AKHLAK

[Akhlak][grids]

Aqidah

[Aqidah][twocolumns]

FIQIH

[Fiqh][bleft]

Keutamaan dan Kemuliaan llmu Bag.2



Tiga puluh lima. Allah berfirman,
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk mendalami pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri." (at-Taubah: 122) 
Allah mendorong orang-orang mukmin untuk memahami agama-Nya, yaitu mempelajarinya dan mengajarkannya kepada kaum mereka saat kembali. Terjadi perbedaan pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah tidak semua orang mukmin diharuskan pergi untuk belajar dan memahami agama Allah. Tetapi, seyogyanya dari satu kelompok terdapat beberapa orang yang pergi untuk belajar, kemudian ketika kembali orang-orang tersebut mengajari orang-orang yang tidak pergi. Jadi orang-orang yang pergi tersebut adalah orang-orang yang terpelajar. Adapun kata thaa'ifah adalah dipakai untuk satu orang atau lebih. Kelompok ini mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil diterimanya riwayat dari satu orang Qthabar al-wahid). Penafsiran inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi'i dan sekelompok ulama lainnya. Sedangkan, kelompok lainnya mengatakan bahwa maknanya adalah tidak seharusnya semua orang mukmin pergi berjihad. Tapi, hendaknya sebagian dari mereka berangkat jihad dan yang lain tinggal mendalami agama. Jika pihak yang pergi berjihad telah kembali, maka orang-orang yang tidak turut berjihad memahamkan dan mengajarkan pokok-pokok agama Allah dan persoalan halal-haram kepada mereka. Berdasarkan pendapat ini, maka perintah dalam kata-kata liyatafaqqahuu waliyundziruu adalah untuk orang-orang yang berangkat berjihad ketika kembali. Dan, ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Berdasarkan pendapat ini, maka nafar (orang-orang) yang dimaksud dalam ayat di atas adalah yang berangkat berjihad, karena lafal nafar biasanya dipakai dalam masalah jihad. Seperti dalam firman-Nya, 
"Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah." (at-Taubah: 41) 
Juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.,
"Tidak ada lagi hijrah sesudah al-fath (penaklukan Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diseru untuk berangkat berjihad, maka berangkatlah!" (HR Muslim) 
Makna inilah yang biasanya dipakai untuk lafal nafar. Berdasarkan dua pendapat ini, maka ayat ini merupakan motivasi untuk mendalami, mempelajari, dan mengajarkan agama Allah. Sesungguhnya nilai dari semua ini adalah menyamai nilai jihad, bahkan bisa jadi lebih baik dari jihad, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian yang ke seratus delapan, insya Allah.

Tiga puluh enam. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasehati dengan kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran." (al-'Ashr: 1 -3) 
Imam Syafi'i r.a. berkata,
"Seandainya semua manusia benar-benar memikirkan surah ini, maka hal itu sudah cukup baginya." Sebagai penjelasan dari perkataan Imam Syafi'i adalah bahwa ada empat tingkatan bagi manusia dalam mencapai kemuliaan. Dengan menyempurnakan semua tingkatan tersebut, maka seseorang akan memperoleh kemuliaan yang tertinggi.
Pertama, mengetahui kebenaran.
Kedua, mengamalkan kebenaran tersebut. Ketiga, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya. Kempat, bersabar dalam mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkannya.
Di dalam surah al-Ashr di atas Allah سبحانه و تعالى menyebutkan empat tingkatan ini dan Allah bersumpah di dalam surah tersebut dengan al-'Ashr 'masa'. Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa setiap orang adalah merugi kecuali mereka yang beriman. Ini adalah tingkatan pertama, yaitu tingkatan orang-orang yang mengetahui kebenaran. Kemudian mereka mengamalkan kebajikan berdasarkan apa yang mereka ketahui dari kebenaran. Ini adalah derajat kedua. Setelah itu mereka saling memberi nasehat dalam kebenaran dengan saling mengingatkan dan mengajarkannya. Ini adalah tingkatan ketiga.
Kemudian mereka yang saling menasehati untuk bersabar dan teguh dalam kebenaran. Ini adalah tingkatan yang keempat. Dan, ini adalah akhir dari kesempurnaan, karena kesempurnaan seseorang adalah jika dirinya sempurna dan menyebabkan orang lain sempurna. Kesempurnaan itu dicapai dengan cara meningkatkan kualitas potensi ilmiah dan amaliahnya. Kebaikan kualitas ilmiah seseorang dengan iman, sedangkan kualitas kekuatan amaliah dengan amal saleh. Adapun menyempunakan orang lain adalah mengajarnya dengan penuh kesabaran dan mewasiatkan kepada orang tersebut untuk bersabar dalam mencari ilmu dan beramal. Jadi surah ini meskipun singkat, ia merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang paling komprehensif dalam masalah kebaikan dengan segala aspeknya. Puji syukur kepada Allah سبحانه و تعالى yang telah menyempurnakan kitab-Nya sehingga tidak membutuhkan kitab lain, menjadikannya obat segala penyakit dan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Tiga puluh tujuh. Di dalam Al-Qur'an Allah سبحانه و تعالى menyebutkan anugerah dan karunia-Nya kepada para nabi, rasul, wali dan hamba-hamba-Nya berupa ilmu pengetahuan yang Dia berikan kepada mereka. Allah SWT menyebutkan nikmat- Nya kepada para nabi dan rasul dalam firman-Nya, 

"Allah telah menurunkan kepadamu kitab dan hikmah. Dia mengajarkan kepadamu tentang apa yang kamu tidak tahu. Dan, karunia Allah kepadamu adalah sangat besar." (an-Nisaa: 113) 
Mengenai penjelasan ayat ini telah disebutkan sebelumnya. Allah SWT berfirman tentang Nabi Yusuf a.s.,
"Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (Yusuf: 22) 
Dan berfirman tentang Nabi Musa a.s.,
"Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-Qashash: 14) 
Manakala sesuatu yang Allah berikan kepada Nabi Musa a.s. adalah sesuatu yang besar, sedangkan hanya orang-orang kuat dan mempunyai tekad tinggi yang mampu memikulnya, maka Allah SWT memberikan sesuatu tersebut kepada Nabi Musa a.s. setelah ia dewasa, yaitu setelah sempurna kekuatannya.
Allah SWT berfirman dalam hal Isa a.s.,
"Ingatlah ketika Allah mengatakan, 'Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruh qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaiandan sesudah dewasa; dan ingatlah di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil." (al-Maa idah: 110) 
 Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Isa a.s. Mengenai Alkitab, hikmah, Taurat dan Injil. Allah mengajarkan kepadanya hal-hal tersebut sebagaimana telah Dia beritahukan kepada ibunya, yang membuatnya merasa bahagia.

Allah berfirman tentang Nabi Daud a.s.,
"Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam penyelesaian perselisihan." (Shaad: 20) 
Allah SWT berfirman tentang Khidir, teman Nabi Musa a.s.,
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (al-Kahfi: 65) 
Allah SWT menyebutkan bahwa di antara nikmat-Nya kepada Nabi Khidir adalah ilmu dan rahmat yang Dia ajarkan serta Dia karuniakan kepadanya. Allah SWT berfirman tentang nikmat-Nya kepada Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s.,
"Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat dan masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (al-Anbiyaa: 78-79) 
Dalam ayat di atas Allah SWT menyebutkan dua orang nabi yang mulia dan memuji keduanya atas ilmu yang mereka miliki dan kebijaksanaan dalam memberi keputusan. Namun, Allah SWT mengkhususkan salah satu di antara keduanya dalam pemahaman masalah. Dalam buku saya Al-Ijtihaad wat-Takliid telah saya sebutkan kedua keputusan tersebut -keputusan Daud dan keputusan Sulaiman-, arah keduanya, para ulama yang condong kepada keputusan Nabi Daud dan ulama-ulama yang condong kepada keputusan Nabi Sulaiman. Juga pentarjihan keputusan Nabi Sulaiman a.s. atas keputusan Nabi Daud a.s. dengan beberapa alasan juga kesesuaiannya dengan silogisme dan kaidah-kaidah hukum. Allah SWT berfirman,
"Katakanlah, 'Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia. Kamu jadikan kitab itu sebagai lembaran kertas yang bercerai-berai. Kamu perlihatkan sebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya?' Katakanlah, 'Allahlah (yang menurunkannya)." (al-An'aam: 91) 
Maksudnya, Zat yang menurunkan Taurat kepada Musa a.s. menjadikan pengajaran kitab ini kepada mereka —yang sebelumnya mereka dan bapak-bapak mereka tidak mengetahuinya— merupakan bukti kenabian dan kerasulan. Karena pengetahuan terhadap Alkitab ini tidak diperoleh kecuali melalui para rasul. Lalu bagaimana mereka bisa mengatakan bahwa Allah tidak pernah menurunkan sesuatu pun kepada umat manusia? Ini adalah salah satu keutamaan dan kemuliaan ilmu, yang merupakan bukti atas kebenaran kenabian dan kerasulan.
Allah SWT berfirman, 
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Ali Imran: 164) 
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan juga kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikialah karunia Allah diberikan kepada siapa saja yang dikendakinya. Allah itu mempunyai karunia yang besar." (al-Jum'ah: 2-4) 
Yakni, Allah SWT juga mengutus para rasul kepada kaum lainnya yang belum berjumpa (berhubungan) dengan mereka. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud berjumpa {berhubungan) dalam ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mereka tidak berjumpa (tidak berhubungan) dalam satu masa, atau antara mereka dipisahkan oleh zaman yang berbeda. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mereka dipisahkan oleh keutamaan dan keunggulan. Maksudnya, mereka tidak berjumpa (hubungan) dalam hal kemuliaan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka Allah SWT memberikan nikmat kepada mereka dengan mengajarkan pengetahuan dan memberikan petunjuk kepada mereka. Alangkah besarnya nikmat pengetahuan tersebut yang melampaui nikmat-nikmat lainnya, dan tidak dapat ditakar dengan harga.
Tiga puluh delapan. Surah pertama yang diturunkan Allah SWT dalam kitab- Nya adalah surah al-Alaq. Di dalam surah tersebut Allah SWT menyebutkan nikmat yang Dia karuniakan kepada manusia berupa pengajaran apa yang mereka tidak tahu. Allah SWT menyebutkan di dalamnya karunia pengajaran ilmu dan karunia keutamaan manusia dengan apa yang Dia ajarkan kepada mereka. Maka, hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan pengajaran dan ilmu pengetahuan.
Allah SWT berfirman,
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (al-'Alaq: 1-5) 
Allah mengkhususkan manusia di antara makhluk ciptaaan-Nya dengan keajaiban dan tanda-tanda yang Dia karuniakan kepadanya yang menunjukkan adanya Tuhan, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hikmah-Nya dan kesempurnaan rahmat-Nya. Tanda yang menunjukkan bahwa tiada Tuhan dan Rabb selain Dia. Di dalam surah al-'Alaq ini Allah menyebutkan bahwa awal penciptaan manusia adalah dari segumpal darah, karena segumpal darah tersebut merupakan awal dari semua fase yang dilalui setelah nuthfah. Kemudian Allah mengulangi perintah membaca dengan memberitahukan bahwa Dialah yang paling pemurah (al-akram). Kata al-akram, 'paling pemurah' merupakan bentuk superlatif dari kata al-karam, yaitu yang memberikan banyak kebaikan. Tiada sesuatu pun yang lebih pantas memiliki sifat ini kecuali Allah SWT, karena semua kebaikan, nikmat, kesempurnaan, dan kemuliaan berasal dari Allah. Maka, hanya Dialah Yang Maha Pemurah. Kemudian Dia menyebutkan pengajaran secara umum dan khusus. Allah berfirman,
"Yang mengajarkan dengan perantara qalam." (al-'Alaq: 4) 
Ini mencakup pengajaran kepada malaikat dan manusia. Kemudian Allah SWT menyebutkan pengajaran manusia secara khusus, yaitu dalam firman-Nya,
"Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."(al-'Alaq: 5) 
Ayat ini mengandung makna bahwa Dialah yang memberikan kehidupan kepada semua makhluk hidup dengan segala jenisnya. Wujud makhluk itu memiliki empat tingkatan. Pertama, tingkatan yang berada pada alam luar yang diisyaratkan dengan firman- yang bersifat lafal merupakan konsekuensi dari tulisan tersebut. Sebab tulisan merupakan bagian dari ucapan lisan dan ucapan lisan merupakan bagian dari konsepsi. Jadi kalimat ini mencakup semua tingkatan wujud. Allahlah yang memberikan segalanya yang berupa penciptaan dan pengajaran. Dialah pencipta dan pengajar. Segala sesuatu di luar ada karena penciptaan-Nya dan segala ilmu yang ada di dalam akal adalah karena pengajaran-Nya. Segala lafal yang diucapkan lidah dan tulisan yang tersurat adalah karena ketetapan, penciptaan dan pengajaran-Nya. Ini adalah di antara tanda dan bukti kekuasaan dan kebijaksanaan- Nya. Tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maksudnya, Allah SWT memperkenalkan Zat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan apa yang diajarkan kepada mereka yang berupa tulisan, lafal, dan makna. Jadi ilmu merupakan salah satu dalil yang menujukkan Zat-Nya, bahkan ini merupakan bukti yang paling besar dan paling nyata. Cukuplah ini sebagai bukti kemuliaan dan keutamaan ilmu.
Tiga puluh sembilan. Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebut bukti ilmiah sebagai sulthaan (kekuatan). Ibnu 'Abbas r.a. berkata, 
"Semua kata as-sulthaan (kekuatan) di dalam Al-Qur'an adalah bukti, sebagaimana firman Allah SWT, "Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya. Kepunyan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai bukti tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Yunus:68) 
Maksudnya, kalian tidak mempunyai bukti bagi kebenaran apa yang kalian katakan, karena yang semua kalian tuduhkan kepada Allah SWT tidak berdasarkan ilmu. Allah SWT berfirman,
"itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk menyembahnya." (an-Najm: 23) 
Maksudnya, Allah SWT sama sekali tidak menurunkan bukti atas kebenaran nama-nama itu, Tapi nama-nama tersebut buatan dari kalian sendiri dan nenek moyang kalian.
Allah SWT berfirman,
"Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar." (ash-Shaaffaat: 156-157) 

Maksudnya, jika kalian mempunyai bukti yang nyata atas kebenaran pengakuan kalian, maka datangkanlah bukti itu. Jadi semua kata sulthaan di dalam Al-Qur'an selalu diartikan dengan bukti, kecuali dalam satu tempat, di mana kata sulthaan diperselisihkan maknanya, yaitu dalam firman Allah SWT,
"Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku." (al-Haaqqah: 28-29) 
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kekuatan dan kepemilikan. Artinya telah hilang harta dan kekuatanku, sehingga aku tidak lagi mempunyai harta dan kekuasaan. Sebagian lagi berpendapat bahwa arti ayat di atas adalah aku tidak bisa lagi mengajukan alasan dan bukti. Kesimpulan dari penjelasan ini, Allah SWT menamakan pengetahuan atas bukti dan argumen sebagai sulthaan (kekuasaan/kekuatan), karena ia membuat pemiliknya mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Dengan bukti dan argumentasi, seseorang mampu menguasai orang-orang bodoh. Bahkan, kekuasaan yang berdasarkan ilmu lebih kuat daripada kekuasaan yang berdasarkan kekuatan tangan. Oleh karena itu, orang-orang tunduk kepada bukti dan argumentasi, namun tidak tunduk kepada kekuatan tangan. Hal ini dikarenakan hati manusia tunduk kepada bukti dan argumentasi, sedangkan kekuatan tangan hanya tunduk kepadanya badan manusia. Bukti dan argumentasi menawan, menjerat, dan menundukkan hati orang-orang yang menentang, meskipun lahirnya menampakkan penentangan dan perlawanan. Bahkan, kekuatan kekuasaan apabila tidak dibarengi dengan ilmu yang mengarahkannya, maka ia bagaikan kekuatan binatang buas dan semisalnya. Yaitu, kekuatan yang tidak dibarengi ilmu dan kasih sayang. Lain halnya dengan kekuasaan yang berdasarkan bukti dan argumentasi. Kekuatan kekuasaan ini diiringi dengan ilmu, kasih sayang, dan hikmah. Sedangkan orang yang dengan ilmunya tidak mempunyai kemampuan dan kekuatan, maka bisa jadi disebabkan kelemahan bukti dan argumentasinya, atau karena adanya tekanan kekuasaan tangan dan senjata atas dirinya. Namun jika tidak demikian keadaannya, maka bukti dan argumentasi selalu menang dengan sendirinya, dan selalu mengalahkan serta menundukkan kebatilan.
Empat puluh. Allah SWT menyebut para penghuni neraka sebagai orang-orang bodoh dan memberitahukan bahwa Dia menghalangi ilmu pengetahuan dari mereka. Allah SWT berfirman ketika mengisahkan kondisi penghuni neraka,
"Dan mereka berkata, 'Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.'Mereka mengakui dosa-dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (al-Mulk: 10-11) 
Dalam ayat ini para penghuni neraka menyatakan bahwa mereka masuk neraka karena mereka tidak mau mendengar dan memikirkan. Adapun mendengar dan berpikir, keduanya merupakan jalan utama dapat diperolehnya ilmu.

Allah berfirman,
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) Mereka mempunyai mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. "(al-A'raf: 179) 
Dalam ayat ini Allah SWT memberitakan bahwa para penghuni neraka tidak memperoleh ilmu melalui salah satu dari tiga jalan diperolehnya ilmu, yaitu akal, pendengaran, dan penglihatan. Di tempat lain Allah SWT juga berfirman,
"Mereka tuli, bisu dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti." (al- Baqarah: 171) 
"Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (al-Hajj: 46) 
"Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya." (al-Ahqaaf: 26) 

Sebagaimana Anda lihat dalam ayat-ayat di atas, Allah SWT terkadang menyebut orang-orang yang menderita karena tidak berilmu sebagai binatang, keledai yang membawa lembaran-lembaran kitab bahkan lebih rendah lagi. Terkadang juga menyebut mereka sebagai binatang yang paling buruk, orang-orang mati, orang yang berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan. Allah juga mengabarkan bahwa hati, telinga, dan mata mereka tertutup. Semua ini tentunya menunjukkan kemurkaan dan celaan Allah SWT terhadap orang-orang bodoh dan kebodohan. Juga menunjukkan pujian dan kecintaan-Nya kepada orang-orang berilmu. Wallaahul-musta'aan.
Empat puluh satu. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Kitab Shahih mereka dari Mu'awiyah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda, 
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberinya pemahaman tentang agama." 
Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak memahami agama-Nya adalah orang yang tidak Dia kehendaki memperoleh kebaikan, sebagaimana orang yang Dia beri pemahaman agama maka Dia menghendakinya memperoleh kebaikan. Hal ini jika yang diinginkan dari ilmu adalah yang mendorong seseorang untuk melakukan kebajikan. Sedangkan, jika yang diinginkan adalah sekedar ilmu tanpa amal, maka ini tidak menunjukkan bahwa Allah SWT menghendaki kebaikan bagi orang yang memperoleh ilmu. Dalam ayat ini pemahaman terhadap agama merupakan syarat dicapainya kebaikan, yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap agama merupakan faktor yang mengharuskan tercapainya kebaikan. Wallahu wa a'lam.

Empat puluh dua. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari riwayat Abu Musa al-Asy'ari r.a. bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang dengannya Allah mengutusku adalah seperti air hujan yang jatuh ke tanah. Di antara tanah Tersebut ada yang baik yang menerima air, maka tumbuhlah darinya rerumputan dan pepohonan. Dan tanah itu ada yang keras yang menghimpun air, sehingga dengannya Allah memberikan manfaat kepada manusia, yaitu untuk minum, memberi minum ternak, dan bercocok tanam. Dari tanah itu ada juga yang berupa rawa, tidak menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang-orang di hadapan agama yang diturunkan Allah SWT. Diantara mereka ada yang memahaminya, maka Allah memberikan manfaat kepadanya sehingga dia tahu dan mengamalkannya. Ada juga orang yang tidak peduli kepada agama tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah SWT, yang dengannya aku diutus."(HR Bukhari dan Muslim) 
Rasulullah صلى الله عليه وسلم  mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang ia bawa dengan air hujan, karena ilmu dan air sama-sama memberi manusia kehidupan, makanan, pengobatan, dan segala kebaikan. Jadi ilmu itu seperti air hujan. Beliau mengumpamakan hati dengan tanah yang diguyur air hujan, karena tanah adalah tempat yang mampu menerima air agar seluruh jenis tanaman yang bermanfaat  tumbuh sebagaimana hati yang menampung ilmu hingga berbuah, bertambah dan menampakkan berkah serta hasilnya. Lalu beliau membagi manusia kepada tiga golongan sesuai dengan potensi dan kesiapan mereka dalam menghafal, memahami, menyimpulkan hukum serta mengeluarkan hikmah-hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk yang beliau bawa.
Pertama, orang-orang yang mempunyai kemampuan menghafal dan memahami. Mereka adalah orang-orang yang mampu menghafal, berpikir, memahami, dan menyimpulkan hukum-hukum, hikmah-hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk yang dibawa Rasulullahصلى الله عليه وسلم. tersebut. Mereka itu seperti tanah yang menyerap air, yang diserupakan sebagai hafalan; dan menumbuhkan rerumputan dan pepohonan yang diserupakan untuk pemahaman, pengetahuan, dan pengambilan hukum. Ini adalah perumpamaan bagi para ahli fikih yang mumpuni baik dalam hal periwayatan maupun dalam hal pemahaman. 
Kedua, orang-orang yang diberi karunia ketelitian dalam menghafal dan meriwayatkan, tetapi tidak diberi kemampuan untuk memahami makna, menyimpulkan hukum, hikmah dan faidah-faidah dari petunjuk tersebut. Mereka bagaikan orang-orang yang membaca dan menghafal Al-Qur'an, sangat memperhatikan huruf dan i'rabnya tetapi tidak diberi kemampuan pemahaman yang mendalam oleh Allah SWT. Sebagaimana dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa mereka tidak diberi pemahaman khusus terhadap Kitab-Nya, yang diberikan kepada hamba-hamba tertentu. Hal ini karena kemampuan manusia dalam memahami nash yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya sangat berbeda-beda, Ada seseorang yang hanya mampu memahami satu atau dua hukum dari satu nash, sedangkan orang lain mampu memahami seratus atau dua ratus hukum darinya. Orang-orang yang diberi kemampuan menghafal ini ibarat tanah yang menampung air untuk manusia sehingga mereka memperoleh manfaat dari air itu. Ada orang yang memanfaatkannya untuk air minum, untuk menyirami tanaman, dan bercocok tanam. Golongan pertama dan kedua ini adalah orang-orang yang berbahagia, namun golongan pertama merupakan golongan yang paling tinggi derajatnya.
"Itulah karunia Allah yang diberikan kepada yang diinginkan-Nya. Allahmemiliki karunia yang sangat besar." (al-Hadiid: 21)
Ketiga, orang-orang yang tidak memiliki kemampuan menghafal, meriwayatkan dan memahami petunjuk yang dibawa Rasul saw. tersebut. Kedudukan mereka sama dengan tanah yang tidak bisa ditumbuhi tanaman dan tidak dapat menampung air. Maka, mereka itu adalah orang-orang menderita. Golongan pertama dan kedua, sama-sama mencari dan mengajarkan ilmu. Masing-masing mendapat kedudukan sesuai dengan ilmu yang mereka terima dan mereka ajarkan. Satu golongan dari mereka mampu menghafal dan mengetahui lafal- lafal Al-Qur'an, dan satu golongan lagi mampu memahami makna, hukum, dan kandungannya. Sedangkan, golongan ketiga tidak berilmu dan tidak mau mencarinya. Golongan ketiga ini sama sekali tidak peduli dengan petunjuk Allah SWT sehingga mereka pun tidak akan mendapatkannya. Mereka lebih buruk dari binatang dan mereka adalah bahan bakar neraka. Hadits tentang tiga golongan manusia di atas mengingatkan kita akan kemuliaan ilmu dan proses belajar-mengajar. Juga mengingatkan akan penderitaan orang-orang yang tidak memilikinya. Hadits di atas juga menyebutkan pembagian anak cucu Adam berdasarkan ilmu, yaitu mereka yang menderita dan yang berbahagia. Juga pembagian orang-orang yang berbahagia kepada mereka yang bersegera dalam mendekatkan diri kepada Allah dan mereka yang bersedang-sedang dalam berbuat baik. Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa kebutuhan hamba terhadap ilmu sama dengan kebutuhan mereka terhadap hujan, bahkan lebih besar. Seandainya mereka tidak memiliki ilmu, maka mereka sama dengan tanah yang tidak tersiram air. Imam Ahmad bin Hambal berkata, 
"Orang-orang lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena dalam sehari mereka membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali, sedangkan mereka membutuhkan ilmu dalam setiap embusan nafas." 
Allah SWT berfirman,
"Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah- lembah menurut ukurannya, arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil." (ar-Ra'd: 17) 
Allah menyerupakan ilmu yang diturunkan kepada Rasul-Nya dengan air yang diturunkan dari langit, karena masing-masing dari keduanya memberikan kehidupan dan kebaikan kepada seluruh manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kemudian Allah SWT menyerupakan hati manusia dengan lembah. Hati yang lapang mampu menampung banyak ilmu, bagaikan sebuah lembah lebar yang menampung air yang melimpah. Sedangkan, hati yang sempit menampung sedikit ilmu seperti lembah kecil yang hanya menampung sedikit air. Allah SWT berfirman, 
"Maka, mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, lalu arus itumembawa buih yang mengembang." (ar-Ra'd: 17)
Ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat Allah SWT untuk ilmu saat ia bersentuhan dengan hati yang lapang. Ketika bersentuhan dan menyatu dengan hati maka ilmu itu akan mengeluarkan buih-buih keraguan dari relungnya. Sehingga, buih-buih itu pun terapung di permukaan hati. Hal ini sebagaimana aliran air yang mengalir ke lembah lalu mengeluarkan kotoran dari dalamnya. Kemudian kotoran itu mengapung di atasnya. Allah SWT menggambarkan bahwa kotoran-kotoran itu akan mengapung di atas permukaan air dan akan mengalir keluar dari lembah tersebut. Demikian juga dengan keraguan yang dikeluarkan oleh ilmu dari relung hati manusia. Ia akan terkumpul di permukaan hati, terapung dan tidak akan menetap, sehingga ia akan terbuang darinya. Maka saat itu, yang menetap dalam hati hanyalah apa yang bermanfaat bagi pemiliknya dan bagi seluruh manusia. Yaitu berupa petunjuk dan ajaran agama yang haq, seperti air jernih yang menetap di lembah dan mengalirkan kotoran. Tidak ada yang mampu memikirkan perumpamaan-perumpamaan Allah SWT kecuali orang- orang berilmu.
Kemudian Allah SWT membuat perumpamaan lain,
"Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu." (ar-Ra'd: 17)
Artinya, emas, perak, tembaga, dan besi yang dilelehkan dengan api untuk dikeluarkan kotorannya. Maka, ketika logam-logam tersebut bersentuhan dengan api hingga meleleh, kotoran-kotoran yang menyatu di dalamnya akan tersingkir, sehingga hanya zat mulia murni yang tersisa. Dalam ayat di atas, Allah SWT membuat perumpamaan dengan air, karena ia merupakan sumber kehidupan, kesejukan, dan manfaat. Allah SWT juga membuat perumpamaan dengan api, karena ia merupakan sumber cahaya, penerangan, dan pembakaran. Jadi ayat-ayat Al-Qur'an menghidupkan hati sebagaimana hujan menghidupkan tanah dengan air. Ayat-ayat ini juga membakar kotoran, keraguan, syahwat dan dengki, sebagaimana api membakar apa yang dilemparkan ke dalamnya. Ayat-ayat Al-Qur'an juga membedakan antara hal baik dan yang buruk, sebagaimana api memisahkan antara zat yang tidak berguna dari emas, perak, dan logam sejenisnya. Inilah sebagian dari pelajaran dan ilmu dalam perumpamaan agung ini.
Allah SWT berfirman,
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (al-Ankabuut: 43)
Empat puluh tiga. Sebuah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم  yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa'd r.a. menyebutkan bahwa Rasulullahصلى الله عليه وسلم. bersabda kepada Ali r.a., 
"Seseorang mendaptakan petunjuk Allah SWT dengan perantara dirimu adalah lebih baik dari harta yang melimpah." 
Ini menunjukkan keutamaan ilmu dan proses belajar-mengajar, serta ketinggian derajat orang yang memilikinya. Karena jika ada seseorang mendapatkan petunjuk karena seorang ulama, maka itu lebih baik daripada harta apa pun yang dimiliki manusia. Maka, seseorang yang menjadi perantara bagi sekelompok manusia untuk mendapat petunjuk Allah SWT tentunya mempunyai kemuliaan yang tiada tara.
Empat puluh empat. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang-orang yang mengikuti mereka tanpa mengurangi pahala mereka sama sekali. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya dan hal itu tidak mengurangi dosa mereka sama sekali." (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi) 
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم  memberitahukan bahwa orang yang menjadi perantara bagi orang lain untuk memperoleh petunjuk akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang yang menerima petunjuk itu. Dan orang yang mengajak kepada kesesatan akan mendapatkan dosa sebesar dosa-dosa orang yang mengikuti seruannya. Hal ini disebabkan orang yang mengajak kepada petunjuk Allah mengerahkan kemampuannya untuk menyampaikan petunjuk kepada umat manusia, dan orang-orang yang menyeru kepada kesesatan juga mengerahkan kekuatannya untuk mengantar manusia kepada kesesatan. Maka, posisi orang yang menyeru kepada petunjuk atau kepada kesesatan bagaikan orang yang melakukannya secara langsung. Ini merupakan kaidah syariat sebagaimana disebutkan di berbagai tempat di dalam Al-Qur'an.
Allah SWT berfirman,
"(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu." (an-Nahl: 25) 
"Dan sesungguhnya mereka akan memikul (beban) dosa mereka dan beban-beban dosa yang lain di samping beban-beban mereka sendiri."(al-'Ankabuut: 13)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mengajak manusia untuk mengikuti selain sunnah Rasul-Nya, maka ia adalah musuh-Nya, karena ia telah menghalangisampainya pahala kepada orang yang mendapat petunjuk melalui sunnah Nabiصلى الله عليه وسلم. Ini merupakan salah satu permusuhan yang paling besar terhadap Allah SWT. Marilah kita memohon perlindungan Allah SWT dari tipu daya mereka yang mengajak kepada kesesatan.
Empat puluh lima. Sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda, 
"Tidak ada kedengkian kecuali kepada dua orang; seseorang yang diberikan harta oleh Allah SWT, lalu ia menghabiskan harta itu untuk kebenaran dan seseorang yang diberikan Allah pengetahuan (al-hikmah), lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya." 
Dalam hadits di atas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  memberitahukan bahwa tidak pantas seseorang menyimpan rasa dengki kepada seseorang kecuali dalam dua perkara, yaitu berbuat baik kepada manusia dengan ilmu atau dengan harta. Kedengkian yang dimaksud Rasulullah صلى الله عليه وسلم  dalam hadits di atas adalah rasa dengki yang positif. Yaitu mengharapkan agar ia mampu memperoleh apa yang didapatkan orang lain, tanpa mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain tersebut. Sedangkan kedengkian kepada orang lain karena selain kedua hal tersebut tidaklah diperbolehkan, karena manfaatnya sangat sedikit bagi manusia.
Empat puluh enam. Dalam Sunannya Imam Tirmidzi berkata, "Muhammad bin Abdullah al-A'la meriwayatkan dari Salamah bin Raja', dari al-Walid bin Hamid dari al-Qasim, dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa diceritakan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم  tentang dua orang, yang satu berilmu dan yang lain ahli ibadah." Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian. Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat, seluruh makhluk yang di langit dan di bumi, hingga semut di lubangnya dan ikan paus di dalam laut bersalawat kepada para pengajar kebaikan." (HR Tirmidzi) 
Imam Tirmidzi berkata, 
"Saya mendengar Abu Ammar al-Husain bin Harits al- Khuza'i berkata, dari Fudhail bin 'Iyyadh bahwa seorang alim yang selalu melakukan kebajikan dan mengajar kebaikan kepada manusia disebut sebagai orang besar di kerajaan langit."
Ini juga diriwayatkan dari para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم. Ibnu Abbas berkata,
"Ada dua jenis ulama dari umat ini. Pertama, seseorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan, lalu ia mengajarkannya kepada umat manusia tanpa mengambil bayaran dari ilmunya tersebut dan tidak menjualnya dengan apa pun. Merekalah yang mendapatkan doa dari burung yang terbang di langit, ikan paus di dalam laut, binatang melata yang merangkak di permukaan bumi, dan para malaikat pencatat amal. Kedua, seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah SWT, dan ia tidak mengajarkannya kepada hamba-hamba-Nya melainkan dengan mengambil pemberian atas apa yang ia ajarkan, dan ia menjual ilmunya tersebut. Maka, pada hari kiamat orang jenis kedua ini akan berjalan dalam keadaan terikat oleh tali dari neraka."34 
Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia disebabkan dengan pengajarannya, maka manusia memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kesucianjiwa. Allah SWT membalasnya dengan hal yang sejenis amal perbuatannya. Yaitu menjadikan shalawat- Nya, shalawat para malaikat dan penduduk bumi sebagai sebab keselamatan, kebahagiaan, dan kemenangan baginya. Karena orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia adalah mereka yang menegakkan agama dan hukum Allah SWT, memperkenalkan kepada manusia nama-nama dan sifat-Nya yang agung, maka Allah SWT menjadikan shalawat-Nya dan shalawat penghuni langit dan bumi sebagai pujian dan sanjungan kepada orang tersebut di antara penghuni langit dan bumi.
Empat puluh tujuh. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dari Abu Darda' menyebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, niscaya Allah SWT menyediakan jalan untuknya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya ulama dimintakan ampun oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai paus yang di dalam laut. Keutamaan seorang alim atas seorang abidseperti keutamaan bulan atas segala bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang banyak." 
Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dari Usman bin Aiman, dari Abu Darda' bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Barangsiapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah SWT membukakan kepadanya jalan menuju surga dan para malaikat pun membentangkan sayap untuk menaunginya. Dan para malaikat di langit serta ikan paus di laut bershalawat untuknya. Keutamaan seorang ulama atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas semua bintang. Ulama adalah pewaris para nabi, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu, maka dia telah mendapatkan bagian yang banyak (dari warisan itu). Kematian seorang ulama merupakan musibah yang tidak bisa diobati, lubang yang tidak dapat disumbat, dan bintang yang hancur. Kematian satu kabilah lebih ringan daripada kematian seorang alim." (HR Baihaqi) 
34 Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr secara marfu', akan tetapi status ini dipertanyakan.

Jalan yang dilalui orang yang mencari ilmu adalah jalan menuju surga. Ini sebagai balasan baginya, karena di dunia ia telah menempuh jalan untuk mencari ilmu yang mengantarkan ia kepada ridha Tuhan. Para malaikat pun meletakkan sayap mereka sebagai rasa ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan terhadap apa yang ia bawa dan ia cari, yaitu warisan para nabi. Semua ini menunjukkan kecintaan dan penghargaan para malaikat terhadapnya. Di antara kecintaan dan penghormatan para malaikat kepadanya adalah mereka meletakkan sayap mereka karena ia mencari sebab kehidupan dan keselamatan dunia. Antara malaikat dan seorang alim terdapat kesamaan. Malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi anak cucu Adam, dengan perantara mereka juga manusia mendapatkan kebahagiaan, ilmu pengetahuan, dan petunjuk. Di antara manfaat dan kebaikan para malaikat kepada manusia adalah mereka meminta pengampunan atas dosa manusia, memuji orang-orang mukmin, dan membantu anak cucu Adam menghadapi setan. Bahkan mereka sangat menginginkan kebaikan bagi hamba Allah SWT melebihi keinginan kebaikan bagi diri mereka sendiri. Mereka juga menginginkan kebaikan dunia dan akhirat bagi hamba-hamba Allah SWT yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh hamba tersebut dan tidak pernah terlintas dalam benaknya. Seperti yang dikatakan beberapa tabi'in bahwa para malaikat adalah makhluk Allah yang paling baik dan setan-setan adalah akhlak yang paling jahat. Allah SWT berfirman, 
"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), 'Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang bertaobat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga 'Aden yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari balasan kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan hari itu, maka sesungguhnya Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (al-Ghaafir: 7-9) 
Maka, hanya kebaikan para nabi yang menyerupai kebaikan para malaikat ini. Sehingga jika seorang hamba menuntut ilmu, maka ia memperoleh kebaikan yang paling agung. Karena itu, mereka dicintai dan dihormati para malaikat sehinggamereka melebarkan sayap-sayap mereka baginya sebagai rasa senang, cinta, dan penghormatan. Abu Hatim ar-Razy berkata,
"Saya pernah mendengarkan Ibnu Abi Uwais berkata bahwa dia mendengar Malik bin Anas berkata, 'Makna sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  'para malaikat melebarkan sayap-sayapnya' adalah berdoa untuk penuntut ilmu, dan 'sayap' dalam hadits tersebut adalah sebagai ganti dari kata tangan." 
Ahmad bin Marwan al-Maliki dalam kitab Al-Mujalasah mengatakan bahwa Zakariya bin Abdurrahman al-Bashri berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Syu'aib berkata,
"Kami pernah berkumpul dengan beberapa ahli hadits di Bashrah dan mereka menyampaikan kepada kami sebuah hadits Nabi saw. bahwa para malaikat melebarkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Pada saat itu ada seorang Mu'tazilah yang ikut di majelis kami menertawakan hadits itu.35 Lalu orang Mu'tazilah tersebut berkata, 'Demi Allah, besok aku akan memasang paku di bawah sandalku, lalu aku akan menginjak-nginjak sayap-sayap para malaikat itu.' Lalu orang Mu'tazilah tersebut melakukan hal itu terhadap sandalnya dan memakainya, setelah beberapa hari tiba-tiba kedua kakinya lumpuh dan terkena penyakit." 
Imam Thabrani berkata,

"Saya mendengar Yahya Zakariya bin Yahya as-Saji berkata bahwa ia berjalan di beberapa lorong di Bashrah menuju rumah seorang ahli hadits dengan agak tergesa-gesa. Kala itu kami berjalan dengan seseorang yang cacat dalam agamanya. Dan dengan nada mengejek orang itu berkata, 'Angkatlah kaki kalian dari sayap-sayap para malaikat, janganlah mematahkannya!' Belum lagi meninggalkan tempatnya, kakinya kejang dan ia pun terjatuh," 
Dalam Kitab-kitab Sunan dan Musnad-musnad, disebutkan sebuah hadits Shafwan bin Assal, bahwasnya ia berkata,
"Wahai Rasulullah, saya datang kepadamu untuk menuntut ilmu." 

Rasulullah صلى الله عليه وسلم. menjawab,
"Selamat datang kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya para malaikat mengelilingi dan menaungi orang yang menuntut ilmu dengan sayap-sayapnya. Maka, karena kecintaan mereka kepada apa yang dicari seorang penuntut ilmu, mereka saling menunggangi satu sama lainnya untuk menaunginya sehingga mencapai langit."36 
35 Dan itu karena Mu'tazilah menentang nash-nash syariat sesuai dengan akal mereka yang rusak. Mereka menerima apa yang sesuai dengan akal mereka dan menolak apa yang ditolak akal. Hadits ini telah ditentang oleh orang Mu'tazilah tersebut karena tidak sesuai dengan akalnya. Dia beranggapan bahwa balasan kepada seseorang mesti dari jgnis perbuatannya. 

36Diriwayatkan Ahmad (IV/240), ath-Thabari dalam kitab al-Jamii'al-Kabiir, al-Hakim (1/100) dan berkata, "Ini adalah sanad shahih" dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya nomor 85, Ibnu Abdil al-Barr dalam kitab Jami' al-'flm (1/32-33). Hadits ini dihasankan oleh al- Albani dalam Shahih at-Tarhiib wa at-Targhiib (1/34).

Lalu Nabi menyebutkan hadits tentang mengusap khuf. Abu Abdullah bin Hakim berkata bahwa sanad hadits ini adalah shahih. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa ini adalah hadits shahih hasan tsaabit, mahfuudh dan marfu', dan hadits semacam ini tidak dikatakan berdasarkan rasio. Dalam hadits ini disebutkan bahwa para malaikat mengelilingi penuntut ilmu dengan sayap-sayapnya hingga mencapai langit. Sedangkan, dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka. Maksud dari meletakkan sayap adalah ketawadhuan, penghormatan, dan pemuliaan. Dan, maksud dari mengelilingi dengan sayap adalah menjaga, melindungi, dan membentengi. Maka, kedua hadits tersebut mencakup penghormatan, kecintaan, perlindungan dan pemeliharaan malaikat kepada orang yang menuntut ilmu. Seandainya hanya ini yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri.
Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.,
"Sesungguhnya seorang alim dimintakan ampunan oleh makhluk yang berada di langit dan di bumi hingga ikan-ikan di lautan,"
 maksudnya tatkala seorang alim merupakan sebab diperolehnya ilmu yang merupakan kunci keselamatan manusia dari kehancuran, sehingga keselamatan manusia diperoleh dengan perantara dia, maka dia mendapatkan balasan sejenis dengan perbuatannya. Sehingga, semua penghuni langit dan bumi selalu berusaha menyelematkannya dari sebab-sebab kebinasaan, yaitu dengan meminta ampunan untuknya. Jika orang-orang mukmin pada umumnya dimintakan ampunan oleh para malaikat, tentunya lebih utama lagi orang-orang khusus dan terbaik dari mereka. Dikatakan bahwa makhluk langit dan makhluk bumi yang memintakan ampunan bagi orang alim adalah umum, mencakup binatang dan sebagainya, baik yang berbunyi maupun yang tidak. Ini ditegaskan dengan sabda Rasul صلى الله عليه وسلم,

"Hingga ikan-ikan di lautan dan semut di sarangnya memintakan ampun bagi orang yang menuntut ilmu." 
Ada yang berpendapat bahwa sebab dari permintaan ampunan dari makhluk- makhluk tersebut untuk orang alim adalah karena orang alim mengajarkan kepada manusia cara memelihara binatang, memperkenalkan yang halal dan yang haram, memberitahukan cara menangkap, menggunakan, menunggangi, memanfaatkan dan menyembelih hewan. Orang alim adalah orang yang paling sayang dan paling baik kepada binatang, karena ia menjelaskan kepada manusia tujuan penciptaannya. Secara global, kasih sayang dan kebaikan yang karenanya dan untuknya hewan diciptakan, serta bagian dari kedua hal itu yang ditetapkan untuknya hanya dapat diketahui dengan ilmu. Maka, orang alimlah yang mengajarkan hal itu. Karena itu, sudah selayaknya semua binatang memohonkan ampunan baginya. Wallaahu wa'alam.
Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم,

"Keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang-bintang,"
merupakan perumpamaan yang sangat pas. Karena bulan menerangi penjuru cakrawala dan cahayanya meluas ke penjuru alam. Ini sebagaimana perihal orang berilmu. Sedangkan bintang-gemintang, cahayanya tidak melewati dirinya atau hanya sampai kepada sesuatu yang terdekat darinya. Hal ini sebagaimana seorang ahli ibadah, dia hanya menerangi dirinya sendiri, tidak menerangi orang lain. Jika cahaya ibadahnya menggapai orang lain, maka jangkauannya tidak jauh sebagaimana cahaya bintang melampaui dirinya sedikit. Di antara riwayat yang sesuai dengan hadits ini adalah sebuah atsar yang berbunyi,
"Pada hari kiamat Allah SWT berfirman kepada seorang ahli ibadah, 'Masuklah ke surga sendiri, karena manfaatmu hanya untuk dirimu.' Sedangkan kepada seorang alim dikatakan, 'Berikanlah syafaat kepada orang lain maka kamu akan mendapatkan syafaat, sesungguhnya engkau telah memberi manfaat kepada manusia. "37 
37Diriwayatkan secara marfu' oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jaami' al-'Hm, h. 47 dari riwayat Jabir bin Abdillah. Diriwayatkan juga oleh al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal-Mutafaqqih (1/20), al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Imaan (11/268) dan ia berkata, "Hadits ini adalah hadits fard dari Muqatil bin Sulaiman." Diriwayatkan juga oleh Ibnu 'Adi dalam al-Kaamilfidh-Dhu 'aafaa' (VV438) dalam biografi Muqatil bin Sulaiman. Imam al-Bukhari berkata bahwa Muqatil bin Salman munkar al-hadits. Yahya bin Ma'in berkata bahwa hadits Muqatil bin Sulaiman sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan. 

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Atha' dari Ibnu Abbas r.a* bahwa pada hari kiamat orang berilmu dan orang ahli ibadah akan dipanggil, lalu dikatakan kepada ahli ibadah,
"Masuklah surga", dan dikatakan kepada orang yang berilmu, "Mintalah syafaat maka kamu akan mendapatkannya." 
Dalam penyerupaan seorang alim dengan bulan dan seorang abid seperti bintang terdapat hikmah lainnya. Yaitu bahwa kebodohan seperti malam gelap gulita, sedangkan seorang para ulama dan para ahli ibadah dalam kegelapan itu seperti bulan dan bintang-gemintang. Maka dalam keadaan gelap gulita itu, keutamaan cahaya seorang alim seperti keutamaan cahaya bulan atas cahaya bintang. Di samping itu, tegaknya agama adalah karena ditopang, dihias, dan diterangi
oleh para ulama dan ahli ibadah. Apabila para ulama dan ahli ibadahnya hilang, maka hilanglah agama, sebagaimana langit yang dihias dan diterangi oleh bulan dan bintang-gemintang. Jika bulan dan bintang-bintang hilang dari langit, maka datanglah hari kiamat yang dijanjikan Allah SWT.
Apabila seseorang bertanya.
"Mengapa orang berilmu diserupakan dengan bulan bukan dengan matahari, padahal cahaya matahari lebih besar?" 
Terhadap pertanyaan ini ada yang menjawab, bahwa dalam perumpamaan tersebut terdapat dua hal penting.
Pertama, karena cahaya bulan merupakan pantulan cahaya matahari, maka orang berilmu yang mengambil ilmu dari risalah Nabi صلى الله عليه وسلم  lebih sesuai jika diserupakan dengan bulan daripada dengan matahari.
Kedua, cahaya matahari tetap, tidak berubah, dan tidak memiliki tingkatan. Sedangkan bulan, terkadang cahayanya sedikit, banyak, penuh, dan berkurang sebagaimana para ulama yang ilmunya bertingkat-tingkat; ada yang ilmunya sedikit ada juga yang banyak. Perbedaan tingkatan para ulama bagaikan perbedaan keadaan bulan. Dari bulan purnama yang sempurna, lalu berkurang sedikit demi sedikit hingga pada keadaannya yang paling akhir. Di sisi Allah SWT tingkatan ulama pun berbeda-beda. Jika ada yang mengatakan bahwa penyerupaan ulama dengan bintang-gemintang adalah hal yang sudah diketahui secara umum, sebagaimana disabdakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم.,
"Sahabat-sahabatku seperti bintang-gemintang,"
Lalu mengapa para ulama diserupakan dengan bulan? Sebagai jawabannya, dikatakan adapun perumpamaan ulama dengan bintang karena bintang dipakai sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut, demikian pula dengan para ulama. Bintang-bintang adalah penghias langit dan ulama adalah penghias bumi. Bintang-gemintang menjadi penghalang bagi para setan agar tidak mencuri dengar berita langit, sehingga tidak bercampur dengan kebohongan-kebohongan yang mereka buat. Demikian pula para ulama, mereka menjadi lemparan penghalang bagi setan jin dan manusia yang membisikkan kata-kata indah yang memperdaya. Para ulama menjadi penghalang bagi kelompok jahat ini untuk melakukan akivitas mereka. Seandainya tidak karena para ulama, maka hancurlah ajaran-ajaran agama karena pemalsuan orang-orang yang sesat. Allah SWT menjadikan para ulama sebagai penjaga bagi agama-Nya dan sebagai penghalang bagi musuh-musuh para rasul-Nya. Dan ini adalah bentuk keserupaan mereka dengan bintang. Sementara itu, perumpamaan mereka dengan bulan adalah pada posisi keutamaan mereka atas ahli ibadah semata. Perbandingan antara keduanya adalah perbandingan keutamaan dan makna, yaitu bahwa mereka melampaui ahli-ahli ibadah yang bukan ulama sebagaimana bulan melebihi bintang-bintang. Masing-masing dua perumpamaan itu adalah tepat sesuai tempatnya masing-masing. Adapun perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم  bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, merupakan keistimewaan yang paling besar bagi orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya para nabi adalah hamba Allah SWT yang terbaik. Maka, para pewaris mereka juga merupakan orang-orang terbaik setelah mereka. Karena para ulama menunaikan tugas para rasul dalam menyampaikan ajaran agama, maka merekalah orang-orang yang paling berhak mewarisi para rasul. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang terdekat dengan para rasul, karena hanya orang-orang terdekat yang mendapatkan warisan, sebagaimana dalam pewarisan harta. Sesungguhnya Allah SWT mengkhususkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang Dia kehendaki. Dalam sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, menunjukkan perintah bagi umat untuk mentaati, menghormati, meninggikan, dan memuliakan mereka, karena mereka juga adalah pewaris beberapa hak para nabi atas umat. Karena mencintai para nabi adalah bagian dari tuntunan agama dan membenci mereka bertentangan dengan agama, demikian juga terhadap para pewaris mereka. Ali berkata,
"Mencintai ulama merupakan tuntunan agama yang harus dilaksanakan." 
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,

"Barangsiapa yang menentang wali-Ku, maka dia telah menantang Aku untuk berperang."{HR Bukhari dan Abu Nu'aim) 
Jadi para pewaris nabi adalah para wali Allah SWT. Dalam sabda Nabi saw. bahwa para ulama adalah pewaris para nabi, terdapat isyarat mereka untuk mengikuti petunjuk para nabi dalam menyampaikan agama.Yaitu, dengan penuh kesabaran, membalas kejahatan manusia dengan kebaikan, lemah lembut dan mengajak manusia kepada jalam Allah dengan cara yang terbaik, serta selalu berusaha memberikan nasehat kepada manusia untuk menunaikan kebajikan. Dengan itulah mereka memperoleh bagian dari warisan para nabi yang sangat berharga dan mulia nilainya. Ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu untuk mendidik umat sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Maka, mereka harus mendidik umat secara bertahap dan bertingkat, mulai dari pengetahuan-pengetahuan yang kecil sampai kepada yang besar. Mereka juga hanya membebankan kepada umat apa yang mampu mereka pikul, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak kepada anaknya yang masih kecil dalam memberikan makanan kepadanya. Manusia bagi para nabi dan rasul seperti anak-anak di hadapan bapaknya, bahkan lebih rendah lagi. Karena itu, setiap jiwa yang tidak terdidik oleh para rasul tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak dapat melakukan kebajikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair,
"Orang yang tidak dididik oleh Rasul dan tidak diberi minum dari ajaran agamanya Maka ia adalah orang hilang yang tidak memiliki ikatan loyalitas Dan tidak akan tumbuh melampaui anak-anak sebayanya." 
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  bahwa para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mewariskan ilmu, menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah SWT kepada mereka. Dengan demikian, umat mereka harus menghilangkan penyakit hati yang membuat seseorang berpikir bahwa para nabi adalah seperti raja yang menginginkan dunia dan kemewahannya. Semoga Allah SWT menjaga umat ini dari anggapan seperti ini. Karena pada umumnya manusia menginginkan kemewahan dunia untuk anaknya sepeninggalnya sehingga ia rela bersusah payah membanting tulang untuk anaknya, maka sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menghindarkan para nabi dan rasul dari anggapan semacam itu.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Kami -para nabi- tidak meninggalkan warisan. Apa yangkami tinggalkan adalah sedekah." 
Jadi para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi mewariskan ilmu. Sedangkan firman Allah SWT,
"Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 16)
Ini adalah pewarisan ilmu dan kenabian bukan pewarsian yang lain, sebagaimana disepakati oleh para mufassir. Alasannya karena Nabi Daud a.s. memiliki banyak anak selain Nabi Sulaiman. Seandainya warisan itu berupa harta, maka Nabi Sulaiman a.s. tidak akan dikhususkan untuk mendapatkannya. Di samping itu, firman Allah SWT tidak mungkin dan tidak layak menyampaikan hal semacam itu, karena itu sama saja dengan ucapan kita,
"Si Fulan telah mati dan diwarisi oleh anaknya".
Kita juga sudah maklum adanya bahwa setiap orang mewarisi anaknya, sehingga tidak ada gunanya menyampaikan hal seperti ini secara khusus dalam Al-Qur'an. Ayat sebelum dan sesudahnya juga menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah warisan ilmu dan kenabian, bukan warisan harta. Allah SWT berfirman,

"Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Daud dan Sulaiman ilmu. Dan keduanya berkata/Puji syukur kepada Allah yang mengutamakan kami atas banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.' Dan Sulaiman mewarisi Daud." (an-Naml: 15-16) 
Dan disebutkan kata-kata "Dan Sulaiman mewarisi Daud" adalah untuk menjelaskan kelebihan dan kekhususan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Sulaiman a.s., berupa kemuliaan yang dimiliki ayahnya yaitu ilmu dan kenabian.

Kemudian Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya ini adalah karunia yang sangat jelas." (an-Naml: 16) 
Demikian pula dalam ucapan Zakaria yaitu dalam firman Allah SWT,
"Dan sesungguhnya aku akan khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi aku dengan mewarisi sebagian keluarga Ya'kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai." (Maryam: 5-6) 
Yang dimaksud di sini adalah warisan ilmu, kenabian, dan dakwah kepada Allah SWT. Sebab tidak dapat dibayangkan jika seorang nabi khawatir tidak memiliki sanak keluarga yang mewarisi hartanya, kemudian memohon kepada Allah SWT untuk dikaruniai seorang anak yang akan mewarisinya dan menjadi orang yang paling berhak untuk menerimanya. Allah SWT mensucikan para nabi dan rasul-Nya dari sifat semacam ini dan semisalnya. Maka, hal ini jauh sekali dari anggapan orang-orang yang memalsukan kitab Allah SWT dan menuduhkan kepada para nabi hal-hal yang tidak layak ada pada mereka. Puji syukur kepada Allah SWT atas segala taufik dan hidayah-Nya. Dikisahkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa pada suatu hari ia melewati sebuah pasar dan melihat orang-orang sedang berdagang dan berjual beli, lalu Abu Hurairah r.a. berkata,
"Kalian ada di sini. Mengapa kalian tidak ikut mengambil warisan Rasulullah صلى الله عليه وسلم  yang dibagikan di mesjid?" Lalu mereka segera bangkit dan pergi menuju ke masjid. Akan tetapi, ketika sampai di masjid mereka tidak menemukan sesuatu kecuali orang-orang yang membaca Al-Qur'an, berzikir, dan majelis ilmu. Maka, mereka pun bertanya kepada Abu Hurairah r.a., "Wahai Abu Hurairah, mana yang engkau katakan tadi?" Abu Hurairah menjawab, "Inilah warisan Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم saw. yang dibagikan kepada para ahli warisnya, bukannya harta dan kernewahan dunia."38 
38 Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma' adz-Dzawaa 'id (1/123-124), ath-Thabrani di dalam al-Mu 'jam al-Ausath dan ia berkata bahwa sanadnya adalah hasan, al-Mundziri juga mengatakan demikian dalam kitab at- Targhiib wat-Tarhiib (1/61).

Adapun sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.,
"Barangsiapa yang mengambil warisan Nabi itu, maka ia mendapatkan bagian yang banyak", maksudnya bagian yang manfaatnya paling besar, paling baik, dan paling langgeng bagi manusia, dan tidak lain ini adalah ilmu dan agama. Karena manfaat ilmu dan agama yang dimiliki seseorang lalu diajarkan kepada orang lain adalah kekal. Apabila terputus dari pemiliknya, maka kebaikannya akan tetap sampai kepada pemiliknya untuk selamanya, sedangkan hal-hal lainnya akan hilang dan sia-sia. Allah SWT berfirman,
"Dan Kami hadapi segala atrial yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu beterbangan." (al-Furqaan: 23) 
Sesungguhnya jika tujuan dari pekerjaan seseorang tidak kekal dan terputus, maka setelah kematiannya ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari apa yang ia lakukan, ini merupakan musibah yang tidak bisa diobati. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah SWT, semoga kita dihindarkan dari kerugian semacam itu. Laa haula walaa quwwata ilia billah. Adapun sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم.,
"Kematian orang berilmu adalah musibah yang tidak dapat diobati, kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan bintang yang hilang. Dan kematian satu suku lebih ringan daripada kematian seorang berilmu",
karena baiknya kehidupan adalah karena ulama. Jika bukan karena mereka, maka manusia seperti hewan bahkan lebih buruk keadaannya. Sudah barang tentu kematian seorang ulama adalah musibah yang tidak dapat diobati, kecuali oleh seorang ulama baru sesudahnya. Para ulama adalah orang-orang yang mengarahkan umat, negara, dan kekuasaan. Sehingga, kematian mereka mengakibatkan kerusakan pada sistem alam. Oleh karena itu Allah SWT senantiasa menyiapkan para ulama yang menggantikan ulama-ulama yang terdahulu untuk menjelaskan agama-Nya kepada umat. Dengan mereka maka agama, Kitab, dan hamba-hamba-Nya terpelihara. Jika ada seseorang yang kaya raya dan dermawan yang melampaui kekayaan dan kedermawanan semua orang di dunia, dan semua umat manusia sangat membutuhkan uluran tangannya, maka jika orang tersebut meninggal apa yang bisa Anda bayangkan? Namun, kerugian karena kematian seorang ulama, jauh lebih besar dibandingkan kematian orang semacam itu. Karena kematian seorang ulama berarti kematian manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana dikatakan seorang pujangga,

"Tahukah engkau musibah karena hilangnya harta tidak akan ada kambing dan unta yang mati karenanya Akan tetapi kematian seseorang yang berjasa menyebabkan kematian banyak manusia." 
Dan pujangga yang lain berkata,
"Kematiannya tidak bisa disamakan dengan kematian satu orang, akan tetapi kematiannya adalah kehancuran bangunan bangsa."
Empat puluh delapan. Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari al-Walid bin Muslim, dari Ruh bin Janah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Satu orang yang memahami agama lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah." (HR Tirmidzi)
Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini adalah haditsgharib yang tidak kami ketahui kecuali dari jalur al-Walid bin Muslim.
" Namun, saya katakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Yaqthini yang mendengar dari Umar bin Sa'id bin Sinan yang mendengar dari Hisyam bin Ammar, dari al-Walid bin Muslim, dari Ruh bin Janah, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Sa'id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah ra., dari Nabi صلى الله عليه وسلم."39 
Al-Khathib al-Baghdadi berkata,
"Sanad yang pertama adalah mahfudz dari Ruh bin Mujahid, dari Ibnu Abbas. Saya tidak melihat kesamaran di dalamnya kecuali dari Abu Ja'far karena Umar bin Said bin Sinan dia meriwayatkan dari Hisyam bin Ammar, dari al-Walid, dari Ruh, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Sa'id al-Musayyab hadits 'fis-samaa'i baitun' (di langit ada rumah) yang dinamakan al-bait al-ma'mur dibelakangKa'bah."40 
Kedua hadits Ibnu Abbas r.a. ada dalam kitab Ibnu Sinan dari Hisyam, di mana satu sama lain saling menyusul. Lalu Abu Ja'far menulis dengan matan hadits Abu Hurairah. Karena lupa atau salah lihat, maka ia menulis matan hadits riwayat Ibnu Abbas. Sehingga dia menulis matan riwayat Ibnu Abbas ra. dengan sanad riwayat Abu Hurairah ra. Masing-masing dari kedua orang tersebut adalah terpercaya, amanah, dan bebas dari kesalahan yang disengaja. Telah diriwayatkan Abu Ahmad bin Adi dari Muhammad bin Sa'id bin Mahran, dari Syaiban bin Abi Rabi' as-Samman, dari Abi adz-Dzannad, dari al-A'raj, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Segala sesuatu memiliki tiang penopang. Dan tiang penopang agama adalah bertafaqquh dalam agama. Seorang yang memahami agama adalah lebih berat bagi setan daripada seorang ahli ibadah."
Akan tetapi, hadits ini mempunyai cacat (Mat), yaitu hadits ini sebenarnya diriwayatkan dari ucapan Abu Hurairah bukan dari sabda Nabi Rasulullah صلى الله عليه وسلم  Riwayat ini seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hammam bin Yahya dari Yazid bin Iyyadh, dari Shafwan bin Salim, dari Sulaiman, dari Yasar, dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Tidak ada pengabdian kepada Allah yang lebih balk daripada bertafaqquh dalam agama."42 

39 Ibnu al Jauzi menyebutkan dalam kitab al 'Ral (l/135/hl94) bahwa itu tidak sah disandarkan kepada Rasulullah karena di dalamnya ada Khalaf bin Yahya, Abu Hatim ar-Razy mengatakan bahwa hadits Khalaf tidak bisa diterima, sedangkan Muhammad bin Ibrahim adalah rawi yang ditirjggalkan. 
40Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, al-Uqaili, Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Mardawaih dengan sanad lemah. Disebutkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam ad-Durar al-Mantsuur (W117). 

41 Diriwayatkan Ibnu 'Adi dalam al-Kamil fidh-Dhu'aafaa' (1/378) dan ia berkata, "Hnaya Abur-Rabi' as-Samman yang saya ketahui meriwayatkan hadits ini dari Abu adz-Dzannad." Abu ar-Rabi' adz-Dzannad adalah lemah (dhaif) sebagaimana yang dikatakan Yahya bin Ma'in dan an-Nasa'i. 

42 Diriwayatkan Ibnu Abdil-Barr datem Jaami' al-'Um (1/26). Di dalamnya ada Yazid bin 'Iyyadh dan dia adalah pembohong (kadzdzaab) sebagaimana dikatakan oleh al-Albani dalam al-Misykaat.

Lalu Abu Hurairah berkata,
"Bertafaqquh satu jam lebih saya senangi daripada menghidupkan malam hingga subuh, dan seorang yang memahami agama (faqiih) adalah lebih berat bagi setan daripada seorang ahli ibadah." 
Diriwayatkan juga dengan sebuah sanad yang di dalamnya ada seorang rawi yang tidak bisa dijadikan pegangan dari Ashim bin Abu an-Nujud, dari Zur bin Hubaisy, dari Umar bin al-Khathab r.a., dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bahwa seorangfaqiih lebih bahaya bagi setan daripada seribu orang wara', seribu mujtahid, dan seribu ahli ibadah. Al-Muzani mengatakan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata,

"Para setan berkata kepada iblis, 'Kami tidak pernah melihatmu bergembira saat melihat kematian seorang alim, melebihi kegembiraanmu saat melihat kematian seorang ahli ibadah. Padahal, orang yang berilmu tidak dapat kita perdayakan, sedangkan seorang ahli ibadah dapat kita tipu?' Iblis berkata, 'Pergilah!.'Lalu setan-setan itu pergi menuju seorang ahli ibadah yang sedang melakukan ibadah. Mereka berkata,' Kami ingin bertanya kepadamu, maka tinggalkanlah dulu ibadahmu.' Dan iblis bertanya kepadanya, 'Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini dalam sebutir telur?' Orang itu menjawab, 'Saya tidak tahu.' Maka, iblis berkata kepada para setan, 'Tidakkah kalian lihat bagaimana ia telah kafir dalam waktu singkat?' 
Kemudian mereka mendatangi seorang alim di tengah-tengah majelisnya, saat itu ia dan teman-temannya sedang bercengkerama. Rombongan setan itu berkata kepada orang alim tersebut,
'Kami ingin bertanya kepadamu.' Dia berkata, 'Bertanyalah!' Iblis berkata, 'Apakah Tuhanmu mampu menjadikan dunia ini dalam sebutir telur?' Dia menjawab, 'Ya.' Rombongan setan bertanya, 'Bagaimana caranya?' Dia menjawab, 'Dengan berfirman kun (jadi!) maka jadilah.' Maka, iblis berkata kepada para setan tersebut, 'Tidakkah kalian lihat dia tidak menzalimi dirinya, hanyakematianlah yang dapat menyingkirkan para alim."43 
Riwayat ini telah dikisahkan dalam bentuk lain. Para setan bertanya kepada seorang ahli ibadah, 
"Apakah Tuhanmu mampu menciptakan sesuatu seperti diri-Nya?" Dia menjawab, "Saya tidak tahu." Maka, iblis berkata kepada para setan tersebut, "Tidakkah kalian lihat bahwa dengan kebodohannya ibadahnya tidak bermanfaat" Lalu mereka menanyakan pertanyaan itu kepada seorang alim, dan alim tersebut menjawab, "Hal ini tidak mungkin terjadi, karena seandainya sesuatu tersebut seperti Allah SWT, maka itu bukanlah makhluk, dan sesuatu yang seperti Allah itu disebut makhluk adalah mustahil. Karena jika sesuatu itu adalah makhluk-Nya, maka ia tidak mungkin seperti Dia." Lalu iblis berkata,"Tidakkah kalian melihat bagaimana dia telah menghancurkan dengan singkat apa yang telah aku bangun bertahun-tahun?" 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah adalah tujuh puluh derajat, di mana jarak antara satu derajat dengan derajat lain seperti jarak tempuh seekor kuda pacuan selama tujuh puluh tahun. Hal ini karena setan menebar bid'ah, lalu seorang alim mengetahuinya dan melarang orang untuk melakukannya. Sedangkan seorang ahli ibadah menghadap menyembah Tuhannya, padahal dia tidak menghadap kepadanya dan tidak mengenalnya. Maka, benar bahwa seorang alim ulama merusak apa yang dilakukan setan dan menghancurkan apa yang ia bangun. Yang diinginkan setan hanyalah menghidupkan bid'ah dan mematikan sunnah. Namun, seorang alim menghalangi keinginan setan tersebut, sehingga tidak ada
yang lebih berat bagi setan dari seorang alim yang berada di tengah-tengah umat. Tidak ada yang paling disenangi setan kecuali hilangnya alim dari tengah-tengah umat, sehingga mereka dapat merusak agama dan memperdaya umat. Sedangkan, seorang ahli ibadah, tujuannya hanya memerangi setan supaya dirinya sendiri selamat dari godanya, tetapi itu adalah harapan yang sangat sulit ia capai.

43Disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wa al-Mutafaqqih (1/26) dan Ibnu Abdil-Barr dalam/aamz'al-'Rm (him. 35).
Empat puluh sembilan. Hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullahصلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Dunia dan segala isinya adalah terlaknat kecuali mengingat Allah dan apa yang membela-Nya, serta seorang alim dan pencari ilmu." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) 
Imam Tirmidzi berkata, 
"Ini adalah hadits hasan gharib."
Karena di sisi Allah SWT dunia itu hina dan lebih rendah dari sayap nyamuk, maka dunia dan apa yang ada di dalamnya sangat jauh dari-Nya. Jauh dari-Nya inilah maksud dari laknat di atas. Allah SWT menciptakan dunia ini hanyalah sebagai tempat bercocok tanam untuk akhirat dan jembatan menuju akhirat. Di bumi inilah hamba-hamba-Nya mencari bekal untuk kehidupan akhirat. Tidak ada yang dapat mendekatkan hamba kepada Allah SWT kecuali sesuatu yang membuat hamba mengingat-Nya dan yang membawa kepada kecintaan-Nya. Hal itu adalah ilmu yang digunakan hamba untuk mengetahui, menyembah, mengingat, memuji, dan memuliakan Allah SWT. Karena
dengan tujuan itulah, Allah SWT menciptakan dunia dan penghuninya. Allah SWT berfirman,
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku."(adz-Dzaariyaat: 56) 
 "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuafu."(ath-Thalaaq: 12) 
Kedua ayat ini mengandung makna bahwa Allah SWT menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di dalamnya supaya nama-nama dan sifat-Nya diketahui oleh makhluk serta untuk disembah. Inilah yang dituntut dari hamba-hamba-Nya. Maka, menuntut ilmu merupakan jalan untuk mengetahui semua itu yang dikecualikan dari laknat tersebut, dan laknat ini menimpa selainnya karena jauh dari-Nya, dari cinta-Nya dan dari agama-Nya, yang merupakan sebab siksaan di akhirat nanti. Allah SWT menginginkan dari hamba-Nya untuk mengingat, menyembah, mengetahui, mencintai-Nya, serta sesuatu yang membawa hamba kepada semua itu. Sedangkan selainnya, maka tidak Allah sukai dan tercela di sisi-Nya.
Lima puluh. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ja'far ar-Razi dari ar-Rabi' bin Anas, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
" Barangsiapa yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali."
Imam Tirmidzi berkata bahwa ini adalah hadits hasanghariib yang diriwayatkan oleh sebagian perawi dan tidak disandarkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Dalam hadits di atas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  menjadikan menuntut ilmu sebagai salah satu bentuk sabilillah, karena dengannya Islam dapat berdiri tegak sebagaimana dengan jihad. Jadi agama Islam dapat jaya dengan ilmu dan jihad. Karena itu, jihad terbagi menjadi dua, Pertama, jihad dengan tangan dan hati. Banyak orang yang turut serta dalam jihad ini. Kedua, jihad dengan argumentasi dan penjelasan. Ini adalah jihad orang-orang tertentu dari pengikut para rasul, yaitu jihad para imam. Jihad ini lebih mulia dari jihad jenis pertama, karena besarnya manfaat, beratnya tantangan, dan banyaknya musuh. Allah SWT berfirman dalam surah al-Furqaan yang turun di Mekkah,
"Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah di tengah-tengah mereka dengan Al-Qur'an dengan jihad yang benar." (al-Furqaan: 51 -52) 
Ini adalah jihad melawan orang-orang kafir dengan Al-Qur'an, dan ini merupakanjihad yang paling besar. Ini juga jihad melawan orang-orang munafik, karena secara zahir orang-orang munafik tidaklah memerangi kaum muslimin melainkan bersama mereka. Bahkan, terkadang berperang bersama orang-orang muslim melawan musuh. Meskipun demikian, Allah SWT berfirman,
"Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir, orang-orang munafik, dan bersikap keraslah kepada mereka." (at-Tahrim: 9)
Dan maklum adanya bahwa jihad melawan orang-orang munafik adalah dengan argumentasi dan Al-Qur'an. Maksud dari penjelasan ini adalah bahwa sabilillah adalah jihad, menuntut ilmu dan mengajak manusia kepada Allah SWT. Karena itulah, Mu'adz bin Jabal r.a. berkata,
"Tuntutlah ilmu! Sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah ketakwaan, mengkajinya adalah ibadah, mengulangnya adalah tasbih, dan menelitinya adalah jihad." Karena itulah, Allah SWT mengiringkan antara Al-Kitab yang Dia turunkan dan besi yang menjadi alat penolong. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti- buktiyang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadialan. Kami ciptakan besi yangpadanya terdapat kekuatan yang hebatdan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong agama dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (al-Hadiid: 57) 
Dalam ayat di atas Allah SWT menyebutkan Kitab dan besi secara beriringan, karena keduanya merupakan penopang tegaknya agama.Karena jihad dengan pedang dan argumentasi keduanya disebut sebagai jalan Allah (sabilillah), maka para sahabat menafsirkan ulil amr dalam firman Allah surah an-Nisaa ayat 59, 
"Taatlah kepada Allah, rasul dan ulil amr dari mereka," 
sebagai para pemimpin dan para ulama. Mereka itu adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Para pemimpin berjihad dengan tangan dan kekuatan, sedang para ulama berjihad dengan lidah mereka. Jadi menuntut ilmu dan mengajarkannya merupakan salah satu jalan Allah (sabilillah) yang paling besar. Ka'b al-Ahbar berkata, 
"Orang yang menuntut ilmu itu seperti orang yang pergi dan pulang di jalan Allah SWT."
Diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم  bahwa jika seorang penuntut ilmu mati ketika ia dengan sedang menuntut ilmu, maka ia mati syahid. Sufyan bin Uyainah berkata,
"Barangsiapa menuntut ilmu, maka ia telah melakukan transaksi jual beli dengan Allah Azza wa Jalla."
 Abu Darda berkata,
"Barangsiapa berpendapat bahwa perjalanan pergi dan pulang untuk mencari ilmu bukanlah jihad, maka ada kekurangan di dalam pikiran dan pandangannya." 
Lima puluh satu. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Mahmud bin Ghailan, dari Abu Usamah, dari al-A'masy dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda,
"Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju surga." 
Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan." Beberapa ahli hadits berkata, "Imam tirmidzi tidak mengatakan bahwa hadits ini shahih sebab dalam sanadnya terdapat al-A'masy yang melakukan tadlis. Sedangkan dalam sebuah riwayat di dalam shahih Musim, al-A'masy berkata, "Saya mendengarnya dari Abu Shalih." Al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak berkata, "Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim. Ia diriwayatkan dari al-A'masy oleh sekelompok orang di antaranya Dzaidah, Abu Mu'awiyah dan Ibnu Namir. Dan mengenai hal ini juga telah disebutkan dalam hadits Abu Darda'. Hadits ini adalah mahfuzh dan ada asalnya." Telah jelas dalam syariat dan qadar bahwa balasan bagi seseorang tergantung pada jenis perbuatannya. Jika seseorang menempuh jalan di mana ia mencari kehidupan dan keselamatan hatinya, maka Allah SWT memberinya jalan untuk memperoleh itu semua. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari Muhammad bin Adul Malik al-Anshari, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,
"Allah SWT telah mewahyukan kepadaku bahwa barangsiapa yang menempuh perjalanan menuntut ilmu, niscaya Aku memudahkan jalannya ke surga. "(HR Tirmidzi) 
Lima puluh dua. Rasulullah صلى الله عليه وسلم  mendoakan orang yang mendengarkan, menjaga, dan menyampaikan apa yang ia dengar dari beliau agar mendapatkan cahaya, yaitu keceriaan dan keindahan wajah. Dalam Sunan Tirmidzi dan yang lainnya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a., disebutkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. bersabda,

"Semoga Allah memberikan cahaya kepada orang yang mendengarkan ucapanku, memperhatikannya, menjaganya, dan menyampaikannya. Sering sekali orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari dia. Ada tiga perkara yang dengannya tidak ada kedengkian dalam hati seorang muslim. Pertama: ikhlas dalam beramal untuk Allah semata. Kedua: para imam yang saling menasehati. Ketiga: selalu bersama orang-orang muslim, karena sesungguhnya ajakan mereka selalu mengelilinginya." 
Asal hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Abu Darda', Jubair bin Math'am, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, dan Nu'man bin Basyir. Imam Tirmidzi berkata, "Hadits Ibnu Mas'ud hasan shahih, hadits Zaid bin Tsabit hasan." Al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Mustadrak-nya dari riwayat Jubair bin Math'am dan Nu'man bin Basyir, kemudian berkata, "Ini adalah hadits shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim." Seandainya tidak ada penghargaan lain bagi keutamaan ilmu selain yang disebutkan dalam hadits di atas, tentulah itu sudah cukup. Karena Rasulullah saw. telah mendoakan orang yang mendengar, memperhatikan, menjaga, dan
menyampaikannya. Ini adalah tingkatan dalam mencari ilmu. 
Tingkatan pertama dan kedua adalah mendengar dan memahami. Apabila seseorang mendengarkan ilmu, maka dia akan memahaminya dengan akalnya. Sehingga, ilmu tersebut akan terpatri di dalam hatinya, seperti terjaganya sesuatu yang di dalam tempat penyimpanan. Akal seperti tali pengikat seekor unta atau binatang ternak lainnya, agar binatang tersebut tidak lepas dan pergi. Karena itu, penalaran dan pemahaman merupakan nilai lebih dari sekedar mengetahui. 
Ketiga, menjaga dan menghafalnya agar tidak lupa dan hilang. 
Keempat, menyampaikan dan menyebarkannya kepada umat supaya hasil dan tujuannya terwujud.
Ilmu bagaikan harta yang tersembunyi di dalam tanah, yang apabila tidak dinafkahkan, maka ia terancam hilang. Demikian juga dengan ilmu; apabila tidak diamalkan dan tidak diajarkan, maka ia bisa hilang. Apabila harta atau ilmu itu dinafkahkan, maka ia akan tumbuh dan berkembang. Orang yang menunaikan keempat tingkatan di atas, maka ia masuk dalam doa Nabiصلى الله عليه وسلم. yang mencakup keindahan lahir dan batin. Sesungguhnya nadhrah (cahaya di wajah) itu adalah berserinya wajah karena keimanan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kesenangan hati. Apabila hati dipenuhi dengan keimanan, kebahagiaan, dan kegembiraan maka nampaklah keceriaan, kegembiraan dan kebahagiaan di muka seseorang. Oleh karena itu, Allah SWT di dalam firman-Nya mengumpulkan antara keceriaan, kebahagiaan, dan berseri-serinya wajah, yaitu dalam firman-Nya,
"Maka Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati." (al-lnsaan: 11) 
Kejernihan di ayat ini adalah kejernihan di wajah dan kegembiraan adalah di dalam hati. Karena kebahagiaan hati menampakkan keceriaan dan kejernihan di wajah, sebagaimana difirmankan Allah SWT,
"Kamu dapat mengetahui dan wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan." (al-Muthaffifiin: 24) 
Intinya bahwa kejernihan di wajah orang yang mendengarkan, memahami, menjaga, dan menyampaikan sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم  merupakan pengaruh kebahagiaan, keceriaan, dan kegembiraan yang ada dalam hati dan batinnya. Adapun sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم., 
"Seringkali orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,"
menunjukkan faidah dalam menyampaikan ilmu kepada orang lain. Seseorang yang disampaikan kepadanya sebuah ilmu terkadang lebih paham daripada orang yang menyampaikannya. Sehingga, ia dapat menyimpulkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh orang yang menyampaikannya. Atau bisa dikatakan juga bahwa seseorang yang disampaikan kepadanya sebuah ilmu dan ia lebih pandai dari orang yang menyampaikannya, maka ia akan membawanya kepada pemahaman yang lebih baik. Sehingga, ia dapat menyimpulkan satu hukum dan menarik maksud darinya. Adapun maksud dari sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  "Ada tiga hal yang dengannya tidak ada rasa dengki di dalam hati seorang muslim........", bahwa tidak akan ada rasa dengki di dalam hati dengan adanya ketiga hal tersebut. Ketiga hal itu akan menghilangkan kedengkian dan ketidaksukaan yang merupakan penyakit hati manusia. Seseorang yang dalam perbuatannya selalu ikhlas demi Allah semata, maka keikhlasan itu menghalangi, mengeluarkan, dan menghilangkan kedengkian dari dalam hatinya secara keseluruhan. Hal ini disebabkan keinginan hatinya hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Sebab itu, tidak ada tempat dalam hatinya untuk rasa dengki dan rasa benci kepada orang lain. Allah SWT berfirman,
"Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusufitu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24) 
Ketika seseorang ikhlas hanya untuk Tuhannya, maka Allah SWT memalingkan darinya semua ajakan keburukan dan kejahatan, sehingga ia pun terhindar dari hal-hal tersebut. Oleh karena itulah, tatkala iblis mengetahui bahwa dia tidak mendapatkan jalan untuk menggoda orang-orang ikhlas, maka dia mengecualikan mereka. Allah SWT berfirman tentang kata-kata iblis,
"Iblis menjawab, 'Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. "(Shaad: 82-83)
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. "(al-Hijr: 42) 
Ikhlas adalah kendaraan menuju pembebasan, Islam adalah kendaraan keselamatan, dan Iman adalah stempel keamanan. Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم,
"Para pemimpin umat yang saling menasehati", 
hal ini juga dapat menghapus kedengkian dan kebencian. Pasalnya nasehat tidak mungkin berbaur dengan kedengkian karena keduanya berlawanan. Orang yang menasehati para pemimpin dan umatnya maka tidak ada rasa dengki dalam hatinya. Sabda beliau,
"Senantiasa bersama jamaah." 
Ini adalah faktor yang membersihkan hati dari kedengkian dan kebencian. Seseorang yang senantiasa bersama dengan jamaah muslim maka ia akan mencintai mereka sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Ia tidak menyukai jika sesuatu menimpa mereka sebagaimana ia tidak suka jika itu menimpa dirinya sendiri. Apa yang menyakiti mereka juga menyakiti dirinya, dan apa membuat mereka gembira juga membuatnya gembira. Lain halnya dengan orang yang jauh dari jamaah umat dan sibuk mencari kekurangan serta mencela mereka, seperti yang dilakukan golongan Rafidhah, Khawarij, Mu'tazilah dan sebagainya. Hati mereka dipenuhi rasa dengki dan kebencian. Karena itu, kita dapat melihat bahwa orang-orang Rafidhah adalah orang-orang yang paling jauh dari keikhlasan. Mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kebenciannya kepada para pemimpin umat, sebagaimana menurut kesaksian Rasulullah صلى الله عليه وسلم , umat, dan kesaksian mereka sendiri. Mereka itu adalah orang-orang yang paling jauh dari jamaah kaum muslimin. Mereka hanya menjadi penolong orang-orang yang menyerang umat Islam. Karena setiap musuh yang ingin mencelakakan umat, maka mereka akan menolong dan berteman dengan mereka. Dan umat telah menyaksikan hal ini, sedangkan orang-orang yang tidak menyaksikannya, tentulah telah mendengar sesuatu yang menyakitkan telinga dan mengiris hati. Adapun sabda Nabi,
"Sesungguhnya dakwah mereka mengelilingi mereka," 
merupakan ucapan yang indah, singkat, dan kaya makna. Nabi صلى الله عليه وسلم. mengumpamakan dakwah orang-orang muslim sebagai pagar yang mengelilingi mereka dan menghalangi musuh-musuh mereka. Tatkala dakwah Islam, yang di dalamnya terdapat orang-orang muslim, seperti pagar dan benteng yang mengelilingi umat dan menjaga mereka dari musuh, maka orang yang selalu bersama jamaah tersebut akan dikelilingi oleh dakwah itu sebagaimana jamaah itu mengelilinginya. Jadi dakwah itu menghimpun dan menyatukan serta mengelilingi umat. Barangsiapa yang masuk ke dalam jamaah Islam, maka jamaah itu akan mengelilingi dan menghimpun mereka.

Keine Kommentare: