisnya, dia malah berbuat
kasar padaku
Betapa seringnya aku mengajarinya
syair
Setelah bisa membuat satu syair, dia malah
mencaciku. 1
|
Catatan Kaki:
- Majma’
al-Amtsal al-Maidani 2/200. Bait kedua terdapat dalam al-Iqdu al-Farid Ibnu Abdi
Rabbihi 3/56 dan Adab Dunya wa ad-Diin al-Mawardi hal. 77. (Dari
al-Masu’ah
asy-Syi’riyyah DR. Badr bin
Abdullah an-Nashir 124-125)
9. JANGAN BERFATWA TANPA
ILMU
|
Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak malu
untuk mengatakan tentang suatu permasalahan yang tidak diketahuinya: “Saya tidak
tahu”. Sungguh, hal itu sama sekali tidak mengurangi derajat mereka, bahkan
meninggikan mereka. Ditambah lagi, bahwa hal itu memiliki beberapa faedah
berikut:
- Dia menunaikan kewajibannya.
- Dia akan segera mencari jawabannya baik oleh dirinya sendiri maupun
oleh orang lain, sebab seorang murid tatkala mendapati gurunya belum mengetahui
jawabannya, dia akan bersungguh-sungguh untuk mencari jawabannya lalu
menghadiahkan jawabannya tersebut kepada gurunya.
- Hal itu menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab
permasalahan.
- Sebagai pelajaran dan contoh bagi para muridnya. 1
|
Catatan Kaki:
- Lihat al-Fatawa as-Sa’diyyah Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di hal. 628-629
Soal: Terkadang kita perhatikan pada sebagian
penuntut ilmu kurangnya semangat dalam menimba ilmu. Apakah kiat-kiat yang dapat
menyembulkan semangat menuntut ilmu?
Jawab: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
رحمه الله
menjawab:
“Kurangnya semangat dalam menuntut ilmu
syar’i merupakan salah satu
musibah besar. Ada beberapa kiat yang dapat mengobatinya,
diantaranya:
Pertama: Ikhlas
karena Allah dalam menuntut ilmu. Seorang apabila memurnikan niatnya hanya untuk
Allah dalam menuntut ilmu dan menyadari bahwa dirinya mendapat pahala dalam
amalan tersebut niscaya dia akan bersemangat.
Kedua: Berteman
dengan teman-teman yang memberinya motivasi dalam menuntut ilmu dan membantunya
dalam dialog serta membahas permasalahan.
Ketiga: Melatih
dirinya untuk sabar dan membiasakan diri dalam menuntut ilmu. Adapun jika dia
melepas dirinya tanpa kendali maka dirinya akan mengajaknya kepada perbuatan
jelek dan Syetan akan mengajaknya untuk malas dalam menuntut ilmu”. 1
|
Catatan Kaki:
- Kitab Ilmu hal. 105
Oleh:
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
|
|
|
|
|
|
|
|
Keine Kommentare: